Di Banda Aceh, bagi sebagian besar laki-laki mulai dari remaja hingga dewasa, kopi merupakan konsumsi wajib, setelah nasi dan lauk-pauk. Kopi telah mempengaruhi kultur ekonomi Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Kawasan Ulee Kareng menjadi tonggak sejarah dan episentrum budaya ngopi di Banda Aceh.
Mungkin kira-kira 20 persen pengeluaran bulanan masyarakat Banda Aceh dibelanjakan untuk ngopi di warung kopi. Meski konsumsi dan uang yang dikeluarkan untuk kopi cukup tinggi, konsumsi kopi bukanlah jenis penyakit konsumerisme ala kapitalisme yang meresahkan.
Konsumsi kopi di Banda Aceh umumnya adalah warung kopi tradisional dengan varian kopi berupa kopi saring robusta, kebiasaan ini merupakan bagian dari kultur konsumsi ala ekonomi kerakyatan. Mengapa?
Warung kopi tradisional harganya terjangkau. Sekitar lima hingg enam ribu rupiah segelas. Kopi saring robusta ini mencirikan budaya konsumsi masyarakat kebanyakan, bukan representasi kelas sosial menengah atas.
Warung kopi di Banda Aceh membuka banyak lapangan kerja: mulai dari pelayan, barista, penjual rokok, penjual makanan di rak makanan yang terdiri dari nasi gurih, mie goreng, martabak, juga bagi pembuat kue yang menitipkan kuenya untuk dihidang di meja-meja kop. Bahkan tiap warung kopi membuka lapangan kerja bagi tukang parkir.
Di satu warung kopi bisa menyerap sampai sepuluh hingga lima belas tenaga kerja, di beberapa warkop bahkan lebih. Keberadaan warung kopi berarti menghidupkan belasan dapur rumah tangga yang memberikan dampak ekonomi bagi puluhan jiwa.
Budaya ngopi menjadi praktik sosial di ruang publik yang inklusif, menjadi salah satu tumpuan interaksi sosial secara fisik yang lebih intens di era digital yang lebih cenderung pada interaksi jagat maya. Warung kopi menjadi instrumen tersendiri menjaga tradisi komunal di Aceh.
Warung kopi, bagi anak muda, jadi tempat co-working space yang relatif murah. Mereka dapat mengakses internet bermodal segelas kopi tanpa batasan waktu.
Sementara hari ini di Banda Aceh, warung kopi saring atau robusta mampu bertahan di tengah masifnya perkembangan tren cafe dengan kopi mesin atau yang menyajikan kopi arabica.
Cukuplah budaya kopi menjadi kemewahan terakhir di tengah kondisi ekonomi yang bagi kebanyakan warga, tidak terlalu baik. Hanya dengan ke warkop, menjadi alternatif healing warga Banda Aceh, yang jauh lebih murah dibandingkan hiburan dan healingnya warga kota besar.
Ngopi dan Kawasan Ulee Kareng
Bicara tentang budaya kopi di warung kopi Banda Aceh, tak terlepas dari sebuah daerah yang dikenal dengan nama Ulee Kareng. Konon, menjamurnya kedai kopi di Banda Aceh asalnya bersumber dari satu warung kopi yang terdapat di Simpang tujuh Ulee Kareng.
Warkop yang paling terkenal dan legendaris adalah Solong. Di seberangnya ada Cutnun Kupi. Tak jauh dari sekitar lokasi ini terdapat warung kopi Panamas dan Cek Wan.
Ulee Kareng adalah lokasi dimana warung-warung kopi yang ada di Banda Aceh berasal, asal-muasal tradisi dan budaya kopi. Beberapa pendiri warung kopi di Banda Aceh sebelumnya pernah bekerja di warkop Solong.
Produksi pabrik kopi hingga produksi kue dan penganan yang dijual di warung-warung kopi di Ulee Kareng berasal dari Lam Ateuk. Banyak dari mereka yang bekerja di warkop-warkop Ulee Kareng juga berasal dari Lam Ateuk. Sebuah desa yang terletak sekitar satu atau dua kilometer dari simpang tujuh Ulee Kareng.
Gudang Kopi di Lam Ateuk
Saya berkesempatan mengunjungi gudang kopi di kawasan Lam Ateuk, Aceh Besar. Mungkin gudang ini menyuplai hingga 20 persen bubuk kopi yang beredar untuk konsumsi kopi di sekitaran Banda Aceh.
Dulunya sebelum dan masa awal setelah tsunami, pemain utama warung kopi di kota Banda Aceh didominasi oleh Solong Kupi dan alumni (mantan pekerja) Solong yang terletak di Ulee Kareng.
Sementara mereka para alumni Solong, yang bekerja di Solong dan yang bekerja di warkop-warkop alumni Solong berasal dari Lam Ateuk, Aceh Besar. Namun kini sudah banyak warung-warung kopi yang muncul, yang bukan berasal dari daerah ini.
Warung Kopi Solong dulunya punya pegawai kakak-beradik yang kemudian membuka cabang warung-warung kopi di Banda Aceh.
Si Chek, pemilih warkop Chek Yuke dulunya bekerja di Solong saat usianya masih remaja. Saat itu ia masih sangat muda, menyaring kopi dsngan tubuh mungilnya. Karena itu ia dipanggil Chek yang artinya kecil.
Kemudian Si Chek diizinkan mendirikan warung kopi sendiri oleh Abu Solong, pemilik warkop Solong. Abu Solong memberi syarat, Si Chek boleh membuka warung kopi namun lokasinya harus berada di seberang sungai Krueng Aceh. Si Chek menyanggupi, ia memilih lokasi warung kopi yang berdekatan dengan Masjid Raya Baiturrahman.
Warung kopi itu ia beri nama Chek Yukee. Menurut pengakuan Bang Chek (begitu saya memanggilnya) Chek Yukee artinya chik yu ke (orang tua menyuruhku). Bermakna bahwa yang menyuruh membuka warung kopi sendiri dan memilih lokasi warkop adalah Abu Solong yang ia anggap orang tua, tauke pemilik warkop Solong.
Setelah itu Bang Taufik, Abang kandung Chek, membuka warung kopi Taufik Kupi di Jalan Pocut Baren, Peunayong. Bersebelahan dengan Sekolah dan Gereja Methodist.
Lokasi Taufik Methodist ini berdekatan dengan pertokoan dan pemukiman masyarakat keturunan Thionghoa. Sampai saat ini, nuansa multikulturalisme yang harmonis bisa kita saksikan di sekitaran warkop ini.
Kontribusi Tokoh Lam Ateuk untuk Masyarakatnya
Kawasan Lam Ateuk selain dikenal dengan produksi kopi, juga merupakan daerah pusat pendidikan agama dan pendidikan umum. Untuk pendidikan agama, disana berdiri Dayah Darul Mu’arif yang dulu dipimpin oleh Abu Mamplam Golek, ulama kharismatik Aceh yang juga tokoh Perti di masanya.
Untuk pendidikan umum, ada Universitas Abulyatama yang dibangun oleh Rusli Bintang, seorang pengusaha asli Aceh Besar yang kini bisnisnya menggurita. Rusli Bintang berhasil membangun Univeritas Malahayati di Lampung dan juga memiliki rumah sakit swasta.
Sepanjang jalan Lam Ateuk hingga Ulee Kareng, kita bisa melihat geliat kegiatan ekonomi yang cukup positif. Keberadaan lembaga pendidikan dan industri produksi kopi telah membuka lapangan pekerjaan bagi warga disana.
Dari Lam Ateuk saya melihat bahwa, keberadaan beberapa orang yang berasal dari satu wilayah, ternyata bisa memainkan peran untuk menumbuhkan geliat ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di daerah tersebut.
Keberadaan kampus milik Rusli Bintang membuat daerah Lam Ateuk ramai dan kegiatan ekonomi tumbuh. Sementara keberadaan warung-warung kopi milik warga Lam Ateuk mampu membuka lapangan kerja bagi warga dan pemuda di kampung itu.
Sebagaimana di Lam Ateuk, saya berharap banyak lahir saudagar-saudagar yang bangkit mengembangkan bisnis sembari berkontribusi untuk daerahnya. Dengan kehadiran mereka, dapat membuka peluang terciptanya lapangan kerja dan membantu masyarakat yang kurang mampu di sekitarnya.
Konfigurasi sosial di Lam Ateuk menarik untuk dijadikan bahan studi. Bagaimana perkembangan sosial-ekonomi masyarakat dapat berkembang melalui peran figur masyarakat di luar institusi pemerintahan.
Perubahan digerakkan oleh beberapa figur atau tokoh yang terlibat dalam wirausaha dan perniagaan. Keberadaan mereka mampu memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah dimana mereka berasal. Kita berharap tumbuhnya kewirausahaan disertai dengan semangat untuk membangun daerah dan membantu masyarakat.
Oleh: Jabal Ali Husin Sab.
Discussion about this post