Bencana banjir yang menghantam Aceh dan sebagian Sumatera adalah bencana ekologis, bukan murni bencana alam. Di Aceh Tamiang, peristiwa banjir berulang telah menghantui warga selama 40 tahun terakhir.
Aceh Tamiang – Banjir yang melanda Aceh tidak dapat dipahami sebagai peristiwa hidrologi yang datang dengan sendiri, apalagi mereduksinya menjadi dengan menyebut curah hujan ekstrem atau anomali cuaca. Bencana banjir yang menghantam Aceh dan sebagian Sumatera adalah bencana ekologis, bukan murni bencana alam.
Hal ini diungkap oleh Teuku Alvia Rahman, mahasiswa Fakulas Hukum Universitas Syiah Kuala yang tergabung dalam relawan kemanusian Wahana Muda Indonesia (WMI).
“Banjir yang melanda Aceh ini lebih tepat disebut sebagai ‘jejak keserakahan manusia yang mengorbankan alam’. Seperti yang kita tahu, sawit itu tidak sejalan dengan prinsip ekologis, namun dengan ketamakan dan keserakahan ekonomi dan kebijakan publik yang buta, ia menghantam masyarakat yang hidup di sekitarnya,” ujar Alvia.
Alvia selaku relawan yang ikut dalam aksi kemanusiaan di Aceh Tamiang menjelaskan, media selalu menyebutkan bencana ini datang dari curah hujan yang tinggi. Laporan-laporan resmi dari badan pemerintah menyebutkan ini sebagai bencana alam, seolah-olah bencana ini diproduksi dan direproduksi melalui narasi media.
Sejak era kolonial, terang Alvia, alam selalu dijadikan objek penguasaan, dipetakan lalu dieksploitasi habis-habisan. Pasca kolonial, kerangka ini justru diwarisi dengan menciptakan alam sebagai “sumber daya yang harus patuh pada rencana ekonomi”.
Resiko ekologis tidak digaungkan, malahan meminggirkan dan dipandang sebagai biaya yang bisa diatasi belakangan,” ungkapnya.
Banjir Berulang di Aceh Tamiang
Alvia menjelaskan dari amatannya di lokasi bencana di Aceh Tamiang mengisahkan peristiwa bencana banjir yang telah terjadi berkali-kali. Di Aceh Tamiang, tepatnya di Desa Lubuk Sidup, mereka telah tiga kali mengalami banjir bandang. Peristiwa berulang kali ini hanya menyisakan kemarahan masyarakat.
Di tahun 1986, banjir bandang pertama menghantam desa tersebut. Di tahun 2006, 20 tahun setelah peristiwa 1986, desa tersebut dihantam kembali dengan air yang turun dari hulu sungai. Kini di 2025, 19 tahun semenjak peristiwa 2006, desa tersebut kembali dihantui dengan luapan aie bah. Pada banjir kali ini, peristiwa berulang itu hanya menyisakan tanah dan kemarahan.
“Dari sini kita bisa melihat, pola tersebut selalu berulang dalam jangka waktu 20 tahun. Narasi-narasi yang dikeluarkan pemerintah tentang bencana alam mulai runtuh dengan sendirinya. Apa yang mereka sebut sebagai peristiwa alamiah tidak lagi menjadi alamiah, melainkan kelalaian negara yang selalu mengorbankan masyarakatnya,” tegas Alvian.
Dari peristiwa banjir berulang, menurutnya air yang menghantam pemukiman tersebut tidak datang sebagai anomali, melainkan sebagai konsekuensi.
Pada kenyataan inilah alam bukan lagi pelaku utama dari kehancuran tersebut, melainkan bukti kegagalan negara dalam menjamin hak-hak warga negaranya, Alvia menerangkan .
“Kegagalan negara dalam menjamin hak-hak masyarakat Aceh menyentuh lapisan yang teramat dalam, yakni ‘kegagalan ontologis negara dalam memahami dirinya sendiri’. Negara tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pelindung kehidupan, melainkan ketamakan yang tunduk pada kerangka pengetahuan kapitalis,” tegas Alvia.
Relawan muda ini dengan kesal menjelaskan bahwa setelah bencana terjadi, negara seolah-olah datang bak pahlawan. Tenda didirikan, pengungsi ditenangkan, logistik disalurkan dan aparat dikerahkan. Namun upaya yang dilakukan negara, hanya membongkar paradoks. Negara hanya bisa mengelola akibat, tapi takut untuk mencegah sebab.
Banjir di Aceh, menurutnya, telah mengungkap ketimpangan struktural di lihat dari kacamata sosio-ekonomi. Banjir tersebut mayoritas menghantam warga miskin, warga pinggiran, dan mereka yang paling tidak menikmati hasil dari pembangunan.
“Selama nalar ini tidak dibongkar, air akan terus-menerus berdatangan dan menghantam pemukiman. Air naik, meluap, dan melunturkan ilusi selama ini, dimana kegagalan struktural selalu dilindungi dalam kehendak alam,” pungkasnya.[]













Discussion about this post