Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Liputan Khusus
  • Editorial
  • Pojok Ekraf
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Liputan Khusus
  • Editorial
  • Pojok Ekraf
No Result
View All Result
Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
Home Daerah

Relawan: Banjir Aceh Bencana Ekologis, Bukan Murni Bencana Alam

TINJAUAN ID by TINJAUAN ID
December 26, 2025
Reading Time: 2 mins read
0
Relawan: Banjir Aceh Bencana Ekologis, Bukan Murni Bencana Alam

Teuku Alvia Rahman, Mahasiswa Universitas Syiah Kuala yang tergabung dalam relawan Wahana Muda Indonesia.

Bencana banjir yang menghantam Aceh dan sebagian Sumatera adalah bencana ekologis, bukan murni bencana alam. Di Aceh Tamiang, peristiwa banjir berulang telah menghantui warga selama 40 tahun terakhir.

Aceh Tamiang – Banjir yang melanda Aceh tidak dapat dipahami sebagai peristiwa hidrologi yang datang dengan sendiri, apalagi mereduksinya menjadi dengan menyebut curah hujan ekstrem atau anomali cuaca. Bencana banjir yang menghantam Aceh dan sebagian Sumatera adalah bencana ekologis, bukan murni bencana alam.

Hal ini diungkap oleh Teuku Alvia Rahman, mahasiswa Fakulas Hukum Universitas Syiah Kuala yang tergabung dalam relawan kemanusian Wahana Muda Indonesia (WMI).

“Banjir yang melanda Aceh ini lebih tepat disebut sebagai ‘jejak keserakahan manusia yang mengorbankan alam’. Seperti yang kita tahu, sawit itu tidak sejalan dengan prinsip ekologis, namun dengan ketamakan dan keserakahan ekonomi dan kebijakan publik yang buta, ia menghantam masyarakat yang hidup di sekitarnya,” ujar Alvia.

Alvia selaku relawan yang ikut dalam aksi kemanusiaan di Aceh Tamiang menjelaskan, media selalu menyebutkan bencana ini datang dari curah hujan yang tinggi. Laporan-laporan resmi dari badan pemerintah menyebutkan ini sebagai bencana alam, seolah-olah bencana ini diproduksi dan direproduksi melalui narasi media.

Sejak era kolonial, terang Alvia, alam selalu dijadikan objek penguasaan, dipetakan lalu dieksploitasi habis-habisan. Pasca kolonial, kerangka ini justru diwarisi dengan menciptakan alam sebagai “sumber daya yang harus patuh pada rencana ekonomi”.

Resiko ekologis tidak  digaungkan, malahan meminggirkan dan dipandang sebagai biaya yang bisa diatasi belakangan,” ungkapnya.

Banjir Berulang di Aceh Tamiang

Alvia menjelaskan dari amatannya di lokasi bencana di Aceh Tamiang mengisahkan peristiwa bencana banjir yang telah terjadi berkali-kali. Di Aceh Tamiang, tepatnya di Desa Lubuk Sidup, mereka telah tiga kali mengalami banjir bandang. Peristiwa berulang kali ini hanya menyisakan kemarahan masyarakat.

Di tahun 1986, banjir bandang pertama menghantam desa tersebut. Di tahun 2006, 20 tahun setelah peristiwa 1986, desa tersebut dihantam kembali dengan air yang turun dari hulu sungai. Kini di 2025, 19 tahun semenjak peristiwa 2006, desa tersebut kembali dihantui dengan luapan aie bah. Pada banjir kali ini, peristiwa berulang itu hanya menyisakan tanah dan kemarahan.

“Dari sini kita bisa melihat, pola tersebut selalu berulang dalam jangka waktu 20 tahun. Narasi-narasi yang dikeluarkan pemerintah tentang bencana alam mulai runtuh dengan sendirinya. Apa yang mereka sebut sebagai peristiwa alamiah tidak lagi menjadi alamiah, melainkan kelalaian negara yang selalu mengorbankan masyarakatnya,” tegas Alvian.

Dari peristiwa banjir berulang, menurutnya air yang menghantam pemukiman tersebut tidak datang sebagai anomali, melainkan sebagai konsekuensi.

Pada kenyataan inilah alam bukan lagi pelaku utama dari kehancuran tersebut, melainkan bukti kegagalan negara dalam menjamin hak-hak warga negaranya, Alvia menerangkan .

“Kegagalan negara dalam menjamin hak-hak masyarakat Aceh menyentuh lapisan yang teramat dalam, yakni ‘kegagalan ontologis negara dalam memahami dirinya sendiri’. Negara tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pelindung kehidupan, melainkan ketamakan yang tunduk pada kerangka pengetahuan kapitalis,” tegas Alvia.

Relawan muda ini dengan kesal menjelaskan bahwa setelah bencana terjadi, negara seolah-olah datang bak pahlawan. Tenda didirikan, pengungsi ditenangkan, logistik disalurkan dan aparat dikerahkan. Namun upaya yang dilakukan negara, hanya membongkar paradoks. Negara hanya bisa mengelola akibat, tapi takut untuk mencegah sebab.

Banjir di Aceh, menurutnya, telah mengungkap ketimpangan struktural di lihat dari kacamata sosio-ekonomi. Banjir tersebut mayoritas menghantam warga miskin, warga pinggiran, dan mereka yang paling tidak menikmati hasil dari pembangunan.

“Selama nalar ini tidak dibongkar, air akan terus-menerus berdatangan dan menghantam pemukiman. Air naik, meluap, dan melunturkan ilusi selama ini, dimana kegagalan struktural selalu dilindungi dalam kehendak alam,” pungkasnya.[]

Tags: Aceh Tamiangbanjir AcehBencana banjir Sumatera
ShareTweetSendShare

Related Posts

Jembatan Krueng Tingkeum Kuta Blang Terapkan Sistem Buka-Tutup Setiap Satu Jam
Daerah

Jembatan Krueng Tingkeum Kuta Blang Terapkan Sistem Buka-Tutup Setiap Satu Jam

December 28, 2025
Tahap Pertama, Sekda Aceh Lepas 3.000 ASN ke Lima Kabupaten Terdampak Bencana
Daerah

Tahap Pertama, Sekda Aceh Lepas 3.000 ASN ke Lima Kabupaten Terdampak Bencana

December 28, 2025
ARAH Minta Pemerintah Aceh Segera Mencopot Kepala Badan Keuangan Aceh
News

ARAH Minta Pemerintah Aceh Segera Mencopot Kepala Badan Keuangan Aceh

December 27, 2025
Sebulan Mengungsi, Warga Pidie Jaya Penyintas Bencana Banjir Menanti Kepastian
Daerah

Sebulan Mengungsi, Warga Pidie Jaya Penyintas Bencana Banjir Menanti Kepastian

December 27, 2025
Lahan Pangan Hancur, Jalan dan Jembatan Rusak: Banjir Aceh Buka Pintu Krisis Ekonomi
Daerah

Lahan Pangan Hancur, Jalan dan Jembatan Rusak: Banjir Aceh Buka Pintu Krisis Ekonomi

December 26, 2025
Jadi Mesin Pertumbuhan, Ekonomi Kreatif Kini Tambang Baru Nasional
News

Jadi Mesin Pertumbuhan, Ekonomi Kreatif Kini Tambang Baru Nasional

December 25, 2025
Next Post
Lahan Pangan Hancur, Jalan dan Jembatan Rusak: Banjir Aceh Buka Pintu Krisis Ekonomi

Lahan Pangan Hancur, Jalan dan Jembatan Rusak: Banjir Aceh Buka Pintu Krisis Ekonomi

Sebulan Mengungsi, Warga Pidie Jaya Penyintas Bencana Banjir Menanti Kepastian

Sebulan Mengungsi, Warga Pidie Jaya Penyintas Bencana Banjir Menanti Kepastian

Discussion about this post

Recommended Stories

Lepas Sambut Kepala Kankemenag Nagan Raya Samhudi Kepada Salman Al Farisi

Lepas Sambut Kepala Kankemenag Nagan Raya Samhudi Kepada Salman Al Farisi

September 18, 2025
Daud Beureueh: dari Rekognisi ke Rekonsiliasi

Hipotesis Peristiwa Proklamasi

August 18, 2025
Kontrak PPPK Banda Aceh Hanya Berlaku Satu Tahun: Alasannya agar Mudah Dievaluasi

Kontrak PPPK Banda Aceh Hanya Berlaku Satu Tahun: Alasannya agar Mudah Dievaluasi

September 6, 2025

Popular Stories

  • Tingkat Pengangguran Usia Muda Tinggi, Indonesia Berjuang Ciptakan Lapangan Kerja

    Prabowo Segera Bentuk Tim Reformasi Polri, Bentuk Juga Komisi Investigasi Insiden Agustus

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji PPPK Aceh Macet Hampir 4 Bulan, Ribuan ASN Hidup dengan Utang Karena APBA-P Tak Kunjung Jelas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tak Kunjung Dapat Kerja di Aceh, Hendra Nekat Merantau ke Australia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Review Laporan Keuangan Bank Aceh Syariah (I) ; Triliunan Dana Diinvestasikan ke Luar Aceh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • TINJAUAN.ID
  • Pedoman Media Siber
Email: redaksi.tinjauan@gmail.com

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Daerah
  • Nasional
  • Dunia
  • Ekonomi
  • Politik
  • Opini
  • Sejarah
  • Editorial
  • Pojok Ekraf
  • Contact Us

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?