Bagi Prof. Mawardi Ismail, perdamaian bukan hanya soal menghentikan senjata, tapi memastikan pondasi perdamaian terikat kuat dalam hukum.
Banda Aceh – Dua dekade setelah penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh berdiri sebagai salah satu daerah yang berhasil keluar dari konflik bersenjata panjang melalui jalur perundingan.
Bagi Mawardi Ismail, akademisi hukum dan salah satu tim ahli penyusun draf Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) 2006, perjalanan menuju perdamaian Aceh bukan hanya soal menghentikan senjata, tapi memastikan pondasi perdamaian terikat kuat dalam hukum.
“Kalau kita lihat sejarah, Aceh pernah dua kali mengalami pemberontakan besar,” ujar Mawardi, memulai kisahnya. “Pertama, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Awalnya diselesaikan dengan kekerasan, gagal, lalu akhirnya damai lewat Ikrar Lamteh. Tapi Ikrar Lamteh punya kelemahan: ia hanya dikuatkan keputusan Perdana Menteri, yang tidak mengikat negara.”
Bagi Mawardi, sejarah itu menjadi cermin. Ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) muncul, pemerintah kembali mencoba hard power yaitu operasi militer. Hasilnya sama, jalan buntu.
Lalu ditempuhlah soft power melalui negosiasi. MoU Helsinki menjadi pintu masuk, namun bagi Mawardi, kekuatan sesungguhnya lahir ketika MoU itu diubah menjadi instrumen yuridis, yakni UUPA 2006.
“MoU itu instrumen politis, tidak punya kekuatan memaksa. Tapi UUPA, walau dengan segala kelemahannya, punya daya paksa. Itu kelebihannya dibanding Ikrar Lamteh,” ungkapnya.
20 Tahun: Antara yang Terealisasi, Tertunda, dan Terabaikan
Namun waktu menguji segalanya. Setelah 20 tahun, Mawardi menilai perlu kajian ulang. Ada pasal-pasal yang sudah terlaksana baik, ada yang berjalan tapi penuh tantangan, dan ada pula yang tidak berjalan sama sekali.
“Ada yang tidak bisa terlaksana karena kondisi tidak memungkinkan. Misalnya, pengelolaan bandara, itu butuh dana besar. Tapi ada juga yang tidak mau dilaksanakan. Contohnya, zakat sebagai faktor pengurang pajak penghasilan. Padahal itu wajib, tapi tidak diimplementasikan,” tegasnya.
Ia menyebut baru belakangan muncul gerakan untuk merealisasikan kebijakan zakat tersebut. Bagi Mawardi, ini seharusnya menjadi prioritas dalam pembahasan revisi UUPA, bersama poin-poin lain yang bersifat wajib.
Poin-Poin Wajib yang Terlupakan
Sebagai salah satu perancang awal, Mawardi mengingatkan bahwa Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mewajibkan harmonisasi beberapa aspek yang kini justru diabaikan.
“Misalnya, persyaratan calon gubernur, kewenangan Mahkamah Agung untuk sengketa hasil pilkada yang sebenarnya sudah beralih ke Mahkamah Konstitusi, tapi di UUPA masih menyebut MA. Itu wajib diubah,” katanya.
Hal lain adalah penetapan nama Aceh. “Undang-undang PA mengatur itu dengan Peraturan Pemerintah, tapi kita tetapkan lewat Pergub. Itu keliru. Harus dilegalkan supaya kuat,” jelasnya.
Selain itu, Mawardi menyoroti urgensi memperpanjang dana otonomi khusus, mengatur bagi hasil migas lepas pantai, dan memperjelas kewenangan pengelolaan sumber daya alam non-migas yang kini abu-abu antara pemerintah pusat dan Aceh.
Partisipasi dan Transparansi, Dua Kunci yang Hilang
Bagi Mawardi, revisi UUPA bukan sekadar teknis hukum, tapi juga soal proses. Ia menyesalkan minimnya partisipasi publik dalam pembahasan.
“Harusnya dibahas terbuka dan partisipatif. Kita minta draf dulu, baru pembahasan. Ini kan tidak. Tiba-tiba sudah ada hasil, kita tidak tahu prosesnya,” ungkapnya.
Bagi pria yang menyebut dirinya “sudah tua” ini, keterlibatan masyarakat dan ahli sangat penting agar revisi UUPA benar-benar menjawab kebutuhan Aceh, bukan sekadar formalitas politik.
Masa Depan Perdamaian Aceh dan UUPA
Dari pengalamannya, Mawardi memahami bahwa perdamaian adalah proses panjang yang tidak berhenti di meja perundingan. MoU Helsinki memberi dasar, UUPA memberi kekuatan hukum, tetapi implementasi memerlukan komitmen politik, konsistensi kebijakan, dan partisipasi publik.
“Hal-hal yang wajib itu harus dimuat. Jangan sampai kita mengulang kesalahan masa lalu,” pungkasnya.
Discussion about this post