Ketekunan itu akhirnya berbuah hasil, ia lolos tes migrasi dan diterima sebagai pekerja di sektor pertanian di Australia. Ia nekat bekerja di Australia setelah tak kunjung dapat pekerjaan di Aceh.
Sigli -Semua berawal dari kekecewaan akan sempitnya lapangan kerja di Aceh. Hendra, anak kampung dari Dayah Muara, Pidie, sudah menamatkan pendidikan tinggi di salah satu kampus ternama di Aceh. Namun, bertahun-tahun ia hanya berpindah dari satu lowongan ke lowongan lain tanpa hasil yang layak.
“Saya pikir, kuliah tinggi itu jaminan masa depan. Ternyata tidak. Di Aceh, banyak teman saya yang lulusan sarjana, tapi cuma jadi pengangguran elegan,” katanya, mengenang masa-masa frustrasi pasca-lulus, Rabu, (23/7/2025) di Sigli kepada Tinjauan.
Hendra (31), anak keempat dari enam bersaudara, berperawakan sedang dan senyumnya yang menawan, tumbuh dalam lingkungan religius dan sederhana. Ia menempuh pendidikan menengah di SMA Jeumala Amal, Pidie Jaya, salah satu sekolah swasta unggulan di Aceh yang dikenal dengan disiplin dan mutu pendidikan yang baik.
Titik balik hidupnya datang dari percakapan sederhana dengan seorang sahabat lama yang telah menetap di Australia.
“Bayangkan, Hend. Kamu Kerja satu hari di sini setara dengan gaji satu bulan di sana,” ujar temannya. Kalimat itu membekas kuat di benaknya.
Ia pun mulai belajar bahasa Inggris secara otodidak. Tak ada biaya untuk kursus mahal, ia hanya mengandalkan buku bekas, aplikasi daring, dan latihan berbicara sendiri di kamar.
Ketekunan itu akhirnya berbuah hasil, ia lolos tes migrasi dan diterima sebagai pekerja di sektor pertanian Australia.
Setibanya di negeri orang, hidup tidak langsung berubah indah. Ia bekerja memanen bunga mawar di kebun, mengangkat pupuk perawatan bunga dalam goni berat di bawah cuaca yang ekstrem. Tapi tak sekali pun ia mengeluh.
“Saya sadar, inilah harga untuk hidup agar ada perubahan,” ujarnya.
Beberapa bulan kemudian, ia mendapat pekerjaan di sektor pemotongan daging. Pekerjaan ini memberinya penghasilan yang lebih layak, meski tantangannya juga lebih berat secara fisik dan mental.
“Kerjanya berat, tapi gajinya setimpal, dan yang paling saya rasakan, saya dihargai,” ucapnya.
Di sinilah ia mulai merasakan sesuatu yang selama ini ia anggap langka, adanya penghargaan terhadap tenaga kerja.
Hidup di Australia membuka mata akan bagaimana negara maju memperlakukan pekerja. “Di sini, walau kita cuma buruh, kita dihormati. Tidak dibedakan berdasarkan warna kulit, agama, atau dari mana kita berasal,” katanya.
Hendra mengaku, ia tak pernah merasa direndahkan, bahkan meski ia pendatang dengan aksen asing.
“Saya sempat menunggu kapan saya akan dihina atau diperlakukan berbeda. Tapi itu tak pernah terjadi. Di Australia, pekerja dari Asia diperlakukan setara dengan warga lokal,” ujarnya.
Tak heran jika banyak rekan sesama pekerja di Australia kemudian memilih untuk menetap permanen dan berganti kewarganegaraan demi jaminan hidup yang lebih baik.
Tapi tidak dengan Hendra. Ia tetap memilih Indonesia sebagai tanah airnya.
“Bagi saya, hidup nyaman itu penting, tapi rasa memiliki tanah sendiri itu tidak bisa digantikan. Saya ingin bekerja di sini, tapi tetap sebagai warga negara Indonesia,” tegasnya.

Kini, Hendra tengah mengurus legalitas izin tinggal jangka panjang agar ia bisa terus bekerja di Australia tanpa melepas kewarganegaraan. Ia tetap aktif dalam komunitas diaspora Aceh dan Indonesia di Australia.
Saat Ramadhan, ia ikut menggalang buka puasa dan donasi untuk anak-anak yatim di Aceh. Pun begitu, saat ada keluarga perantau di Aceh yang meninggal dunia ia ikut hadir mengirimkan doa Samadiah.
Baginya, hidup bukan soal pindah tempat, tapi tentang tumbuh dan memberi makna. “Kalau kita ingin hidup lebih baik, kita harus berani keluar dari zona nyaman. Tapi jangan pernah lupa asal-usul. Jangan sampai akar kita putus,” katanya.
Ia berharap anak muda di Aceh tak kehilangan semangat untuk merantau dan berkembang. Ia tahu, keberanian itulah yang menjadi pembeda.
“Merantau itu bukan soal meninggalkan rumah, tapi tentang mencari jalan pulang yang lebih baik,” tutupnya, sambil menyeruput kopi sanger, khas Aceh.
Saat ini, Hendra sedang berada kampung halamannya, tapi untuk sementara waktu. Ia pulang bukan karena liburan, melainkan karena duka.
Ayahnya meninggal dunia dua pekan lalu. Kepergian orang yang selama ini ia jadikan teladan kesabaran dan kerja keras itu meninggalkan kekosongan dalam dirinya. “Ayah tidak pernah melarang saya merantau. Sekarang saya pulang bukan membawa kebanggaan, tapi membawa doa,” ucapnya, lirih.
Hendra adalah potret perantau masa kini, berani keluar dari batas, tapi tidak pernah lupa akar. Baginya, Australia mungkin tempat ia mencari nafkah, tapi Aceh tetap tempat ia pulang dan menumbuhkan cinta.
Discussion about this post