Sejak pandemi COVID-19, Indonesia telah mengungguli negara-negara tetangga dalam hal ketahanan ekonomi, dengan pertumbuhan PDB riil yang relatif lebih stabil dengan penurunan hanya sebesar 2,1% pada tahun 2020, diikuti dengan pertumbuhan kembali menjadi 3,7% pada tahun berikutnya.
Namun, tekanan terhadap perekonomian terlihat semakin meningkat didorong oleh berbagai faktor, antara lain tingkat inflasi yang tinggi selama tujuh tahun, pelemahan mata uang, dan ketidakstabilan politik yang diperkirakan akan terjadi dari pemilu 2024.
Perekonomian Indonesia Menghadapi Banyak Tantangan di Depan
Indonesia mencatat tingkat inflasi yang lebih stabil masing-masing sebesar 1,9% dan 1,6% pada tahun 2020 dan 2021, dibandingkan dengan tingkat inflasi tahunan global sebesar 3,0% dan 4,9%. Hal ini didukung oleh kebutuhan komoditas penting yang signifikan secara global seperti gas dan kelapa sawit, serta melalui respons kebijakan yang berani dan komprehensif, yang mencakup paket kebijakan fiskal berupa Program Pemulihan Ekonomi Nasional, kebijakan moneter yang akomodatif, dan dorongan kredit.
Namun, pada periode ke depan, tekanan terhadap perekonomian diperkirakan akan lebih berat. Indonesia diperkirakan akan mencapai tingkat inflasi tertinggi selama tujuh tahun terakhir pada tahun 2022, sekitar 4,3%. Tekanan tersebut semakin diperparah dengan kenaikan harga BBM tanah air yang dimulai pada September 2022 dan akan terus dinaikkan secara perlahan di seluruh wilayah. Hal ini diperkirakan akan berdampak pada harga logistik, dan produsen terpaksa menaikkan harga produknya secara perlahan.
Pemilu dan Pilpres yang direncanakan pada tahun 2024 diprediksi semakin berkontribusi pada situasi ekonomi yang makin memburuk. Pada pemilu lalu, khususnya pada pemilu 2009 setelah resesi global pada 2008, rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS, yang disebabkan oleh ketidakpastian dan ketidakstabilan di dalam negeri.
Hal ini juga diperkirakan akan terjadi pada tingkat tertentu antara tahun 2023 dan 2024, seperti yang dapat dilihat dari awal pelemahan rupiah Indonesia pada kuartal 3 dan kuartal 4 tahun2022. Hal ini akan menyebabkan penurunan cadangan devisa dan peningkatan kewajiban utang nasional.
Strategi untuk Mengatasi Kenaikan Harga di Berbagai Industri
Dengan kenaikan harga produk yang disebabkan oleh inflasi dan depresiasi rupiah, berbagai industri mengambil strategi dan pendekatan yang berbeda.
Pada industri makanan dan minuman, meski biaya produksi terus meningkat, permintaan tak kunjung surut. Pada saat yang sama, produsen tidak dapat menaikkan harga secara signifikan mengingat sifat konsumen yang sensitif terhadap harga.
Akibatnya, beberapa pendekatan diambil untuk menyelaraskan kembali strategi pengemasan dan mengemas ulang produk dengan mengubah ukuran kemasan agar harga produk tetap terjangkau, sementara produsen tidak mengalami kerugian.
Dalam hal ukuran kemasan, produk sekali saji yang lebih kecil telah didistribusikan di pasar sejak awal pandemi. Satu porsi makanan seperti wafer, atau produk perawatan rumah sekali pakai seperti deterjen cucian dalam format sachet, dikurangi ukurannya untuk memastikan bahwa produk tersebut masih terjangkau oleh konsumen. Menurut Asosiasi Ritel Indonesia (Aprindo), kemasan kecil ini mencakup 10% dari total penjualan produk sejak pandemi.
Demikian pula dalam industri perawatan rumah tangga, produsen tidak mampu menaikkan harga secara signifikan, apalagi dengan persaingan dari merek lokal baru. Karena konsumen berpendapatan rendah hingga menengah tidak sadar merek terkait produk perawatan rumah, mereka tidak akan berpikir dua kali untuk beralih ke alternatif yang lebih murah saat ada kenaikan harga.
Pabrikan melakukan reformulasi bahan, seperti mengurangi jumlah bahan pembersih, untuk mempertahankan harga satuan produk meskipun biaya bahan baku meningkat. Dalam banyak kasus, produsen juga menawarkan potongan harga sepanjang tahun melalui e-commerce dan minimarket untuk mempertahankan konsumen.
Tahun 2023 Menghadirkan Ketidakpastian
Tahun 2022 merupakan tahun yang penting bagi pasar Indonesia, dengan kenaikan harga komoditas di awal tahun, diikuti oleh inflasi tinggi selama tujuh tahun dan kenaikan harga bahan bakar di kuartal ketiga tahun ini.
Faktor-faktor ini biasanya diterjemahkan ke dalam kepercayaan konsumen yang lebih rendah dan penurunan penjualan. Kenaikan harga BBM di 2014 dan penyesuaian subsidi listrik di tahun 2017 sama-sama mengakibatkan turunnya penjualan produk konsumsi begerak cepat (FMCG).
Namun, terlepas dari itu, tahun 2022 tetap merupakan anomali, karena indeks kepercayaan konsumen kembali naik ke angka pra-pandemi pada kuartal 2 tahun 2022. Konsumen mulai kembali berbelanja di saat situasi ekonomi dan pandemi menjadi stabil.
Indeks Keyakinan Konsumen
Pada tahun 2023, perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh sebesar 4,8%. Salah satu penopang utama pertumbuhan positif adalah belanja konsumen. Harga bahan bakar yang baru saja dinaikkan pada akhir kuartal ketiga tahun 2022, akan berkontribusi pada kenaikan ini, serta mobilitas masyarakat yang kembali normal setelah pembatasan karena pandemi.
Selain itu, pencabutan subsidi listrik selanjutnya akan ditinjau kembali setiap tiga bulan, sehingga kemungkinan akan terjadi perubahan pada tahun 2023 yang akan menyebabkan peningkatan belanja untuk perumahan.
Meski diproyeksi positif, Indonesia masih menghadapi ketidakpastian, seperti penguatan rupiah dan situasi pemilu yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi 2023. Dengan demikian, produsen dan konsumen akan optimis namun tetap waspada tentang kemungkinan yang akan terjadi di tahun 2023.
Sumber: Euromonitor
Discussion about this post