Urgensi moratorium mengingat praktik pertambangan di Aceh yang masih carut-marut, berdampak pada ekologi, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Banda Aceh — Masyarakat sipil Aceh mendesak pemerintah memberlakukan moratorium izin pertambangan setelah praktik tambang yang carut-marut dan mangkrak menimbulkan kerusakan lingkungan, konflik sosial, serta penurunan signifikan pendapatan daerah.
Desakan itu disampaikan dalam audiensi GeRAK Aceh bersama DPR Aceh di Kantor DPR Aceh, Rabu (29/10/2025). Hadir dalam pertemuan ini perwakilan Yayasan HAkA dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).
Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Fernan, menekankan urgensi moratorium mengingat praktik pertambangan di Aceh yang masih carut-marut, berdampak pada ekologi, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat.
“Dari 64 IUP Minerba di Aceh, 28 berstatus operasi produksi dan 36 eksplorasi. Banyak yang mangkrak di lapangan. Beberapa IUP OP belum memulai produksi dan penjualan, bahkan ada indikasi bisnis portofolio berbasis izin tambang yang melibatkan lembaga keuangan dan pendanaan asing,” ujar Fernan.
Ia menambahkan, 10 IUP berada di kawasan hutan seluas 30.602 hektare, menimbulkan risiko kerusakan lingkungan dan potensi konflik sosial.
Evaluasi penerimaan daerah juga menunjukkan tren penurunan signifikan. Fernan menjelaskan Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba Provinsi Aceh pada Tahun Anggaran 2026 diproyeksi turun 58% menjadi Rp 25,43 miliar.
Sementara kabupaten penghasil seperti Aceh Barat dan Nagan Raya mengalami penurunan drastis, dari Rp 98,16 miliar menjadi Rp 39,12 miliar dan Rp 53,31 miliar menjadi Rp 15,24 miliar.
Fernan menekankan, Aceh belum memiliki peta jalan (roadmap) pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dari dana tambang. Meski dana CSR perusahaan tambang tercatat mencapai Rp 63–71 miliar dalam tiga tahun terakhir, pemanfaatannya belum optimal dan kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat.
Ia juga mengatakan pentingnya transparansi, termasuk pengungkapan pemilik manfaat (beneficial ownership) dan monitoring berkala agar tidak terjadi penyalahgunaan izin.
“Ini bukan sekadar soal fiskal, tapi juga keadilan sosial dan lingkungan,” tegasnya.
Wakil Ketua DPR Aceh, Ali Basrah, menyambut baik masukan masyarakat sipil dan berjanji akan menyampaikannya kepada pemerintah provinsi. Sebelumnya, berdasarkan hasil Pansus, pemerintah Aceh telah merespons melalui Instruksi Gubernur Aceh Nomor 08/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan/Non Perizinan Berusaha Sektor Sumber Daya Alam.
Sementara itu, Ketua Pansus Minerba DPR Aceh, Anwar Ramli, menilai bahwa monitoring dan evaluasi pengelolaan tambang belum berjalan optimal.
Pemerintah juga berencana membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang akan mengevaluasi izin pertambangan, menilai kepatuhan perusahaan, serta menindak pelanggaran administratif maupun berat.
Terkait pengelolaan dana tambang, DPR Aceh mendorong pemerintah provinsi untuk segera menyusun peta jalan pemberdayaan masyarakat.
Salah satu kebijakan yang disarankan adalah pengembangan pertambangan rakyat, sehingga masyarakat sekitar dapat langsung memanfaatkan hasilnya.
Anwar Ramli juga menekankan pentingnya peran PT Pema, sebagai badan usaha milik Aceh, dalam pengelolaan tambang. Menurutnya, evaluasi, transparansi, dan pengawasan yang ketat diperlukan, serta seluruh pihak harus dilibatkan untuk mengawal proses pengelolaan tambang agar adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan (*)












Discussion about this post