Berdasarkan angka statistik, menunjukkan bahwa hampir separuh penduduk Banda Aceh masih belum memiliki rumah pribadi.
BANDA ACEH – Memiliki rumah sendiri masih menjadi cita-cita banyak warga Banda Aceh. Bagi sebagian orang, rumah bukan sekadar tempat berteduh, melainkan simbol kestabilan hidup, kenyamanan, dan masa depan yang lebih baik. Namun, bagi Sultan (45), seorang pedagang asal Pidie yang sudah menetap di Banda Aceh selama 16 tahun, mimpi itu masih jauh dari kenyataan.
Selama hampir dua dekade, Sultan harus berpindah-pindah tempat tinggal. Ia mengaku kesulitan menemukan hunian yang layak dan terjangkau di ibu kota provinsi.
“Ada rumah yang murah, tapi lingkungannya kumuh atau rawan maling. Kalau mau cari yang lebih baik, harganya terlalu mahal. Untuk beli rumah sendiri, saya belum sanggup karena kebutuhan keluarga masih banyak,” ungkapnya.
Kisah Sultan hanyalah satu potret kecil dari kondisi hunian masyarakat Banda Aceh. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat, 58,20 persen penduduk Banda Aceh tinggal di rumah milik sendiri. Sementara itu, 22,46 persen menyewa rumah, 14,08 persen tinggal di rumah bebas sewa, dan 5,26 persen menempati rumah dinas. Angka ini menunjukkan hampir separuh penduduk masih belum memiliki rumah pribadi.
Pengeluaran rumah tangga juga memperlihatkan beban sewa tempat tinggal menjadi salah satu kebutuhan terbesar di luar pangan. Kondisi ini menandakan sulitnya akses masyarakat terhadap hunian yang benar-benar layak.
Pemerintah Kota Banda Aceh sejauh ini sudah membangun rumah susun di Gampong Keudah, Kecamatan Kutaraja. Tingginya minat masyarakat terlihat dari ramainya kompleks tersebut dihuni. Aktivitas sehari-hari warga di sana mencerminkan kebutuhan besar masyarakat terhadap hunian vertikal yang lebih terjangkau.
Namun, upaya itu masih belum sebanding dengan kebutuhan. Tantangan kepemilikan rumah di Banda Aceh terus meningkat seiring keterbatasan lahan untuk perumahan model KPR. Konsep rumah susun bisa menjadi jawaban, dengan catatan kualitas bangunan, infrastruktur, dan fasilitas umum turut dijamin. Tidak kalah penting, desain hunian juga harus ramah bagi anak, lansia, dan kelompok disabilitas, serta tetap mengadopsi nilai budaya lokal.
Bagi Sultan dan masyarakat lainnya, yang terpenting adalah adanya kebijakan nyata untuk membuka akses terhadap rumah murah.
“Kami berharap pemerintah bisa membantu masyarakat kecil dengan program rumah subsidi. Kalau ada bantuan begitu, setidaknya kami bisa punya tempat tinggal yang layak tanpa harus berpindah-pindah lagi,” harapnya.
Di balik geliat pembangunan ibukota provinsi ini, ketersediaan hunian murah masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah kota.
Membangun Rusunawa sebagai Solusi
Dengan harga tanah di Banda Aceh yang terbilang tinggi, hampir mustahil menyediakan hunian yang layak dalam bentuk rumah KPR. Salah satu solusinya adalah menghadirkan lebih banyak rumah susun (rusunawa).
Dengan hunian berbentuk rumah susun, akan lebih menghemat biaya dalam pembelian bidang tanah. Rumah susun juga identik sebagai hunian warga di tengah kota, apalagi di kota maju maupun berkembang yang penduduknya makin padat.
Pembangunan rumah susun juga perlu menyertakan fasilitas publik dasar seperti musalla, taman bermain anak, dan kebutuhan publik lain yang menunjang kehidupan masyarakat yang layak dan interaksi sosial yang baik.
Pendekatan kebudayaan dan Syariat Islam bisa dipadukan dalam pembangunan rumah susun dengan menghadirkan kegiatan seperti pengajian warga di musalla dan aktivitas adat kebudayaan masyarakat penghuni rusunawa tersebut.
Dengan membangun rusunawa, salah satu masalah dasar warga kota, yakni ketersediaan hunian, bisa diatasi. Hal ini tentu akan meningkatkan kualitas hidup warga dan tentu akan meningkatkan angka indeks pembangunan manusia (IPM) kota kita tercinta.
Harapan masyarakat sederhana, yaitu sebuah rumah yang nyaman, aman, dan terjangkau untuk ditinggali, sekaligus menjadi tempat membangun masa depan bersama keluarga.[]
Discussion about this post