Pelaku usaha (UMKM) perlu didorong untuk memahami bahwa sertifikasi halal adalah investasi jangka panjang yang akan memperkuat posisinya di pasar domestik dan internasional.
Oleh: Muhammad Azwar, S.E., M.E. (Pengawas JPH Kementerian Agama-Kanwil Aceh).
Dalam perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia, proklamasi kemerdekaan tidak hanya menandai berakhirnya kelamnya penjajahan dan penderitaan, akan tetapi juga menegaskan amanah konstitusional yang sangat luhur yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diantaranya: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Cita-cita ini tidak boleh kita pahami sebagai slogan statis semata, melainkan harus ditransformasikan ke dalam bentuk kebijakan publik yang konkret, dinamis, konsisten, kontekstual, dan inklusif.
Dalam konteks inilah, pengawasan terhadap jaminan produk halal bukan semata-mata urusan spritual saja, akan tetapi menjadi bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari upaya negara dalam mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan publik.
Di tengah dinamika ekonomi dunia dan derasnya arus perdagangan bebas, kehalalan produk menjadi isu strategis yang menyangkut banyak hal (bukan hanya kepatuhan terhadap syariat), melainkan juga hak konsumen, integritas industri, dan daya saing nasional
Hari ini, label halal telah melampaui sebatas status simbolik saja, melainkan telah menjadi jaminan etis yang mengandung nilai spiritual, sosial, dan ekonomi. Namun, validitas dan kredibilitas dari label halal sangat tergantung pada sejauh mana sistem pengawasan dijalankan secara profesional, transparan, dan berintegritas. Tanpa pengawasan yang menyeluruh dan konsisten, label halal akan menjadi sekadar formalitas administratif yang kehilangan makna esensialnya.
Mengamati hal ini, sistem pengawasan JPH di Indonesia masih ada ruang perbaikan, diantaranya: tantangan struktural dan fungsional, fragmentasi regulasi, ketimpangan kapasitas antar daerah, keterbatasan jumlah pengawas halal, lemahnya kolaborasi antar-lembaga, serta kurangnya kesadaran dan keseriusan masyarakat dapat menyebabkan pelaksanaan pengawasan tidak berjalan secara optimal.
Di sisi lain, kompleksitas rantai pasok ekonomi dunia turut menambah tantangan, hal ini dapat kita lihat dari banyaknya produk yang berbahan baku lintas negara dengan proses produksi yang kompleks dan melibatkan banyak pihak.
Risiko kontaminasi silang dan manipulasi bahan-bahan non-halal menjadi sangat nyata dan rawan. Dalam konteks seperti ini, kerja sama internasional sangat dibutuhkan dan peran pengawas JPH menjadi sangat krusial, bukan hanya sebagai pengawas teknis, tetapi juga sebagai penjaga nilai dan integritas sistem.
Mirisnya, peran strategis ini belum sepenuhnya diakui secara kolektif. Di beberapa daerah, pengawas JPH masih dipandang sebagai pelengkap birokrasi, bukan sebagai garda terdepan dalam perlindungan konsumen dan penjamin etika industri.
Jika ditelusuri lebih dalam, pengawasan JPH seharusnya menjadi instrumen kebijakan publik yang selaras dengan nilai-nilai maqashid syariah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima tujuan syariat ini memiliki korelasi langsung dengan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Dengan demikian, pengawasan JPH tidak boleh dilihat secara sektoral dan pelengkap saja, tetapi harus dilihat dalam kerangka pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Label halal bukan lagi sekadar alat verifikasi, melainkan manifestasi dari etika kebangsaan yang mendorong terciptanya ekosistem ekonomi yang bermoral, berdaya saing, dan berorientasi pada kesejahteraan publik.
Lebih lanjut, pengawasan JPH tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan dan keterlibatan aktif dari masyarakat. Realita yang ada, literasi halal dan kesadaran di tingkat publik masih rendah.
Banyak pelaku usaha, distributor dan konsumen yang belum memahami pentingnya label halal sebagai instrumen perlindungan diri, keluarga, dan masyarakat.
Maka dari itu, perlu dilakukan gerakan literasi halal (sosialisasi dan pembinaan) yang masif, berbasis komunitas, dan melibatkan dunia pendidikan serta media. Selain itu, pelaku usaha (UMKM) perlu didorong untuk tidak sekadar patuh pada aturan, tetapi juga memahami bahwa sertifikasi halal adalah investasi jangka panjang yang akan memperkuat posisinya di pasar domestik dan internasional.
Sinergi dan kolaborasi antara pemerintahan, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam membangun sistem pengawasan JPH yang kuat dan inklusif.
Pengawasan JPH harus menjadi prioritas dan tanggung jawab kolektif bangsa, bukan hanya tanggung jawab Kementerian Agama atau BPJPH semata. Dengan demikian, sangat dibutuhkan kepemimpinan yang transformatif, regulasi yang adaptif, serta ekosistem yang mendukung, agar pengawasan JPH dapat berfungsi secara optimal sebagai penggerak moral ekonomi bangsa.
Di hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 ini, sudah saatnya semangat proklamasi kita terjemahkan ke dalam bentuk perlindungan nyata terhadap hak-hak dasar rakyat, termasuk hak untuk mengonsumsi produk yang halal dan thayyib.
Momentum peringatan kemerdekaan RI hari ini harus menjadi panggilan nurani, bahwa tugas menjaga kemerdekaan tidak selesai pada seremonial saja, tetapi harus pada subtansi kerja nyata dan berdampak.
Ketika pengawasan JPH dijalankan dengan jujur, profesional, dan menyeluruh, maka label halal akan menjadi simbol integritas bangsa dan menjadi refleksi keseriusan kita dalam ikhtiar mensejahterakan rakyat, membangun ekosistem industri yang bermoral, dan menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia mampu menjadi pemimpin dalam ekosistem halal dunia.
Pada akhirnya, kesuksesan sistem jaminan produk halal tidak hanya diukur dari kuantitas sertifikat halal yang telah diterbitkan, melainkan dari kualitas, kepatuhan, dan kepercayaan publik yang berhasil dibangun.
Dalam iklim masyarakat yang semakin kritis dan terbuka, kepercayaan adalah aset strategis dan pengawasan adalah instrumen utamanya. Ketika pengawasan dijalankan dengan sungguh-sungguh dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika, maka label halal akan menjadi simbol integritas bangsa, manifestasi cita-cita proklamasi, dan jalan menuju kesejahteraan publik yang hakiki sesuai dengan cita-cita bangsa.
Dirgahayu Indonesiaku yang ke-80. Merdeka!!!
Discussion about this post