Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
No Result
View All Result
Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
Home Opini

“Saya bukan kombatan”, Catatan Risman Semasa Konflik Aceh

TINJAUAN ID by TINJAUAN ID
August 8, 2025
Reading Time: 6 mins read
0
“Saya bukan kombatan”, Catatan Risman Semasa Konflik Aceh

Semangat mengadvokasi HAM dan menyuarakan jalan damai guna mengakhiri konflik dengan kekerasan terus membara di pikiran dan hati para aktivis di Aceh, termasuk saya.

Oleh: Risman A. Rahman

Nama saya Risman. Dan, nama ini terbilang “bertuah” hidup di masa konflik Aceh. Buktinya, di sepanjang aktivitas di masa konflik saya tidak pernah sekalipun mengalami tindakan kekerasan, seperti yang kerap dialami oleh kawan-kawan lainnya.

Mungkin karena nama itu “hana meuaceh.” Itu betul adanya. Awalnya, nama saya Rismanto. Nama ini seirama nama abang saya, Hermanto. Menurut cerita, kalau pakai nama “jawa” mudah dapat kerja.

Tapi, karena saya tidak seberani abang. Pengalaman “berkelahi” di masa kecil pun kerap kalah. Dan, ujungnya jadi ejekan. Maka, di ijazah Sekolah Dasar saya minta ditulis saja Risman. Usai kuliah, seorang teman menasehati agar menambah Rachman. Jadilah Risman Rachman. Tapi, di KTP tetap Risman.

Entah karena nama itu, setiap kali saya ke daerah, atau sebelumnya melakukan tugas jurnalistik untuk majalah D&R, pengganti majalah Tempo yang dibredel tahun 1994, juga tidak sampai ada insiden kekerasan, meski kerap bertemu dengan pos pemeriksaan KTP.

Pada suatu malam di jalan yang sangat sepi dan sunyi mobil kami dihentikan. Saat itu mobil nyaris menabrak kucing yang nyebrang jalan. Lokasinya ternyata persis didepan kantor aparat. Bunyi ban mobil karena rem mendadak menimbulkan desis yang cukup untuk membuat aparat segera siaga 1.

Dan, kami pun diperiksa. Saat itu, mereka melihat KTP dan saya berkata: “Saya bukan kombatan!” Dalam hati, jika ditanya lebih lanjut saya akan pakai jurus cerita tentang nama saya, yang awalnya Rismanto.

Dan tentu ada kisah berikutnya. Saya percaya akan membuat aparat menurunkan arah moncong senjatanya ke arah tanah, bukan ke badan saya. Tapi, dengan nama Risman saja ternyata sudah cukup membantu.

***

Saya mulai bersentuhan dengan konflik saat berkerja di Walhi Aceh. Baik saat berkantor di Lampaseh Kota maupun saat berkantor di Lampriet, Walhi Aceh kerap bersentuhan dengan ikut isu-isu HAM, disamping isu lingkungan hidup.

Kantor Walhi Aceh juga sering jadi tempat diskusi atau rapat aktivis mahasiswa. Bahkan,
saat berkantor di Lampaseh Kota pernah jadi tempat pertemuan para pejabat dari Pusat dengan para korban konflik pada Mei 1999.

Paska pertemuan barulah hati kami berdebar-debar. Pasalnya, para korban konflik cukup berani mengungkap kisah hidup mereka kepada para petinggi yang datang dari Jakarta.

Di kantor Walhi Aceh saat di Lampaseh Kota itu pula banyak dokumen-dokumen yang dianggap “rawan” dibakar atau ditanam. Eskalasi konflik membuat semua pihak memilih untuk berhati-hati. Tidak ada alasan lain. Itu saja!

Tapi, semangat mengadvokasi HAM dan menyuarakan jalan damai guna mengakhiri konflik dengan kekerasan terus membara di pikiran dan hati para aktivis di Aceh, termasuk saya.

YAPPIKA termasuk salah satu NGO di Jakarta yang rajin membantu advokasi, yang salah satunya mengikutsertakan saya sebagai peserta. Saat itu, YAPPIKA berafiliasi dengan Forum LSM Aceh juga ikut membantu kegiatan resolusi konflik Aceh – Papua.

Kegiatan itu mengantar saya mengikuti seminar di Hotel Menara Peninsula, Jakarta 24 – 30 Oktober 1999. Saat itu, saya terkejut karena Pak Gade Ismail meminta saya untuk menyampaikan presentasi. Saya jelas kikuk karena narasumber utamanya bukan sosok sembarangan, seperti Daniel Dhakidae.

Tapi, Pak Gade meyakinkan saya dan pihak YAPPIKA bahwa saya pasti mampu. Usai kegiatan saya dibawa ke lokasi penjualan buku dan menghadiahi saya buku Pemikiran Karl Marx yang disusun oleh Franz Magnis Suseno. Di buku Pak Gade menulis “Ke senang that uroe nyoe.” Juga dibubuhkan tanggal buku dibeli yaitu 27 Oktober 1999.

Foto: Risman A. Rahman

Itu waktu yang tidak terlalu jauh dengan peristiwa pembakaran Rumoh Geudong pada Mei 1999. Saat itu, saya dengan Yarmen Dinamika juga berada di lokasi Rumoh Geudong. Sayangnya, saat kami tiba, Baharuddin Lopa baru saja meninggalkan lokasi.

Kami pun meliput kejadian pembakaran dan mengumpulkan informasi seputar Rumoh Geudong. Saya masih ingat saat mencolek darah kering yang masih meninggalkan jejak di pohon, yang saya yakini itu sebagai bekas darah yang sudah mengering lama.

***

Di masa konflik dalam rentang 2000 – 2003 saya kemudian lebih banyak bergulat dengan advokasi pemikiran. Di masa Walhi Aceh di Lampriet saya juga dijadikan salah seorang narasumber oleh media. Saat itu, Tabloid Kontras adalah media yang paling sering menurunkan laporan-laporan Aceh yang bersisian dengan konflik vertikal Aceh.

Tabloid Kontras No. 121 Tahun IV 24 – 30 Januari 2001 ikut memuat pernyataan saya yang oleh kawan-kawan (saat ini) disebut bernilai futuristik yaitu tawaran agar GAM membentuk partai politik dengan nama Atjeh Liberation Party. Dari perjuangan bersenjata menjadi ke perjuangan politik.

Di edisi itu, selain saya, yang menjadi narasumber bukan sosok biasa. Ada Prof Djamaluddin Ahmad, yang saat itu anggota DPRD dari PAN, Abdullah Puteh yang saat itu baru menjadi Gubernur Aceh, sejak November 2000 dan Drs Ir Teuku Saiful Achmad, kala itu anggota DPR-RI asal Aceh.

Tabloid Kontras edisi itu juga menghadirkan hasil wawancara dari GAM, yaitu Teuku Kamaruzzaman yang saat itu Jubir Komite Bersama Aksi Kemanusiaan (KBAK) GAM, Sofyan Daud yang kala itu Wakil Panglima GAM Wilayah Pase (Aceh Utara) dan Sofyan Ibrahim Tiba SH, yang kala itu juga dikenal sebagai dosen Fakultas Hukum Unmuha, Banda Aceh.

Berikut petikan apa yang saya sampaikan di Tabloid Kontras:

Meski banyak pihak bakal kaget melihat GAM tampil sebagai entitas dan kekuatan politik, tapi tidak demikian halnya bagi Risman A Rachman. Deputi Direktur Walhi Aceh ini sudah sejak lama (setidaknya empat bulan lalu) meramalkan jalan terbaik penyelesaian konflik Aceh adalah dengan mengubah format perjuangan GAM, menjadi pergerakan politik.

Risman bahkan sudah mengancang sebuah nama untuk partai bentukan GAM itu. Atjeh Liberation Party namanya. Tatkala GAM masuk legislatif, di parlemen Aceh tetap ada partai-partai RI (nasional).

Risman menghendaki adanya semacam pemahaman rekonsiliatif bersama dari semua pihak untuk mengenyahkan motif-motif kekerasan di Aceh dan kesiapan berdamai. Untuk itu, dia merekomendasikan penegakan hukum sebagai penjaga kelangsungan rekonsiliasi itu. Mungkinkah? “Nothing is impossible,” tukasnya.

Dalam konteks ini pula, kata Risman, konflik di Aceh tak bisa dilihat semata-mata dari kepentingan untuk mempercepat berakhirnya konflik, melainkan juga harus dicermati dari sisi kepentingan politik mereka yang terlibat langsung atau tak langsung dengan konflik di Aceh.

Atas dasar itulah alumnus IAIN Ar-Raniry ini sampai pada penilaian bahwa kesediaan pihak GAM berjuang lewat gerakan politik sebagaimana tercermin dalam moratorium of violence, adalah suatu keputusan yang cerdas. Terutama karena didasari sepenuhnya oleh pertimbangan untuk mengakhiri tindak kekerasan.

Beredarnya Tabloid Kontras saat itu ada efeknya. Saya ditelepon dari kantor Walhi Aceh agar tidak balik dulu ke kantor. Pasalnya ada yang telepon dan meluapkan kemarahannya karena pernyataan saya di Tabloid Kontras. “Sekarang kami juga tidak berada di kantor dulu,” kata kawan.

Pada edisi itu, di laporan utama Kontras juga dimuat pandangan saya. Judulnya “Sebuah Piagam untuk Manusia Aceh.” Di dalamnya dimuat juga skema piagam kemanusiaan yang saya susun. Sebuah kombinasi pendekatan damai yang mengadopsi referendum.

***

Saya juga sempat dipercaya sebagai Direktur Koalisi NGO HAM. Tapi, tidak lama. Meski begitu, di masa ini pula beberapa peristiwa yang membuat saya dihijrahkan ke Jakarta. Dan, di Jakarta kami akhirnya menghadirkan media aceHKita di bawah Yayasan AcehKita.

Peristiwa yang memicu langkah hijrah itu adalah insiden kehadiran aparat ke Kantor Koalisi NGO HAM, dan pada saat yang bersamaan rumah saya juga didatangi “tamu” tak dikenal. Dan, sebagai klien individual di Peace Brigade International (PBI), saya dan keluarga diberangkatkan ke Jakarta.

Sebelumnya saya ikut membantu saudara Dandhy Dwi Laksono untuk keperluan melakukan wawancara dengan korban kekerasan yang dilakukan pada 21 Mei 2003, dua hari usai status Darurat Militer diberlakukan. Malam harinya wawancara itu ditayang di SCTV.

Dan, ternyata hasil tayangan itu berujung Dandhy dipecat dari SCTV dan akhirnya kami bertemu di Jakarta yang kemudian menghadirkan media aceHKita, pada 19 Juli 2003. Ini tanggal hadirnya situs acehkita.com. Sebulan kemudian hadir pula majalah aceHKita.

Kehadiran media aceHKita tidak terlepas dari peristiwa pemecatan Dandhy Dwi Laksono, hijrahnya saya ke Jakarta, dan tindak lanjut Dandhy dengan tujuh wartawan yang berkumpul menggelar rapat rahasia di Hotel Jeumpa, Banda Aceh. Dari awal hanya ada 7 wartawan, lalu menjadi 10 orang dan menjadi 20 orang pada November 2003 dan akhirnya menjadi 40 orang.

Alasan paling substansial mengapa media aceHKita hadir karena pada saat status Darurat Militer diberlakukan terjadi monopoli informasi. Informasi sepihak ini membuat gerah ruang redaksi diberbagai media, tapi karena adanya Maklumat dari Penguasa Militer mengharuskan media melakukan sensor diri. Maka, media aceHKita menjadi saluran alternatif sekaligus saluran perlawanan jurnalistik.

Majalah Acehkita. Foto: Risman A. Rahman.

Lalu, pada 3 Maret 2004 dihadirkan Yayasan AcehKita yang didukung Todung Mulya Lubis, Smita Notosusanto, Debra Yatim, Binni Buchori dan Otto Syamsuddin Ishak. Melalui yayasan ini dilakukan berbagai kegiatan advokasi Aceh dengan cara lain seperti Pentas Seni yang menghadirkan Rafly dan Dwiki Darmawan dan juga gelar Rapai Pase.

Kegiatan menggelar Genderang Damai dengan Rapai Pase, Uroh Talo Rod itu terjadi pada 7 – 8 Agustus 2005. Rute perjalanan 14 truk, 20 bus dan puluhan mobil itu dari Banda Aceh – Peureulak, Aceh Timur. Dari punggung truk suara rapai saling bersahutan membelah malam mengantar pesan perdamaian. Acara yang dikoordinir oleh Ayah Panton ini melibatkan 288 orang seniman. Mereka silih berganti menabuh 144 rapai yang dipajang di truk.

Saat berhenti di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe saya menyampaikan pidato perdamaian. Saya menyampaikan esensi dari gelar acara Taloe Uroh. Saat saya menyampaikan kalimat “meunyo ka di meusu rapai uroh, lagee dipiyoh di meusu beude” (jika sudah bersuara rapai uroh, seperti berhenti suara senjata) rapai pun ditabuh bersahut-sahutan. Pesan yang hendak disampaikan segeralah berdamai.

Surat undangan dari Kedubes Amerika Serikat untuk mengikuti program Hak Asasi Manusia dan Resolusi Konflik di Kantor Kedubes AS. Turut diundang bersama Risman dari Acehkita, Nezar Patria, redaktur desk politik Majalah Tempo yang kini menjabat Wakil Menteri Komunikasi dan Digital. Foto: Risman A. Rahman.

Syukurlah, akhirnya hadir MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Ada yang lebih melegakan, yaitu kala membaca pernyataan Perdana Menteri Malik Mahmud pada Upacara Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) GAM – RI, Helsinki, 15 Agustus 2005.

Dalam pernyataannya Malik Mahmud menyatakan bahwa jalan satu-satunya untuk menjamin perdamaian di Aceh adalah dengan melalui pelaksanaan demokrasi yang sejati. Demokrasi yang sejati itu, oleh Malik Mahmud ditegaskan dengan indah dan kuat, yaitu yang tidak berlutut di hadapan kekerasan – ia adalah alat untuk mengakhiri kekerasan dan ketidakadilan.

Penutup pernyataan Malik Mahmud saya baca dengan penuh haru dan rasanya debaran dan ketakutan yang sempat melanda diri saya empat tahun lalu (2001) akibat wawancara di Tabloid Kontras sirna dengan sempurna. Malik berkata:

Sekarang kami meninggalkan hari bersejarah ini dan melangkah ke arah satu perjalanan yang jauh yang kami harapkan akan membawa ke arah masa depan yang lebih baik. Kami berharap hari-hari kegelapan dan keputusasaan sekarang telah berada di belakang kami; dan kami yakin akan hari-hari yang penuh harapan dan cerah berada di hadapan kami, sekiranya itulah kehendak Tuhan.

***

Untuk pendekatan budaya dalam menyuarakan damai Aceh lewat gelar Rapai Pase pihak CIDSE, salah satu lembaga internasional bidang perdamaian dan kemanusian yang memiliki belasan anggota di dunia, memasukkan nama saya sebagai salah satu Pribadi (dari 17 orang di dunia) yang menjadi Inspirasi di Asia. Kisah inspiratif melalui budaya itu dibukukan dalam buku “You Can Inspire. Personal Stories of Peace from Asia”. Buku ini, sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan terbit tahun 2007. []

Continue Reading
ShareTweetSendShare

Related Posts

Ketika Opini “Masih Adakah Ulama Alumni Dayah” Memasuki Wilayah Kebenaran Baru
Opini

Ketika Opini “Masih Adakah Ulama Alumni Dayah” Memasuki Wilayah Kebenaran Baru

August 5, 2025
Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis
Opini

Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

August 4, 2025
Boh Gaca: Warisan Inai dalam Budaya Tradisi Perkawinan dan Penolak Bala di Aceh 
Opini

Boh Gaca: Warisan Inai dalam Budaya Tradisi Perkawinan dan Penolak Bala di Aceh 

August 3, 2025
Identitas Muslim yang Hilang: Ketika Umat Lebih Tertunduk daripada Menundukkan
Oase

Identitas Muslim yang Hilang: Ketika Umat Lebih Tertunduk daripada Menundukkan

August 1, 2025
Konflik Thailand-Kamboja, Mediasi, dan Skenario Kedua Negara
Opini

Konflik Thailand-Kamboja, Mediasi, dan Skenario Kedua Negara

July 30, 2025
Polemik Musda Golkar Aceh, Antara Kader Murni dan Putusan Diskresi
Opini

Polemik Musda Golkar Aceh, Antara Kader Murni dan Putusan Diskresi

July 28, 2025
Next Post
STTIT Gelar Seminar Nasional 2025: Bangun Generasi Inovatif di Era Digital

STTIT Gelar Seminar Nasional 2025: Bangun Generasi Inovatif di Era Digital

Korban Tragedi KKA: Aceh Damai Sudah Sekian Lama, Tapi Kami Masih Luka

Korban Tragedi KKA: Aceh Damai Sudah Sekian Lama, Tapi Kami Masih Luka

Discussion about this post

Recommended Stories

100-an Emak-emak Hadiri Seminar Pendidikan Parenting, Fokusgampi : Ini Isu Penting!

July 6, 2025
Identitas Muslim yang Hilang: Ketika Umat Lebih Tertunduk daripada Menundukkan

Identitas Muslim yang Hilang: Ketika Umat Lebih Tertunduk daripada Menundukkan

August 1, 2025
Kisah Nazar Shah Alam dan Apache 13: Dari Sastra, Ngamen, hingga Jadi Ikon Musik Aceh

Kisah Nazar Shah Alam dan Apache 13: Dari Sastra, Ngamen, hingga Jadi Ikon Musik Aceh

August 7, 2025

Popular Stories

  • Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tak Kunjung Dapat Kerja di Aceh, Hendra Nekat Merantau ke Australia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara (Suara dari Blang Padang untuk Keadilan Syariat)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kedai Kopi Pertama di Aceh: Antara Pengaruh Ottoman dan Budaya Perantauan Tionghoa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fraksi Partai Demokrat Soroti Tantangan Pembangunan Aceh dalam Pendapat Akhir atas Pertanggungjawaban APBA 2024

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • TINJAUAN.ID
  • Pedoman Media Siber
Email: redaksi.tinjauan@gmail.com

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Dunia
  • Nasional
  • Regional
  • Politik
  • Opini
  • Contact Us

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?