Maria Umran, diaspora asal Aceh di Johor Bahru, Malaysia, mempercayakan anak laki-lakinya untuk mengaji secara online dengan seorang ustadz di Banda Aceh.
JOHOR BAHRU – Maria Umran (40 tahun) perempuan diaspora asal Aceh di Johor Bahru, Malaysia, mempercayakan anak laki-lakinya untuk mengaji secara online dengan seorang ustadz di Banda Aceh. Maria mengaku bahwa agak sulit menemukan akses ke aktifitas keagamaan di Malaysia. Baginya, Aceh lebih baik dari segi akses ke aktifitas keagamaan.
“Dari segi kualitas hidup lebih baik di Malaysia, tapi dari segi akses ke aktifitas keagamaan jauh lebih baik di Aceh. Anak saya belajar ngaji online dengn Ustadz di Banda Aceh,” terang Maria kepada Tinjauan secara daring, Minggu, (27/7/2025).
Aceh meski memiliki stigma sebagai salah satu provinsi yang tertinggal dari segi kemajuan daerah, namun bagi Maria, Aceh punya sesuatu yang tak dimiliki negara semaju Malaysia, khususnya dalam bidang keagamaan.
Ia mengaku punya kecenderungan dan kepercayaan tersendiri kepada para pengajar agama, yaitu para ustadz di Aceh.
“Saya lebih percaya dengan ustadz di Aceh karena dari segi makhraj, ilmu tajwid, dan lain-lain lebih bagus dibandingkan dengan daerah lain,” ujarnya.
Aceh bagi Maria, punya keunikan dan keunggulan tersendiri. Aktifitas keagamaan berupa pengajian begitu beragam dan mudah ditemui.
Aktifitas keagamaan di Aceh jauh lebih banyak dan beragam. Acara keagamaan di Aceh, menurut Maria, bukan hanya terpusat di Masjid, tetapi juga di rumah warga. Sementara di Malaysia acara keagamaan selalu berpusat di Masjid.
Hanya ritual keagamaan seperti tahlilan atau kenduri arwah yang dilakukan di rumah warga.
Maria tak menafikan bahwa di Malaysia juga ada institusi keagamaan seperti sekolah agama. Jika dibandingkan, aktifitas keagamaan di Aceh jauh lebih banyak dan beragam. Di Aceh mudah ditemukan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), pengajian, wirid Yasin di kampung-kampung, pesantren kilat bulan Ramadhan, dan sebagainya.
“Di Malaysia memang ada sekolah agama, tapi di Aceh aktifitas keagamaan jauh lebih banyak dan beragam.
Contohnya ada TPA, pengajian ibu-ibu wirid Yasin per dusun, program Ramadhan untuk anak-anak, salat qiyamullail Ramadhan di banyak Masjid, dan lain-lain,” jelas Maria.
Maria juga menjelaskan bahwa di Malaysia, Surau atau Masjid di dekat apartment tempatnya tinggal tidak ada kegiatan pengajian anak seperti TPA.
Hal ini baginya cukup menyulitkan. Untuk itu ia memilih anaknya yang hampir menamatkan sekolah menengah itu, untuk mengaji secara online dengan seorang ustadz di Banda Aceh.
Maria bercerita, sewaktu bekerja di Australia, anaknya belajar mengaji di kampus UNSW di Sydney yang kebetulan dekat dgn rumah. Waktu itu mahasiswa Indonesia yang mengajar mengaji. Baginya, pendidikan agama bagi anak merupakan suatu masalah tersendiri bagi warga Indonesia di luar negeri.
Maria menyampaikan, acara keagamaan misalnya Maulid Nabi, hanya dirayakan di sekolah-sekolah dan kantor pemerintahan saja. Aktifitas keagamaan di Malaysia paling ramai dilakukan saat bulan puasa. Hampir setiap hari ada buka bersama di Surau dan Masjid, setelah itu ada moreh (makan-makan setelah shalat isya dan tarawih).
Ia melihat, warga negara Malaysia lebih antusias menyambut Idul Fitri dibandingkan bulan Ramadhan. Persiapan utk Idul Fitri bisa heboh dan lebih meriah. Sementara di luar waktu itu, aktifitas keagamaan di ruang publik cenderung terbatas.
Maria mengakui bahwa ia merasa ada ruang kosong di tempatnya tinggal, di Johor Bahru, yang termasuk salah satu kota terbesar di Malaysia.

Membandingkan Pendidikan Antar Negara
Sebagai seorang ibu dari anak yang tengah tumbuh remaja, Maria mengakui bahwa salah satu isu yang dianggap penting baginya adalah perihal pendidikan anak.
Kualitas pendidikan Indonesia dan Malaysia kurang lebih sama, menurutnya. Yang membedakan adalah di Malaysia ada sistem sekolah vernakular, yaitu sekolah yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran.
Terdapat tiga sekolah vernakular di Malaysia, sekolah vernakular Melayu, sekolah vernakular Cina dan sekolah vernakular Tamil.
Selain itu beberapa sekolah kerajaan yg menggunakan sistem DLP (Dual Language Program), jadi ada beberapa pelajaran yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas dan juga waktu ujian tulis.
“Ujian Sijil Pelajaran Malaysia (SPM), kalau di Indonesia disebut UN, dilaksanakan pada tingkatan 5 sekolah menengah (kelas 2 SMA) kalau di Indonesia kelas 3 SMA. Di dalam SPM juga ada ujian lisan Bahasa Melayu dan Bahasa Inggris, jadi bukan hanya ujian tertulis,” ia menjelaskan.
Sementara biaya sekolah kerajaan (pemerintah: red) di Malaysia menurut Maria sangat terjangkau. Sebagai contoh, biaya sekolah menengah per tahun hanya 240 Ringgit (sekitar 950 Ribu Rupiah) per tahun. Selain itu ada sumbangan Persatuan Ibu Bapa dan Guru (PIBG) sebesar 282 ringgit (sekitar 1,1 Juta Rupiah) per tahun.
Menurut Maria, sekolah kerajaan termasuk bagus, keutamaannya biaya sekolah terjangkau dan ada beberapa sekolah berasrama yg kualitasnya di atas rata-rata, sama seperti SMA Modal Bangsa di Banda Aceh. Menurut Maria, lingkungan bagi pelajar di Malaysia juga hampir sama dengan di Indonesia.
Maria, diaspora Aceh yang sudah menetap delapan tahun di Malaysia, sebelumnya juga pernah tinggal di Australia dan Jerman. Sedikit banyak ia telah membandingkan pendidikan di tiga negara tersebut.
Ia berharap pengambil kebijakan di bidang pendidikan di Indonesia sudah saatnya mendidik anak-anak sesuai umur, dan tidak dibebankan beban pelajaran yang berat di usia dini. Khususnya beban berat dalam pelajaran membaca, menulis dan berhitung.
“Untuk hal ini bisa meniru pola didik di Jepang dan Cina. Anak-anak TK di sana diajarkan etika, tata krama, taat peraturan, mengantri, membersihkan kelas dan toilet, memasak, melatih kegiatan motorik, melibatkan peran orang tua, dan lainnya. Bukan dengan sibuk belajar calistung, dan menyerahkan semua proses belajar mengajar anak dengan guru,” menurutnya.
Proses belajar calistung, menurut Maria, bisa dimulai setelah umur tujuh tahun atau kelas 1 SD. Maria menekankan pentingnya keterlibatan orang tua sepanjang proses sekolah anak, mulai dari TK sampai kuliah.
Rindu Tanah Air
Maria, diaspora asal Aceh yang telah delapan tahun menetap di Malaysia ini mengaku rindu untuk pulang ke tanah air. Namun ia mengharapkan agar Indonesia dapat meningkatkan kebutuhan hidup dasar dahulu, agar warganya lebih merasa nyaman dan tak kalah dengan kehidupan di negara lain.
Meski Aceh dianggap tertinggal, namun Maria kerap merindukan suasana keagamaan yang ramai dan beragam di Aceh. Ia rindu untuk pulang. Apalagi jika fasilitas dasar seperti sarana kesehatan sudah jauh lebih baik.
“Sudah pasti sangat rindu. Saya ada rencana pulang ke Indonesia kalau kualitas hidup mendasar seperti air bersih, listrik, dan sarana kesehatan di Indonesia sudah meningkat jauh lebih baik,” pungkasnya.[]
Discussion about this post