Upah yang stagnan, meningkatnya pengangguran, dan terbatasnya mobilitas ke atas menunjukkan pasar tenaga kerja dan lapangan kerja lebih ditentukan oleh kuantitas daripada kualitas.
Indonesia telah menciptakan lapangan kerja dengan laju yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada tahun 2024 saja, Indonesia menambah 4,8 juta lapangan kerja baru, menurunkan tingkat pengangguran di bawah lima persen, seiring dengan pertumbuhan produk domestik bruto yang kembali ke lima persen.
Meski hal ini tampak inovatif di atas kertas, sentimen dan statistik nasional menceritakan kenyataan yang berbeda.
Para pekerja cemas, rumah tangga terasa terhambat, dan para lulusan muda berebut pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Meskipun pertumbuhan lapangan kerja konsisten, mobilitas sosial tetap sulit, dengan jumlah penduduk Indonesia di kelas menengah menurun sejak 2018.
Masalah utamanya bukanlah ketenagakerjaan itu sendiri, melainkan kurangnya lapangan kerja berkualitas. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKNAS), Indonesia menciptakan sekitar 18 juta lapangan kerja antara tahun 2018 dan 2024.
Namun, lebih dari 80 persen pekerjaan berada di perusahaan rumah tangga, sementara hanya 2,6 juta pekerjaan berasal dari perusahaan dan pabrik besar, dengan kurang dari satu juta pekerjaan tercipta dalam peran terkait pemerintahan.
Usaha rumah tangga seperti pedagang kaki lima, pekerja rumahan, dan toko keluarga mungkin menawarkan fleksibilitas, tetapi mereka sangat informal dan upahnya rendah. Pada tahun 2023, hampir 59 persen pekerja Indonesia bekerja secara informal tanpa asuransi dan berpenghasilan di bawah upah minimum.
Dalam kebanyakan kasus, karyawan di perusahaan rumah tangga menghadapi penalti upah yang terus-menerus. Pada tahun pertama, mereka mendapatkan gaji rata-rata 9,6 persen lebih rendah daripada pegawai pemerintah dan 57,6 persen lebih rendah daripada pegawai perusahaan. Dengan gaji awal rata-rata hanya 1,6 juta rupiah (US$96,50) per bulan, pekerjaan-pekerjaan ini tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke dalam kelas menengah.
Mayoritas Pekerja adalah Pekerja Paruh Waktu
Kesenjangan ini terlihat jelas di berbagai sektor. Sektor-sektor dengan upah dan kualitas pekerjaan terendah, seperti pertanian dan jasa makanan, memimpin penciptaan lapangan kerja, dengan sektor pertanian saja menambah lebih dari 4,2 juta lapangan kerja. Namun, sektor-sektor yang menawarkan pekerjaan stabil dan bergaji lebih baik, seperti keuangan, kesehatan, dan administrasi publik, justru menyediakan lebih sedikit lapangan kerja.
Sebagian besar pekerjaan manufaktur baru ditemukan dalam operasi berskala mikro dan berteknologi rendah, dengan kompleksitas produk yang rendah seperti pengolahan makanan dan minuman.
Data upah riil juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan – setelah disesuaikan dengan inflasi, upah riil belum tumbuh sejak 2018. Di saat yang sama, antara tahun 2018 dan 2024, rata-rata jumlah jam kerja menurun di hampir setiap sektor, mulai dari pertanian hingga keuangan.
Peningkatan jam kerja yang rendah telah mendorong lonjakan pengangguran – sekitar 30 persen angkatan kerja Indonesia bekerja di bawah 35 jam per minggu, atau tergolong pekerja paruh waktu.
Meskipun jutaan orang Indonesia secara teknis bekerja, mereka seringkali terjebak dalam pekerjaan tanpa jam kerja atau penghasilan yang cukup untuk menopang kehidupan yang baik.
Epidemi kurangnya pemanfaatan tenaga kerja yang terselubung ini mengikis produktivitas dan membebani anggaran rumah tangga, mendorong banyak pekerja ke dalam lingkaran pekerjaan paruh waktu dan ketidakamanan penuh waktu.
Krisis pengangguran di Indonesia bahkan lebih memprihatinkan jika mempertimbangkan aspirasi pekerja. Pada tahun 2024, hampir 16 juta pekerja Indonesia melaporkan keinginan untuk bekerja lebih lama, meningkat hampir 80 persen dari tahun 2018. Lebih dari 83 persen pekerja setengah menganggur ini terkonsentrasi di perusahaan rumah tangga.
Lembaga-lembaga yang paling mampu menyediakan pekerjaan penuh waktu yang stabil semakin menyusut, sementara sektor informal membengkak dengan minat pekerja yang tinggi, tetapi tidak dapat menemukan jam kerja yang cukup.
Menghadirkan Pekerjaan Berkualitas
Indonesia harus mengubah orientasi kebijakannya menuju ketenagakerjaan berkualitas, termasuk dengan memberikan insentif kepada perusahaan untuk merekrut secara formal dan membayar secara adil.
Indonesia dapat belajar dari Subsidio al Empleo Joven (Subsidi Ketenagakerjaan Pemuda) di Chili, yang menawarkan subsidi upah kepada perusahaan yang mempekerjakan pekerja muda rentan, sekaligus menghubungkan tunjangan jaminan sosial dan akses kredit dengan status ketenagakerjaan formal.
Evaluasi OECD menunjukkan bahwa program ini telah meningkatkan kemungkinan pekerjaan formal sebesar tig persen dan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi bagi penerima manfaat. Penerapan insentif serupa yang ditargetkan dapat mendorong lebih banyak bisnis untuk menyediakan pekerjaan yang layak dan aman.
Peningkatan kualitas pekerjaan bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Bank Sentral juga berperan dengan memperhatikan kelesuan ekonomi yang diakibatkan oleh pengangguran. Indonesia sebaiknya mengandalkan indikator pasar tenaga kerja yang komprehensif untuk menetapkan kebijakan moneter, alih-alih hanya mengandalkan angka pengangguran umum.
Perekonomian kita mungkin membanggakan data statistik mengenai tingkat pengangguran yang sangat rendah dan penciptaan lapangan kerja yang kuat, namun pengangguran yang terus-menerus atau partisipasi angkatan kerja yang lemah menandakan bahwa masih ada kelesuan yang substansial di balik permukaan.
Dalam kasus-kasus ini, bank sentral mungkin perlu untuk menahan diri dari pengetatan yang agresif agar tidak menghambat pemulihan ekonomi yang masih rapuh.
Dengan mengambil langkah-langkah ketenagakerjaan yang lebih luas, kebijakan moneter dan fiskal dapat dikalibrasi secara lebih tepat, mengungkap fakta yang tidak dapat diungkapkan oleh tingkat pertumbuhan lapangan kerja resmi saja.
Indonesia juga perlu memulai diskusi nasional yang berani tentang standar kualitas pekerjaan, sementara pemberi kerja harus menyediakan upah minimum yang layak, jaminan kerja yang lebih kuat, perlindungan sosial yang lebih baik, dan kesempatan pengembangan diri. Pekerjaan yang baik bukanlah kemewahan, melainkan prasyarat bagi ekonomi yang sehat dan inklusif.
Mesin ekonomi Indonesia terus bertumbuh. Namun, jika lapangan kerja yang dihasilkannya merupakan sektor kerja dengan upah rendah dan kerja informal, Indonesia berisiko membangun masa depan di mana pekerjaan tidak lagi bermartabat.
Perekonomian Indonesia tidak akan diukur dari seberapa cepat pertumbuhannya, melainkan dari seberapa banyak orang yang ikut bangkit dan berdaya.
Penulis: Kelvin Ramadhan adalah Peneliti di EQUITAS, dan Wisnu Setiadi Nugroho adalah Asisten Profesor di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Tulisan ini pertama kali terbit di East Asia Forum.
Discussion about this post