Banda Aceh – Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (USK) mengeluh. Setelah Uang Kuliah Tunggal (UKT) naik tanpa kompromi, kini mereka dipaksa membeli sendiri jaket almamater—simbol identitas kampus yang mestinya menjadi tanggung jawab universitas.
Kekecewaan memuncak, bukan hanya pada kebijakan kampus yang kian komersil, tapi juga pada sikap Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) USK yang dianggap jinak dan berpihak pada birokrasi.
Alih-alih menjadi corong aspirasi, BEM dituding berubah rupa menjadi “panitia tender” almamater.
Isu tak sedap merebak: ada dugaan keterlibatan pengurus dalam distribusi, bahkan permainan dalam proses pengadaan.
“BEM itu seharusnya pembela mahasiswa, bukan pengecer almamater,” ujar Suci, kepala departemen kastradasi BEM FP USK. “Kami kecewa. Mereka sibuk urus jaket, bukan advokasi.”
Menurut Suci, keputusan membebankan biaya almamater kepada mahasiswa adalah bentuk pengalihan tanggung jawab yang mencederai keadilan.
Ia menyayangkan bagaimana suara mahasiswa tidak pernah benar-benar didengar, bahkan oleh BEM yang seharusnya menjadi garda terdepan.
“Kami ini sudah dibebani UKT yang terus naik, tapi jaket almamater saja harus dibeli sendiri. Di mana letak keberpihakan kampus kepada mahasiswanya? Dan kenapa BEM diam saja?” ungkapnya geram.
Ia juga menyoroti minimnya transparansi dalam proses pengadaan almamater dan mencurigai adanya unsur bisnis yang dimainkan. “Kalau memang BEM terlibat, maka ini bukan sekadar kelalaian, tapi pengkhianatan terhadap amanah mahasiswa,” tegasnya.
Saat kampanye, BEM mengumbar narasi soal kesejahteraan, transparansi, dan keberpihakan. Nyatanya, yang muncul justru sebaliknya.
Pertanyaan menggelitik pun mencuat: untuk apa uang kuliah jika fasilitas dasar mahasiswa justru dijadikan ladang bisnis?
“Ini bukan sekadar soal jaket. Ini soal arah kebijakan kampus yang makin kapitalis,” ujar suci
Krisis kepercayaan makin diperparah oleh konflik internal BEM. Sejumlah kegiatan besar terbengkalai, bahkan disebut-sebut “membusuk seperti bangkai.”
Aroma ketidakharmonisan itu menyembul ke publik, memperkuat citra bahwa organisasi mahasiswa tertinggi di USK tak lagi solid.
Media sosial penuh dengan kritik pedas. Tagar bernada sindiran terhadap BEM bermunculan, menyeret nama organisasi itu dalam pusaran perdebatan publik.
“Kampus makin komersil, dan BEM kian melenceng dari khitah advokasinya. Mahasiswa bukan objek JUAL BELI!” tulis seorang mahasiswa dalam unggahan yang viral.
Kasus almamater hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya, ada persoalan laten: minimnya transparansi, lemahnya advokasi, dan hilangnya roh perjuangan mahasiswa.
Kini, BEM USK berdiri di persimpangan: kembali tegak membela mahasiswa, atau selamanya dicatat sebagai organisasi jinak yang tergiring oleh kepentingan kampus.
Discussion about this post