Raksasa keuangan digital tidak memiliki kantor tetap, sebagian besar pendapatan mereka tidak tercatat sebagai objek pajak. Akibatnya, Indonesia kehilangan potensi pendapatan, sementara tanggung jawab pengembangan terus dibebankan kepada bisnis lokal dan para pekerja formal, yang pajaknya dipotong secara otomatis
Membayangkan sebuah warung kopi kecil di Aceh. Setiap bulan, pemiliknya secara konsisten membayar pajak usaha. Di saat yang sama, TikTok menayangkan iklan ke jutaan pengguna Indonesia setiap hari, meraup keuntungan miliaran rupiah, namun tidak membayar pajak secara sepadan, karena dianggap tidak memiliki kantor tetap di Indonesia. Inilah gambaran era digital, dimana investasi dapat menembus batas negara, sedangkan regulasi negara sering tertinggal, disebabkan hukum fiskal belum sepenuhnya beradaptasi dengan lompatan teknologi.
Dalam sistem perpajakan tradisional, suatu negara berwenang memungut pajak ketika perusahaan memiliki “tempat usaha tetap” (BUT) atau kehadiran tetap di yurisdiksinya. Akan tetapi, tantangan akhir-akhir ini adalah banyak platform global, seperti Facebook, TikTok, Spotify, dan X (Twitter), beroperasi tanpa badan hukum lokal. Platform-platform ini biasanya menghasilkan pendapatan melalui iklan, layanan premium, serta aktivitas e-commerce.
Pada tahun 2023, TikTok muncul sebagai platform digital terkemuka di Indonesia, menghasilkan sekitar US$34 juta dari belanja konsumen. Sementara itu, Meta (Facebook dan Instagram), meskipun tidak secara eksplisit melaporkan pendapatan dari Indonesia, dari referensi beberapa media, terdapat sekitar 6% dari total pengguna Facebook global berasal dari Indonesia, sedangkan 122,5 juta pengguna aktif Instagram merupakan pengguna dari Indonesia. Penelitian lebih lanjut menjelaskan bahwa total belanja iklan digital di Indonesia pada tahun 2024 mencapai Rp30 triliun, sebagian besarnya mengalir deras ke platform global.
Masalah kemudian muncul, karena raksasa digital tersebut tidak memiliki kantor tetap, sebagian besar pendapatan mereka tidak tercatat sebagai objek pajak. Akibatnya, Indonesia kehilangan potensi pendapatan, sementara tanggung jawab pengembangan terus dibebankan kepada bisnis lokal dan para pekerja formal, yang pajaknya dipotong secara otomatis. Situasi ini menguji keadilan fiskal dan memunculkan pertanyaan baru yang penting: Bagaimana mungkin UMKM di pasar tradisional diwajibkan membayar pajak, sementara raksasa digital global dapat menghindarinya karena tidak memiliki alamat fisik?
Dinamika Regulasi
Beberapa negara mengambil langkah cepat, misalnya Turki, Prancis, dan India. Beberapa negara ini mengadopsi pendekatan yang lebih tegas untuk menantang dominasi perusahaan digital asing. Turki mewajibkan platform digital besar untuk mendirikan kantor perwakilan atau berisiko layanannya diblokir, yang mendorong kepatuhan dan memastikan perpajakan yang lebih adil. Prancis telah memberlakukan pajak layanan digital unilateral sebesar 3% atas pendapatan digital yang dihasilkan oleh perusahaan global yang memanfaatkan pasar Prancis. Sementara India, telah menerapkan pungutan pemerataan yang menargetkan perusahaan digital asing.
Indonesia memulai dengan aturan PMK 69/PMK.03/2022 tentang pemungutan PPN dari perusahaan digital luar negeri. Termasuk menyesuaikan dengan UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang mengubah tarif PPN menjadi 11% (per 1 April 2022), yang output nya memperluas serta menegaskan kewajiban platform digital asing untuk memungut, menyetor, serta melaporkan PPN dari konsumen Indonesia.
Objek pokok pajak yang diatur dalam penjelasan diatas dibagi dalam dua pokok. Pertama, Barang Kena Pajak (BKP) yang didefinsikan sebagai barang tidak berwujud seperti: software, aplikasi, game, e-book, musik, dan film digital. Kedua, Jasa Kena Pajak (JKP), ini meliputi iklan digital (Google Ads, Facebook Ads), cloud computing, serta jasa langganan streaming. Syaratnya dijelaskan lagi, bahwa pokok pajak ini hanya berlaku untuk perusahaan digital asing yang memenuhi kriteria omzet dan transaksi tertentu (omzet global di atas Rp 600 juta setahun dari Indonesia, atau jumlah traffic signifikan).
Indonesia memiliki Pajak Transaksi Elektronik (PTE), yang dirancang untuk menargetkan perusahaan digital asing yang tidak memiliki kantor tetap atau aktif secara signifikan di Indonesia. Namun, Indonesia masih menunggu kesepakatan global di tingkat OECD/G20, yang diperkirakan akan rampung pada tahun 2025 setelah beberapa kali tertunda dari target awal tahun 2023. Dalam pandangan lain, Indonesia juga mencoba komitmen untuk menghindari pajak berganda sembari menunggu penetapan tarif pajak minimum global sebesar 15%.
Solusi dan kesadaran
Untuk mengamankan pendapatan di masa mendatang, terutama dari sektor digital yang sedang berkembang, beberapa langkah strategis dapat diambil: pertama, pemerintah dapat mewajibkan platform yang menghasilkan pendapatan substansial untuk mendirikan kantor cabang serta mematuhi standar hukum nasional. Pendekatan ini akan memfasilitasi pemungutan pajak penghasilan selain PPN.
Kedua, tingkatkan perpajakan berbasis transaksi digital. Jika persyaratan kehadiran fisik tidak memungkinkan, sistem perpajakan dapat berfokus pada volume transaksi atau aktivitas digital yang dapat diverifikasi melalui algoritma. Ketiga, Indonesia tidak dapat bertindak sendiri; Indonesia harus mendorong kerja sama regional atau berpartisipasi dalam inisiatif OECD untuk membangun pengaturan perpajakan global yang lebih adil, terutama bagi perusahaan digital lintas batas. Pemerintah juga perlu mempublikasikan data mengenai potensi kerugian dan keuntungan serta mengambil langkah aktif untuk mengedukasi publik. Langkah-langkah ini penting untuk menggalang dukungan publik bagi kebijakan fiskal yang progresif dan tegas.
Di sisi lain, dibalik solusi yang tertulis di atas. Apresiasi juga diberikan kepada pemerintah, terutama kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sejak pertengahan 2025, tercatat lebih dari 211 perusahaan digital asing telah ditetapkan sebagai pemungut PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik). Dari jumlah tersebut, 190 perusahaan telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE. Hasilnya, total penerimaan PPN PMSE yang terkumpul hingga akhir Maret 2025 mencapai Rp 27,48 triliun. Secara statistik, penerimaan pajak dari perusahaan digital asing tumbuh sekitar 24,9% pada tahun 2024, atau tumbuh sekitar 2,2% dibandingkan tahun 2023.
Pemerintah sebagai elemen utama, tentunya harus menyadari bahwa, seperti yang dikutip oleh Simplicius dari perkataan Heraclitus (filsuf Yunani Kuno), Panta rhei kai ouden menei (segala sesuatu mengalir dan tidak tetap). Saat ini, setiap orang membawa ponsel pintar dan berinteraksi dengan berbagai jenis platform digital. Zaman telah berevolusi, sistem telah bertransformasi, dan sistem perpajakan pun harus beradaptasi. Pemerintah harus lebih cerdas, lebih adil, serta lebih inovatif. Sementara masyarakat, tentunya juga harus aktif bersuara, agar harmonisasi terbentuk. Terutama supaya terdorongnya kedaulatan ekonomi, keadilan fiskal, serta masa depan penerimaan negara yang lebih baik (berkelanjutan).
*Rizqan Kamil adalah peneliti di International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS)
Discussion about this post