Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
No Result
View All Result
Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
Home Daerah

Peringatan 20 Tahun Perdamaian Aceh, Mawardi Ismail Tekankan Rawat Perdamaian dari Aspek Hukum

TINJAUAN ID by TINJAUAN ID
August 13, 2025
Reading Time: 2 mins read
0
Peringatan 20 Tahun Perdamaian Aceh, Mawardi Ismail Tekankan Rawat Perdamaian dari Aspek Hukum

Bagi Prof. Mawardi Ismail, perdamaian bukan hanya soal menghentikan senjata, tapi memastikan pondasi perdamaian terikat kuat dalam hukum.

Banda Aceh – Dua dekade setelah penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh berdiri sebagai salah satu daerah yang berhasil keluar dari konflik bersenjata panjang melalui jalur perundingan.

Bagi Mawardi Ismail, akademisi hukum dan salah satu tim ahli penyusun draf Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) 2006, perjalanan menuju perdamaian Aceh bukan hanya soal menghentikan senjata, tapi memastikan pondasi perdamaian terikat kuat dalam hukum.

“Kalau kita lihat sejarah, Aceh pernah dua kali mengalami pemberontakan besar,” ujar Mawardi, memulai kisahnya. “Pertama, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Awalnya diselesaikan dengan kekerasan, gagal, lalu akhirnya damai lewat Ikrar Lamteh. Tapi Ikrar Lamteh punya kelemahan: ia hanya dikuatkan keputusan Perdana Menteri, yang tidak mengikat negara.”

Bagi Mawardi, sejarah itu menjadi cermin. Ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) muncul, pemerintah kembali mencoba hard power yaitu operasi militer. Hasilnya sama, jalan buntu.

Lalu ditempuhlah soft power melalui negosiasi. MoU Helsinki menjadi pintu masuk, namun bagi Mawardi, kekuatan sesungguhnya lahir ketika MoU itu diubah menjadi instrumen yuridis, yakni UUPA 2006.

“MoU itu instrumen politis, tidak punya kekuatan memaksa. Tapi UUPA, walau dengan segala kelemahannya, punya daya paksa. Itu kelebihannya dibanding Ikrar Lamteh,” ungkapnya.

20 Tahun: Antara yang Terealisasi, Tertunda, dan Terabaikan

Namun waktu menguji segalanya. Setelah 20 tahun, Mawardi menilai perlu kajian ulang. Ada pasal-pasal yang sudah terlaksana baik, ada yang berjalan tapi penuh tantangan, dan ada pula yang tidak berjalan sama sekali.

“Ada yang tidak bisa terlaksana karena kondisi tidak memungkinkan. Misalnya, pengelolaan bandara, itu butuh dana besar. Tapi ada juga yang tidak mau dilaksanakan. Contohnya, zakat sebagai faktor pengurang pajak penghasilan. Padahal itu wajib, tapi tidak diimplementasikan,” tegasnya.

Ia menyebut baru belakangan muncul gerakan untuk merealisasikan kebijakan zakat tersebut. Bagi Mawardi, ini seharusnya menjadi prioritas dalam pembahasan revisi UUPA, bersama poin-poin lain yang bersifat wajib.

Poin-Poin Wajib yang Terlupakan

Sebagai salah satu perancang awal, Mawardi mengingatkan bahwa Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mewajibkan harmonisasi beberapa aspek yang kini justru diabaikan.

“Misalnya, persyaratan calon gubernur, kewenangan Mahkamah Agung untuk sengketa hasil pilkada yang sebenarnya sudah beralih ke Mahkamah Konstitusi, tapi di UUPA masih menyebut MA. Itu wajib diubah,” katanya.

Hal lain adalah penetapan nama Aceh. “Undang-undang PA mengatur itu dengan Peraturan Pemerintah, tapi kita tetapkan lewat Pergub. Itu keliru. Harus dilegalkan supaya kuat,” jelasnya.

Selain itu, Mawardi menyoroti urgensi memperpanjang dana otonomi khusus, mengatur bagi hasil migas lepas pantai, dan memperjelas kewenangan pengelolaan sumber daya alam non-migas yang kini abu-abu antara pemerintah pusat dan Aceh.

Partisipasi dan Transparansi, Dua Kunci yang Hilang

Bagi Mawardi, revisi UUPA bukan sekadar teknis hukum, tapi juga soal proses. Ia menyesalkan minimnya partisipasi publik dalam pembahasan.

“Harusnya dibahas terbuka dan partisipatif. Kita minta draf dulu, baru pembahasan. Ini kan tidak. Tiba-tiba sudah ada hasil, kita tidak tahu prosesnya,” ungkapnya.

Bagi pria yang menyebut dirinya “sudah tua” ini, keterlibatan masyarakat dan ahli sangat penting agar revisi UUPA benar-benar menjawab kebutuhan Aceh, bukan sekadar formalitas politik.

Masa Depan Perdamaian Aceh dan UUPA

Dari pengalamannya, Mawardi memahami bahwa perdamaian adalah proses panjang yang tidak berhenti di meja perundingan. MoU Helsinki memberi dasar, UUPA memberi kekuatan hukum, tetapi implementasi memerlukan komitmen politik, konsistensi kebijakan, dan partisipasi publik.

“Hal-hal yang wajib itu harus dimuat. Jangan sampai kita mengulang kesalahan masa lalu,” pungkasnya.

Tags: 20 tahun perdamaianAcehDamai AcehEKonomikonflikProf. Mawardi Ismail
ShareTweetSendShare

Related Posts

Pemko Banda Aceh Bantah Anggaran Medsos untuk Buzzer
Daerah

Pemko Banda Aceh Bantah Anggaran Medsos untuk Buzzer

September 10, 2025
Dirut BPRS Mustaqim Kunjungi Dirut Bank Aceh, Komit Perkuat Layanan Perbankan bagi Masyarakat Aceh
Daerah

Dirut BPRS Mustaqim Kunjungi Dirut Bank Aceh, Komit Perkuat Layanan Perbankan bagi Masyarakat Aceh

September 10, 2025
Pemko Banda Aceh Anggarkan Rp679 Juta untuk Konten Instagram-TikTok
Daerah

Pemko Banda Aceh Anggarkan Rp679 Juta untuk Konten Instagram-TikTok

September 10, 2025
MaTA : Pengelolaan Anggaran Pemko Banda Aceh Boros
Daerah

MaTA : Pengelolaan Anggaran Pemko Banda Aceh Boros

September 10, 2025
Siswa SMP Sukma Bangsa Ikuti Kegiatan Meuseubeut Bersama Komunitas Beulangong Tanoh
Daerah

Siswa SMP Sukma Bangsa Ikuti Kegiatan Meuseubeut Bersama Komunitas Beulangong Tanoh

September 9, 2025
GenPos Gelar FGD Pasca 20 Tahun Perdamaian Aceh: “Antara Janji, Fakta, dan Masa Depan Ekonomi Aceh”
Daerah

GenPos Gelar FGD Pasca 20 Tahun Perdamaian Aceh: “Antara Janji, Fakta, dan Masa Depan Ekonomi Aceh”

September 9, 2025
Next Post
Kejati Aceh Amankan 17 Miliar dari Kasus Korupsi Program Sawit di Aceh Jaya

Kejati Aceh Amankan 17 Miliar dari Kasus Korupsi Program Sawit di Aceh Jaya

Wali Nanggroe Aceh temui SBY, bahas Otsus dan solusi penguatan UUPA

Wali Nanggroe Aceh temui SBY, bahas Otsus dan solusi penguatan UUPA

Discussion about this post

Recommended Stories

Prabowo Perkuat Hubungan Diplomatik Dalam Kunjungan ke China

Presiden Prabowo Perkuat Hubungan Diplomatik Lewat Kunjungan ke China, Pasca Aksi Massa di Indonesia

September 4, 2025
Aceh Targetkan Tuan Rumah MTQ Nasional 2028, Sukses PON Jadi Modal

Aceh Targetkan Tuan Rumah MTQ Nasional 2028, Sukses PON Jadi Modal

August 7, 2025
Ketika IAIN Beralih Kiblat

Ketika IAIN Beralih Kiblat

August 2, 2025

Popular Stories

  • Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tak Kunjung Dapat Kerja di Aceh, Hendra Nekat Merantau ke Australia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Review Laporan Keuangan Bank Aceh Syariah (I) ; Triliunan Dana Diinvestasikan ke Luar Aceh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari ini Presiden Prabowo akan Reshuffle Kabinet, Beredar Sejumlah Nama Menteri Baru

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara (Suara dari Blang Padang untuk Keadilan Syariat)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • TINJAUAN.ID
  • Pedoman Media Siber
Email: redaksi.tinjauan@gmail.com

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Daerah
  • Nasional
  • Dunia
  • Ekonomi
  • Politik
  • Opini
  • Oase
  • Sejarah
  • Contact Us

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?