Salah satu potret pilu itu tampak dari kondisi Muhammad Syukur, korban Tragedi Simpang KKA yang hingga kini mengalami gangguan kejiwaan.
ACEH UTARA – Dua puluh tahun setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, luka lama para korban konflik di Aceh masih terbuka. Pemulihan trauma dan pemberdayaan ekonomi yang dijanjikan negara masih terasa jauh dari jangkauan.
Salah satu potret pilu itu tampak dari kondisi Muhammad Syukur, korban Tragedi Simpang KKA yang hingga kini mengalami gangguan kejiwaan.
Pihak keluarga, Kamaliah Amin (73), ibu Syukur, dan Sri Wahyuni, kakaknya menyampaikan harapan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk memberikan perhatian dan keadilan bagi kondisi Syukur yang kian memburuk.
“Kami tidak tahu siapa yang menembaknya, tapi sejak saat itu hidup kami berubah. Syukur tak bisa lagi melanjutkan sekolah, bahkan untuk menjalani hidup normal pun sulit. Kami hidup dalam ekonomi sulit dan tanpa perhatian dari negara,” kata Sri Wahyuni, Kamis (7/8/2025).
Tragedi Simpang KKA yang terjadi pada 3 Mei 1999 menewaskan 21 warga sipil dan melukai 146 orang lainnya. Muhammad Syukur, yang saat itu berusia 14 tahun dan sedang menimba ilmu di sebuah dayah di Kecamatan Sawang, Aceh Utara, menjadi salah satu korban tembakan yang mengenai perutnya. Setelah sempat dirawat intensif di RS Zainal Abidin Banda Aceh, kondisinya secara mental tidak pernah pulih kembali.
“Sampai sekarang saya belum bisa melupakan peristiwa itu. Saya masih trauma,” ujar Kamaliah dengan mata berkaca-kaca.
Ironisnya, meski negara pada Januari 2023 mengakui Tragedi Simpang KKA sebagai pelanggaran HAM berat bersama beberapa peristiwa lainnya seperti Rumoh Geudong (Pidie), Jambo Keupok (Aceh Selatan), dan Pos Sattis Pidie, namun langkah konkret pemulihan masih minim.
“Kami menunggu keadilan bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal peradilan. Negara belum benar-benar hadir,” tegas Murtala (54), Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA).
Murtala menambahkan bahwa hingga hari ini belum ada master plan khusus dari Pemerintah Aceh untuk pemulihan korban konflik. Bahkan, peringatan peristiwa besar semacam Simpang KKA tidak disertai alokasi anggaran khusus.
“Sudah 26 tahun kami bersuara, tapi suara kami nyaris tak terdengar. Seharusnya negara bukan hanya mengakui tragedi ini, tetapi juga menghadirkan keadilan yang nyata. Pemulihan bukan hanya fisik dan ekonomi, tapi juga psikologis dan sejarah,” lanjutnya.
Hal senada disampaikan oleh Yusrizal (44), sekretaris forum sekaligus penyintas konflik. Menurutnya, korban konflik Aceh telah dipaksa berdamai dengan masa lalu tanpa dukungan pemulihan yang memadai. Bahkan, ia menyoroti ketimpangan distribusi bantuan yang kerap tidak tepat sasaran akibat data korban yang tidak akurat.
“Tidak ada program pemulihan trauma yang khusus. Banyak korban yang mengalami gangguan mental. Dana otonomi khusus Aceh sangat besar, tapi adakah yang benar-benar dialokasikan untuk korban konflik?” tanya Yusrizal.
Ia juga menyebut diskriminasi bantuan antara laki-laki dan perempuan korban konflik yang menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi di kalangan penyintas.
Di tengah keterbatasan itu, FK3T-SP.KKA bersama beberapa lembaga lokal dan nasional tetap berusaha mendorong pemberdayaan korban. Beberapa korban telah menjadi kader kesehatan atau pendamping komunitas, meski belum cukup mengatasi trauma mendalam yang mereka alami.
Dalam momentum 20 tahun perdamaian Aceh yang akan diperingati pada 15 Agustus mendatang, FK3T-SP.KKA mendesak pemerintah agar menjadikan pemulihan korban sebagai prioritas. Selain penyediaan lahan untuk pembangunan museum memorial tragedi HAM, mereka juga meminta agar sejarah konflik Aceh masuk dalam kurikulum pendidikan.
“Kami ingin dokumen dan ingatan tentang konflik ini dirawat sebagai pengetahuan generasi mendatang. Perdamaian tak akan utuh tanpa keadilan,” tegas Murtala.
“Kebutuhan korban bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keadilan dan pemulihan. Tanpa itu, korban akan terus merasa diabaikan dan negara dianggap membiarkan impunitas,” tutupnya.
Discussion about this post