Ketersediaan lapangan kerja di Kota Banda Aceh masih menjadi persoalan serius, terutama di kalangan lulusan perguruan tinggi. Meskipun lowongan kerja tersedia, namun tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja.
BANDA ACEH – Tingkat ketersediaan lapangan kerja di Kota Banda Aceh masih menjadi persoalan serius, terutama di kalangan lulusan perguruan tinggi. Meskipun lowongan kerja tersedia, namun tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja, serta tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan ekspektasi sosial yang melekat.
Aisya (25), warga Emperom, Banda Aceh, adalah satu dari sekian banyak sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan. Ia mengaku telah mencoba mencari kerja sejak lulus dari jurusan Manajemen beberapa tahun lalu. Namun, menurutnya, sebagian besar lowongan kerja yang tersedia tidak sesuai dengan kompetensi dan harapan keluarganya.
“Lowongan memang ada, tapi kebanyakan di kafe atau kerja kasar. Sementara saya lulusan S1 Manajemen. Orang tua saya berharap saya punya pekerjaan yang layak karena sudah menyekolahkan sampai kuliah,” ujar Aisya, Selasa (29/7/2025).
Aisya menilai, ekspektasi orang tua terhadap pekerjaan anak juga menjadi faktor yang membuat banyak lulusan muda di Banda Aceh memilih untuk menunggu pekerjaan “ideal”, ketimbang mengambil pekerjaan di luar bidang mereka.
Sementara itu, Fika (23), lulusan Ilmu Pemerintahan Universitas Syiah Kuala asal Aceh Selatan, sempat mencoba peruntungan dengan berjualan jilbab secara daring selama kuliah. Namun setelah wisuda, ia memutuskan kembali ke kampung halaman akibat turunnya penjualan dan ketatnya persaingan.
“Banyak yang jual produk serupa, dengan harga lebih murah dan kualitas yang sama. Saya juga sudah cari kerja di Banda Aceh, tapi lowongan sangat sedikit. Akhirnya saya putuskan pulang kampung bantu keluarga,” tutur Fika.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran ini turut menjadi perhatian akademisi. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Hafas Furqani menilai, ketimpangan antara jumlah lulusan dan ketersediaan lapangan kerja menjadi penyebab utama tingginya angka pengangguran di Banda Aceh.
“Lowongan kerja masih sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah pencari kerja yang setiap tahun terus bertambah. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi Pemerintah Kota Banda Aceh,” jelas Hafas.

Pengembangan Ekonomi Urban Berbasis Industri Kreatif
Menurut Hafas, Banda Aceh sebagai kota berbasis ekonomi urban, seharusnya mengembangkan sektor jasa dan industri kreatif, seperti perhotelan, transportasi, IT, perdagangan, dan digital marketing. Namun sejauh ini, belum ada terobosan signifikan untuk mendorong pertumbuhan sektor tersebut.
“Pemerintah kota harus aktif menggandeng mitra dan investor agar tertarik menanamkan modalnya di Banda Aceh. Tanpa investasi, lapangan kerja baru tidak akan tercipta,” tegasnya.
Ia juga menyoroti ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan tinggi dan kebutuhan industri sebagai penyebab banyaknya lulusan yang tidak terserap pasar kerja.
“Kalau masih pakai pendekatan pendidikan lama, ya lulusan kita akan sulit bersaing. Kurikulum, metode pengajaran, dan teknologi pembelajaran harus segera disesuaikan dengan kebutuhan zaman,” kata Hafas.
Terkait program Banda Aceh Akademi yang diluncurkan pemerintah kota baru-baru ini, Hafas menilai inisiatif tersebut sudah berada di jalur yang tepat. Menurutnya, program itu dapat menjadi pintu masuk pengembangan ekonomi kreatif dan pelatihan keterampilan berbasis kebutuhan industri.
“Generasi muda saat ini harus dibekali skill tambahan. Akademi ini bisa menciptakan talenta baru yang siap kerja, terutama jika ada dukungan nyata dari sektor swasta,” jelasnya.
Ia menyebut sektor ekonomi kreatif dan UMKM sebagai sektor paling potensial menyerap tenaga kerja dalam lima tahun ke depan. Namun, menurutnya, UMKM masih terbatas pada permodalan dan keterampilan usaha, sehingga perlu ada dukungan lintas sektor, termasuk dari kampus dan dunia industri.
Lebih lanjut, Hafas mengingatkan pentingnya perubahan pola pikir dari pencari kerja ke pencipta kerja. Menurutnya, pemerintah harus mendorong lahirnya startup dan menyediakan fasilitas seperti co-working space, pelatihan, hingga akses permodalan untuk anak muda yang ingin berwirausaha.
“Anak muda Aceh tidak boleh hanya menunggu pekerjaan datang. Harus berani ambil langkah kreatif dan menciptakan pekerjaan sendiri. Pemerintah perlu menyambut ide-ide itu dengan memberikan ruang dan dukungan nyata,” pungkas Hafas.
Discussion about this post