Memperingati hari kelahiran beliau yang dikenal dengan maulid (maulud/molod) adalah sebuah keniscayaan bagi kaum Muslimin. Merayakannya adalah ekspresi cinta yang seharusnya dimaknai dan dijaga.
Oleh: Ustadz Khalid Muddatstsir*
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad bin Abdullah Saw, Bangsa Arab mengalami periode disintegrasi sosial, tribalisme akut, dan diskriminasi kelas yang sangat dominan. Manusia kala itu terombang -ambing dalam kegelapan politeisme dan nilai moral yang pudar.
Di tengah kegelapan ini, pancaran fajar kelahiran Muhammad, Sang Nabi, menyiratkan pesan tauhid dan kemanusiaan. Kelahiran makhluk terbaik (Sayyidul Kaunain was Tsaqalain) tidak hanya sebuah peristiwa sejarah biasa. Ia adalah titik balik fundamental yang merekonstruksi peradaban masyarakat Arab dan meletakkan fondasi yang lebih manusiawi yang kita nikmati hingga sekarang. Beliau diutus oleh Allah untuk membawa risalah damai bagi semesta, rahmatan lil ‘alamin.
Memperingati hari kelahiran beliau yang dikenal dengan maulid (maulud/molod) adalah sebuah keniscayaan bagi kaum Muslimin. Merayakannya adalah ekspresi cinta yang seharusnya dimaknai dan dijaga. Nabi Muhammad Saw dilahirkan bulan Rabi’ul Awwal. Bulan ini memiliki tempat tersendiri di hati kaum muslimin dunia.
Perdebatan seputar legalitas perayaan maulid kerap tidak memberi kontribusi substantif dalam penyelesaian krisis yang sedang umat hadapi. Pertengkaran sia-sia yang berulang saban tahun ini berjalan di jalan buntu. Nyatanya mayoritas ulama lintas zaman telah mengkonfirmasi kebolehan peringatan maulid, dan menekankan sisi positif yang dikandungnya.
Energi umat sudah seharusnya diarahkan kepada membumikan (Ihya’) nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, bukan malah terjebak pada polemik yang tidak berkesudahan.
Dalam perspektif kehidupan modern, peringatan maulid menyajikan dimensi yang lebih urgen daripada hanya dimaknai sebagai tradisi kultural tahunan.
Rasulullah Saw sebagai teladan otentik dan idola ideal harus terus dihidupkan dalam kesadaran kolektif umat. Hal ini menjadi penguat spiritualitas di tengah kegersangan nilai-nilai transedental yang terlihat mulai memudar juga.
Fenomena pergeseran yang dilalui umat dewasa ini, khususnya Gen Z, menambah perbendaharaan hujjah betapa peringatan maulid Nabi memiliki urgensitas nyata.
Generasi muda mengalami krisis figur panutan. Banyak di antara mereka lebih semangat menjadikan selebritas sebagai idola dibandingkan sosok panutan sejati, yaitu Baginda Nabi.
Di sisi lain, derasnya arus keterbukaan informasi melalui media sosial tidak diimbangi dengan kemampuan untuk memfilter dan memilah kebenaran. Hal ini diperburuk dengan budaya digital yang sangat permisif terhadap penyebaran hoax, ujaran kebencian, perundungan online (cyberbullying), hingga berkata kasar (temeunak) di ruang virtual.
Riset Microsoft melalui Indeks Keberadaban Digital (Digital Civility Index/DCI) menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga pengguna internet yang memiliki kesopanan dan keberadaban yang paling rendah kawasan Asia Pasifik, seperti dilansir news.microsoft.com. Kondisi yang sangat rentan bagi kondisi moral dan spiritualitas generasi selanjutnya.
Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, ulama ensiklopedis dari Syam menegaskan bahwa peringatan maulid adalah sebuah sarana untuk tujuan besar. Ia menyebutkan setidaknya terdapat tiga tujuan besar peringatan maulid; 1) menyegarkan kembali cinta kepada Rasulullah Saw, 2) memperbaharui janji kesetiaan untuk mengikutinya (Tajdid al-Bai’ah), dan 3) menjadikan akhlaknya Rasulullah sebagai metode hidup.
Tiga tujuan ini kita temukan dalam keteladanan nabi; beliau sosok penuh kasih sayang, tidak berkata kasar, tidak menghina dan merundung, serta selalu membalas keburukan dengan kebaikan.
Aisyah Ra. menuturkan bahwa beliau tidak pernah bertutur kotor, tidak berbuat keji, dan menjaga martabat. Meski kedudukannya sebagai “utusan Tuhan”, beliau tetap nampak bersahaja dan tidak pandang status. Beliau tetap duduk bersama kalangan miskin, bertegur sapa dengan anak-anak, serta kejujuran yang diakui kawan maupun lawan.
Setiap aspek kehidupan Rasul adalah teladan (uswah hasanah) yang tidak semuanya dapat diuraikan di ruang terbatas ini. Namun, setiap jengkal pengajaran tersebut dapat menjadi solusi konkret jika diterjemahkan dalam kehidupan umat.
Dalam konteks inilah perayaan maulid memiliki relevansi strategis. Setiap bulan maulid, umat Islam memiliki tradisi membaca perjalanan hidup nabi (Sirah), mengulas keistimewaan nabi (Khasais), kajian kesempurnaan fisik dan akhlak nabi (Syamail).
Majelis shalawat yang ramai di bulan ini, menambah energi spiritual, memperkuat rasa cinta serta meneguhkan kesetiaan kepada Rasulullah Saw. Di era modern, maulid juga dapat dikemas secara kreatif sesuai dengan tuntutan zaman.
Berbagai platform media sosial merupakan sarana vital untuk mengkampanyekan akhlak Nabi Saw, seperti video singkat, podcast, lomba karya tulis tentang Nabi Saw, dan konten kreatif lainnya. Dengan cara itu, maulid benar-benar menjadi booster iman yang menjadi kompas di tengah derasnya arus perubahan zaman.
*Penulis adalah Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh.
Discussion about this post