Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadi salah satu politisi paling populer di Indonesia lewat video-video pendeknya yang viral. Ia dianggap sebagai simbol populisme digital baru Indonesia.
Dedi Mulyadi mendapatkan banyak tanggapan dari pengguna media sosial di dalam dan luar daerah pemilihannya. Bagi banyak orang, kebangkitan Dedi mengingatkan pada mantan presiden Jokowi yang berhasil membangun citra media sosialnya sebagai seorang populis saat menjabat sebagai Walikota Solo dan kemudian Gubernur Jakarta, sebelum akhirnya memenangkan kursi kepresidenan.
Layaknya Jokowi, Dedi telah menggambarkan dirinya sebagai pemimpin yang rendah hati dan tanpa basa-basi. Ia dapat menyelesaikan berbagai hal dengan melakukan kunjungan dadakan (baca: blusukan).
Contoh terbaru adalah video kunjungannya baru-baru ini ke taman hiburan Hibisc Fantasy di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Dalam video tersebut, Dedi menuding pengelola taman hiburan tersebut melanggar peraturan tata ruang , yang menyebabkan banjir besar dan tanah longsor. Atas tindakannya tersebut, ia memerintahkan penutupan dan pembongkaran taman hiburan tersebut.
Dalam video lain, Dedi melakukan inspeksi mendadak di Pasar Caringin , Bandung, Jawa Barat, dan menemukan tumpukan sampah mencapai 1.000 ton. Inspeksi ini menyusul laporan bahwa pengelola pasar tidak mengangkut sampah selama tiga bulan terakhir. Setelah inspeksi mendadak oleh gubernur, tumpukan sampah di Pasar Caringin akhirnya diangkut.
Dapat dikatakan bahwa Dedi, seperti Jokowi, adalah seorang populis yang diberdayakan secara digital. Hal ini tercermin dari fakta bahwa ia memanfaatkan teknologi digital—platform media sosial—untuk memperkuat tindakan populis dan daya tarik emosionalnya, bukan pembuatan kebijakan yang didorong oleh mekanisme teknokratik.
Tindakannya untuk mengendalikan emosi publik, termasuk memberikan uang tunai kepada orang miskin atau pedagang asongan yang ditemuinya secara acak di jalan, ia rekam dan bagikan secara daring, menuai respon yang masif.
Kebijakan Populis Dedi yang Bermasalah
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan aktivitas media sosial Dedi dan visibilitas medianya yang tinggi. Malah, hal itu dapat meningkatkan keterbukaan dan transparansi, serta responsivitas kebijakan.
Kunjungan lapangan rutin ke desa-desa dan lingkungan perkotaan dapat membantunya menyesuaikan proyek dengan prioritas lokal agar lebih mencerminkan kebutuhan dan preferensi warga.
Pendekatan digitalnya dalam pembuatan kebijakan telah memungkinkannya untuk meniadakan persyaratan pelaporan formal seperti audit dan evaluasi oleh instansi daerah.
Namun, kebijakan populis Dedi bermasalah. Dapat disimpulkan, ‘kebijakan populis’ Dedi sebagai tindakan dan inisiatif yang diambil oleh pemerintah yang terkesan mengutamakan kepentingan ‘rakyat biasa’ atau ‘kehendak rakyat’ yang bersatu, dengan kecenderungan untuk menyenangkan mayoritas. Kebijakan-kebijakan ini cenderung berfokus pada solusi cepat yang mengandalkan penyederhanaan yang berlebihan.
Berbahaya sekali jika kita memberikan janji-janji kepada rakyat tanpa landasan kebijakan yang kuat atau penetapan agenda yang cermat. Dalam pembentukan kebijakan publik, penetapan agenda membantu para pembuat kebijakan memprioritaskan masalah-masalah yang perlu ditangani.
Reformasi tanpa agenda yang jelas, terutama saat menangani isu-isu yang kompleks, dapat berujung pada hasil yang tidak efektif atau tidak diharapkan. Pemahaman yang jelas tentang tujuan dan prioritas sangat penting untuk inisiatif reformasi yang berhasil.
Kebijakan-kebijakan Dedi tentu saja berkontribusi pada citranya sebagai pemimpin populis yang tampaknya memiliki keterampilan kepemimpinan untuk menyelesaikan semua jenis masalah publik.
Namun tanpa agenda yang jelas, banyak yang tampak hanya reaksi spontan terhadap masalah-masalah acak. Ini menjelaskan mengapa banyak kebijakannya sangat sederhana, seperti mengirim siswa yang tidak tertib ke barak militer , membentuk satuan tugas anti premanisme , dan memaksa siswa untuk mulai sekolah pukul 06.30 .
Kebijakan seperti ini buruk, baik karena tidak masuk akal atau karena penelitian yang ada menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak akan berhasil. Masalah dengan populisme Dedi adalah ia tidak menghabiskan cukup waktu untuk menemukan akar penyebab suatu masalah sehingga ia dapat menawarkan solusi yang nyata.
Pencarian Kebijakan Berkelanjutan
Tentu saja, populisme Dedi telah membantunya meraih dukungan publik. Kesulitan ekonomi saat ini, ditambah dengan ketidakpuasan terhadap elite politik dan sistem politik, telah menciptakan ruang bagi pemimpin populis seperti dirinya.
Namun, muncul pertanyaan kritis: sejauh mana ‘serangan pesona’ Dedi diterjemahkan menjadi kebijakan konkret dan jangka panjang?
Banyak politisi populis cenderung lebih berfokus pada pembangunan citra daripada implementasi program yang mengatasi permasalahan fundamental masyarakat.
Peters dan Pierre (2004) menyoroti bahaya politisasi pembangunan citra. Hal ini dapat merusak kualitas kebijakan publik karena fokus bergeser dari perencanaan dan implementasi kebijakan ke arah pembangunan citra pemimpin, mengabaikan solusi jangka panjang yang melayani kepentingan publik.
Meskipun konten digital mudah viral dan menarik perhatian, perumusan dan implementasi kebijakan tetap merupakan proses kompleks yang membutuhkan analisis mendalam dan koordinasi lintas lembaga. Publik harus bersikap kritis agar tidak terbuai oleh penampilan yang mencolok tanpa menilai apakah hasil nyatanya memberikan manfaat jangka panjang.
Kepemimpinan Dedi Mulyadi merupakan contoh paradoks populisme kontemporer: sementara ‘karisma digitalnya’ dan narasi ‘kerakyatan’ bergema secara luas, ketergantungannya pada jalan pintas yang kontroversial — seperti disiplin militer bagi siswa atau satuan tugas anti-premanisme —mengungkapkan gaya pemerintahan yang mengutamakan tontonan daripada reformasi sistemik.
Seperti banyak populis lainnya, pendekatan Dedi berisiko mengikis norma-norma demokrasi dengan memusatkan kewenangan, meminggirkan mekanisme pengawasan dan keseimbangan kelembagaan, dan membingkai isu-isu kompleks sebagai pertarungan antara “rakyat” dan elit yang korup.
Tanpa kebijakan konkret dan jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan, atau inefisiensi birokrasi, strategi-strategi populis tersebut justru memperdalam erosi demokrasi, alih-alih memperkuatnya.
Meningkatnya Tuntutan Akuntabilitas
Oleh karena itu, tantangan Indonesia bukanlah menolak mentah-mentah seruan populis, melainkan menuntut akuntabilitas: para pemimpin yang memanfaatkan keterlibatan massa juga harus memberikan ketahanan kelembagaan. Jika tidak, siklus janji-janji karismatik dan harapan yang tak terpenuhi akan terus berlanjut, membuat demokrasi rentan terhadap kekecewaan.
Oleh karena itu, pendidikan politik sejati, yang menumbuhkan pemikiran kritis di kalangan masyarakat tentang kebijakan publik, sangat penting agar warga negara dapat mengevaluasi kualitas kebijakan yang dibuat oleh para pemimpin.
Masyarakat sipil Indonesia harus menumbuhkan literasi media yang kritis dan menuntut transparansi dalam implementasi kebijakan. Menjadi kritis tidak berarti menolak semua janji politik, tetapi berarti membedakan antara komitmen yang realistis dan sekadar membangun citra.
Pendidikan politik yang adil, akses informasi yang transparan, dan peran kuat media dan masyarakat sipil sangat penting untuk memperkuat kesadaran ini.
Oleh: Testriono dan Firda
Disadur dari laman Indonesia at Melbourne
Discussion about this post