TINJAUAN.ID
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
  • Home
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
No Result
View All Result
TINJAUAN.ID
No Result
View All Result
Home Nasional

Menyorot Kebijakan Populis Dedi Mulyadi: Apakah Populisme Digital Bermasalah?

TINJAUAN ID by TINJAUAN ID
July 14, 2025
Reading Time: 4 mins read
0
Menyorot Kebijakan Populis Dedi Mulyadi: Apakah Populisme Digital Bermasalah?

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadi salah satu politisi paling populer di Indonesia lewat video-video pendeknya yang viral. Ia dianggap sebagai simbol populisme digital baru Indonesia.

Dedi Mulyadi mendapatkan banyak tanggapan dari pengguna media sosial di dalam dan luar daerah pemilihannya. Bagi banyak orang, kebangkitan Dedi mengingatkan pada mantan presiden Jokowi yang berhasil membangun citra media sosialnya sebagai seorang populis saat menjabat sebagai Walikota Solo dan kemudian Gubernur Jakarta, sebelum akhirnya memenangkan kursi kepresidenan.

Layaknya Jokowi, Dedi telah menggambarkan dirinya sebagai pemimpin yang rendah hati dan tanpa basa-basi. Ia dapat menyelesaikan berbagai hal dengan melakukan kunjungan dadakan (baca: blusukan).

Contoh terbaru adalah video kunjungannya baru-baru ini ke taman hiburan Hibisc Fantasy di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Dalam video tersebut, Dedi menuding pengelola taman hiburan tersebut melanggar peraturan tata ruang , yang menyebabkan banjir besar dan tanah longsor. Atas tindakannya tersebut, ia memerintahkan penutupan dan pembongkaran taman hiburan tersebut.

Dalam video lain, Dedi melakukan inspeksi mendadak di Pasar Caringin , Bandung, Jawa Barat, dan menemukan tumpukan sampah mencapai 1.000 ton. Inspeksi ini menyusul laporan bahwa pengelola pasar tidak mengangkut sampah selama tiga bulan terakhir. Setelah inspeksi mendadak oleh gubernur, tumpukan sampah di Pasar Caringin akhirnya diangkut.

Dapat dikatakan bahwa Dedi, seperti Jokowi, adalah seorang populis yang diberdayakan secara digital. Hal ini tercermin dari fakta bahwa ia memanfaatkan teknologi digital—platform media sosial—untuk memperkuat tindakan populis dan daya tarik emosionalnya, bukan pembuatan kebijakan yang didorong oleh mekanisme teknokratik.

Tindakannya untuk mengendalikan emosi publik, termasuk memberikan uang tunai kepada orang miskin atau pedagang asongan yang ditemuinya secara acak di jalan, ia rekam dan bagikan secara daring, menuai respon yang masif.

Kebijakan Populis Dedi yang Bermasalah

Tentu saja, tidak ada yang salah dengan aktivitas media sosial Dedi dan visibilitas medianya yang tinggi. Malah, hal itu dapat meningkatkan keterbukaan dan transparansi, serta responsivitas kebijakan.

Kunjungan lapangan rutin ke desa-desa dan lingkungan perkotaan dapat membantunya menyesuaikan proyek dengan prioritas lokal agar lebih mencerminkan kebutuhan dan preferensi warga.

Pendekatan digitalnya dalam pembuatan kebijakan telah memungkinkannya untuk meniadakan persyaratan pelaporan formal seperti audit dan evaluasi oleh instansi daerah.

Namun, kebijakan populis Dedi bermasalah.  Dapat disimpulkan, ‘kebijakan populis’ Dedi sebagai tindakan dan inisiatif yang diambil oleh pemerintah yang terkesan mengutamakan kepentingan ‘rakyat biasa’ atau ‘kehendak rakyat’ yang bersatu, dengan kecenderungan untuk menyenangkan mayoritas. Kebijakan-kebijakan ini cenderung berfokus pada solusi cepat yang mengandalkan penyederhanaan yang berlebihan.

Berbahaya sekali jika kita memberikan janji-janji kepada rakyat tanpa landasan kebijakan yang kuat atau penetapan agenda yang cermat. Dalam pembentukan kebijakan publik, penetapan agenda membantu para pembuat kebijakan memprioritaskan masalah-masalah yang perlu ditangani.

Reformasi tanpa agenda yang jelas, terutama saat menangani isu-isu yang kompleks, dapat berujung pada hasil yang tidak efektif atau tidak diharapkan. Pemahaman yang jelas tentang tujuan dan prioritas sangat penting untuk inisiatif reformasi yang berhasil.

Kebijakan-kebijakan Dedi tentu saja berkontribusi pada citranya sebagai pemimpin populis yang tampaknya memiliki keterampilan kepemimpinan untuk menyelesaikan semua jenis masalah publik.

Namun tanpa agenda yang jelas, banyak yang tampak hanya reaksi spontan terhadap masalah-masalah acak. Ini menjelaskan mengapa banyak kebijakannya sangat sederhana, seperti mengirim siswa yang tidak tertib ke barak militer , membentuk satuan tugas anti premanisme , dan memaksa siswa untuk mulai sekolah pukul 06.30 .

Kebijakan seperti ini buruk, baik karena tidak masuk akal atau karena penelitian yang ada menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak akan berhasil. Masalah dengan populisme Dedi adalah ia tidak menghabiskan cukup waktu untuk menemukan akar penyebab suatu masalah sehingga ia dapat menawarkan solusi yang nyata.

Pencarian Kebijakan Berkelanjutan

Tentu saja, populisme Dedi telah membantunya meraih dukungan publik. Kesulitan ekonomi saat ini, ditambah dengan ketidakpuasan terhadap elite politik dan sistem politik, telah menciptakan ruang bagi pemimpin populis seperti dirinya.

Namun, muncul pertanyaan kritis: sejauh mana ‘serangan pesona’ Dedi diterjemahkan menjadi kebijakan konkret dan jangka panjang?

Banyak politisi populis cenderung lebih berfokus pada pembangunan citra daripada implementasi program yang mengatasi permasalahan fundamental masyarakat.

Peters dan Pierre (2004) menyoroti bahaya politisasi pembangunan citra. Hal ini dapat merusak kualitas kebijakan publik karena fokus bergeser dari perencanaan dan implementasi kebijakan ke arah pembangunan citra pemimpin, mengabaikan solusi jangka panjang yang melayani kepentingan publik.

Meskipun konten digital mudah viral dan menarik perhatian, perumusan dan implementasi kebijakan tetap merupakan proses kompleks yang membutuhkan analisis mendalam dan koordinasi lintas lembaga. Publik harus bersikap kritis agar tidak terbuai oleh penampilan yang mencolok tanpa menilai apakah hasil nyatanya memberikan manfaat jangka panjang.

Kepemimpinan Dedi Mulyadi merupakan contoh paradoks populisme kontemporer: sementara ‘karisma digitalnya’ dan narasi ‘kerakyatan’ bergema secara luas, ketergantungannya pada jalan pintas yang kontroversial — seperti disiplin militer bagi siswa atau satuan tugas anti-premanisme —mengungkapkan gaya pemerintahan yang mengutamakan tontonan daripada reformasi sistemik.

Seperti banyak populis lainnya, pendekatan Dedi berisiko mengikis norma-norma demokrasi dengan memusatkan kewenangan, meminggirkan mekanisme pengawasan dan keseimbangan kelembagaan, dan membingkai isu-isu kompleks sebagai pertarungan antara “rakyat” dan elit yang korup.

Tanpa kebijakan konkret dan jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan, atau inefisiensi birokrasi, strategi-strategi populis tersebut justru memperdalam erosi demokrasi, alih-alih memperkuatnya.

Meningkatnya Tuntutan Akuntabilitas

Oleh karena itu, tantangan Indonesia bukanlah menolak mentah-mentah seruan populis, melainkan menuntut akuntabilitas: para pemimpin yang memanfaatkan keterlibatan massa juga harus memberikan ketahanan kelembagaan. Jika tidak, siklus janji-janji karismatik dan harapan yang tak terpenuhi akan terus berlanjut, membuat demokrasi rentan terhadap kekecewaan.

Oleh karena itu, pendidikan politik sejati, yang menumbuhkan pemikiran kritis di kalangan masyarakat tentang kebijakan publik, sangat penting agar warga negara dapat mengevaluasi kualitas kebijakan yang dibuat oleh para pemimpin.

Masyarakat sipil Indonesia harus menumbuhkan literasi media yang kritis dan menuntut transparansi dalam implementasi kebijakan. Menjadi kritis tidak berarti menolak semua janji politik, tetapi berarti membedakan antara komitmen yang realistis dan sekadar membangun citra.

Pendidikan politik yang adil, akses informasi yang transparan, dan peran kuat media dan masyarakat sipil sangat penting untuk memperkuat kesadaran ini.

Oleh: Testriono dan Firda

Disadur dari laman Indonesia at Melbourne

Tags: Dedi MulyadigubernurJawa Baratkebijakan publikmedia sosialpopulisme
ShareTweetSend

Related Posts

Tom Lembong Divonis 4,6 Tahun, Anies Baswedan Angkat Bicara
Nasional

Tom Lembong Divonis 4,6 Tahun, Anies Baswedan Angkat Bicara

July 19, 2025
Wali Nanggroe Malik Mahmud Temui Mendagri, Bahas Dana Otsus hingga Penguatan PAD.
Nasional

Wali Nanggroe Malik Mahmud Temui Mendagri, Bahas Dana Otsus hingga Penguatan PAD

July 13, 2025
Riza Chalid Ditetapkan Tersangka Kasus Korupsi Pertamina 285 Triliun, Siapa Dia?
Nasional

Riza Chalid Ditetapkan Tersangka Kasus Korupsi Pertamina 285 Triliun, Siapa Dia?

July 11, 2025
Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara.
Opini

Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara (Suara dari Blang Padang untuk Keadilan Syariat)

July 9, 2025
Tanah Wakaf Blang Padang: Menjaga Kemaslahatan, Mengedepankan Kebermanfaatan
Opini

Tanah Wakaf Blang Padang: Menjaga Kemaslahatan, Mengedepankan Kebermanfaatan

July 11, 2025
Refleksi 18 Tahun Partai Aceh, Turbulensi Politik, dan Masa Depan Partai.
Opini

Refleksi 18 Tahun Partai Aceh, Turbulensi Politik, dan Masa Depan Partai

July 7, 2025
Next Post
Bahrul Jamil Dilantik Jadi Sekda Aceh Besar, PC IPNU Aceh Besar Ucapkan Selamat

Bahrul Jamil Dilantik Jadi Sekda Aceh Besar, PC IPNU Aceh Besar Ucapkan Selamat

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Langsa

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial di Kota Langsa: Simbol Sejarah Ekonomi Masa Lalu

Discussion about this post

Recommended Stories

Tu Sop Jeunieb Terpilih Kembali sebagai Ketua Umum PB HUDA Periode 2023-2028

July 6, 2025

Laporan Data Struktur Ketenagakerjaan Angkatan Kerja Aceh 2022-2023

July 6, 2025

PT PIM resmikan penjualan perdana pupuk NPK, akui capai target produksi 2022

January 2, 2023

Popular Stories

  • Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara.

    Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara (Suara dari Blang Padang untuk Keadilan Syariat)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Riza Chalid Ditetapkan Tersangka Kasus Korupsi Pertamina 285 Triliun, Siapa Dia?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kedai Kopi Pertama di Aceh: Antara Pengaruh Ottoman dan Budaya Perantauan Tionghoa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Perkebunan Karet di Aceh Timur Masa Kolonial Tahun 1907-1939

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alumni Golkar Institute Dukung Penuh Diskresi Ketum Golkar untuk Bustami Hamzah: Musda Aceh adalah Keniscayaan 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • All Groups
  • Default User Group
  • Forgot Password
  • Home
  • Kontak
  • Login
  • My Profile
  • Redaksi
  • Registration
  • Search Users
  • Sitemap
  • Submit New Blog Post
  • Tentang Kami
  • TINJAUAN.ID
  • User Blogs
  • Pedoman Media Siber
Email: tinjauan.id@gmail.com

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Dunia
  • Nasional
  • Regional
  • Politik
  • Opini
  • Contact Us

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?