Masyarakat Aceh, merujuk pada komentar netizen di dunia maya, menunjukkan keterbelahan akibat pendapat pro dan kontra merespon rencana revisi Qanun LKS.
Perdebatan mengenai apakah Qanun LKS perlu direvisi ulang mengemuka setelah jaringan layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) mengalami gangguan akibat serangan hacker. Gangguan tersebut membuat masyarakat tidak dapat melakukan transaksi, khususnya pada sistem mobile banking.
Masyarakat Aceh menunjukkan kekesalannya kepada BSI melalui komentar-komentar di laman sosial media mereka, baik akun Facebook maupun akun komentar di Instagram.
Serangan siber yang dialami BSI praktis membuat kegiatan ekonomi harian masyarakat menjadi terkendala. Nasabah BSI tidak dapat melakukan penarikan uang tunai dan melakukan transfer bank selama beberapa hari.
Kekesalan terhadap gangguan layanan BSI membuat sebagian kalangan netizen meminta agar Qanun LKS segera dilakukan revisi, bank konvensional diminta agar dapat kembali beroperasi di Aceh.
Ketua DPRA Saiful Bahri atau yang akrab disapa Pon Yaya menyatakan bahwa DPRA akan segera melakukan revisi Qanun LKS. Diikuti oleh surat PJ Gubernur Ahmad Marzuki kepada Mendagri perihal revisi Qanun LKS.
Sebagian masyarakat menentang rencana revisi Qanun LKS yang bertujuan mendatangkan kembali bank konvensional ke Aceh. Penolakan disebabkan Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam sudah seharusnya menolak sistem perbankan yang mengandung unsur riba.
Bagi Tgk. Irfan Siddiq, ulama muda asal Aceh Besar menilai rencana revisi Qanun nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah oleh DPRA dan PJ Gubernur terkesan terburu-buru.
“Penerapan qanun yang bertujuan positif pada warna islam di Aceh ini, masih sangat muda, masih banyak hal yang harus dievaluasi tentang capaian dari pelaksanaan qanun tersebut,” terang Tgk. Irfan.
Iya menambahkan, “Ini belum apa-apa kenapa main revisi aja? Lalu sebagian masyarakat juga menduga, bahwa semacam ada drama khusus yang dijalankan oleh penguasa agar keberadaan qanun LKS ini terkesan tidak penting dan tidak membawa keuntungan bagi Aceh. Padahal, ulama dan para pemangku kebijakan sebelumnya, telah mengkaji banyak hal sebelum qanun LKS ini dibuat dan diterapkan, tegas politisi Partai Demokrat ini.
Sementara bagi pihak yang pro revisi qanun menganggap bahwa BSI yang menjadi satu-satunya bank dominan di Aceh merupakan sesuatu yang tidak sehat “Qanun LKS sudah sepatutnya di revisi, merger itu menghimpun tiga bank raksasa dalam satu wadah yang disebut BSI yang mengumpulkan pangsa pasar tiga bank lama dari segala macam klasifikasi baik itu pengusaha hingga masyarakat biasa. Jika BSI mengalami collapse seperti yang terjadi belakangan ini maka transaksi akan mengalami kemacetan dan menimbulkan kerugian yang besar,” ujar Rahmat Fahlevi, alumni FISIP USK.
Rahmat juga menambahkan bahwa BSI belum menyediakan layanan perbankan bagi kegiatan perdagangan yang mendukung kegiatan ekspor-impor. Sehingga kegiatan bisnis pengusaha menjadi bermasalah.
“Selain itu, berdasarkan release resmi, pihak BSI mengatakan sudah menyediakan fitur Letter of Credit (LC) untuk para eksportir, namun faktanya BSI belum mempunyai fitur itu sampai sekarang sehingga para pengusaha kelabakan dalam melakukan transaksi dengan buyer luar negeri. Merugikan pengusaha dalam transaksi akan berdampak hingga grasroot, yaitu pekerja lapangan, baik dalam hal biaya operasional hingga upah akan tertahan,” terang Rahmat.
Rahmat berhadap kepada para intelektual dan ulama agar mempertegas makna asali dari pada term “bunga bank”, jangan ada yang ditutupi seolah publik belum mempunyai kapasitas untuk menerima perbedaan pendapat.
“Seharusnya jikalau berniat mengislamisasi bank secara total, dilakukan terlebih dahulu kajian yang multidimensi, mempertimbangkan efek domino dan perbaikan secara gradual. Publik mengalami shock therapy karena hal ini, bank adalah jantung perekonomian yang memompa keuangan ke seluruh sektor perekonomian jadi jika mengalami konstipasi efeknya akan berkepanjangan,” pungkas Rahmat.