Oleh: Rizqan Kamil*
Setelah baku tembak singkat selama 10 menit di perbatasan Kamboja-Thailand pada 28 Mei 2025, yang mengakibatkan tewasnya seorang tentara Kamboja, sengketa wilayah antara kedua negara semakin memanas. Eskalasi ini menyebabkan hubungan diplomatik yang tegang dan akhirnya meletus menjadi konflik langsung pada 24 Juli 2025. Pada hari keenam perang, jumlah korban tewas meningkat menjadi 35 orang, dengan 272.707 warga sipil mengungsi. Selain itu, 134.707 warga Kamboja dan 138.000 warga sipil Thailand terpaksa mengungsi ke daerah yang lebih aman.
Sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand berakar pada ambiguitas Perjanjian Prancis-Siam tahun 1904, yang menetapkan demarkasi perbatasan tertentu antara Kerajaan Siam (Thailand modern) dan Indochina Prancis (Kamboja, Laos, dan Vietnam modern). Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa kedaulatan atas Preah Vihear, sebuah kuil Angkor abad ke-11 adalah milik Kamboja, tetapi ketegangan berlanjut karena kedaulatan atas wilayah di sekitarnya belum diselesaikan.
Menurut Nathan Ruser, analis data satelit di Australian Strategic Policy Institute (ASPI), ketegangan militer menjelang bentrokan 24 Juli 2025 antara Thailand dan Kamboja berasal dari pihak Kamboja. Pasukan Kamboja telah memperkuat beberapa posisi sebelum insiden 28 Mei dan mengerahkan bala bantuan strategis setelahnya.
Ditambah kejadian pemicu perang yang terjadi pada tanggal 23 Juli, seorang tentara Thailand menginjak ranjau darat PMN-2 di distrik Nam Yuen, Ubon Ratchathani, yang menyebabkan kehilangan satu kakinya. Awalnya, diperkirakan ranjau tersebut merupakan sisa-sisa Perang Dingin, namun bukti-bukti selanjutnya menunjukkan bahwa ranjau tersebut adalah ranjau PMN-2 Rusia yang lebih baru. Keesokan harinya, konflik bersenjata langsung pecah antara kedua negara, dengan Kamboja dan Thailand saling mengklaim untuk membela diri.
Upaya damai
Di balik layar, PM Thailand Paetongtarn terlibat dalam diplomasi pribadi dan informal, ia memanfaatkan hubungan jangka panjang antara keluarganya Shinawatra dengan mantan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen untuk meredakan situasi. Upaya ini berujung pada percakapan telepon pribadi antara kedua pemimpin pada 15 Juni 2025. Malapateka terjadi tiga hari setelahnya, cuplikan percakapan telepon berdurasi 9 menit antara Paetongtarn Shinawatra dan Hun Sen bocor.
Hun Sen menanggapi dengan mengakui bahwa ia telah merekam percakapan telepon pada 15 Juni tersebut dan mendistribusikannya kepada sekitar 80 pejabat Kamboja dengan dalih transparansi. Sementara Paetongtarn dianggap melakukan tindakan fatal, ia telah mengorbankan martabat nasional serta moral angkatan bersenjata Thailand. Pada 1 Juli 2025, Mahkamah Konstitusi Thailand menangguhkan Paetongtarn sebagai perdana menteri akibat dari etik percakapan telepon tersebut.
Bocoran percakapan ini semakin memperpanas dinamika konflik, hingga pada 24 Juli, ketika puncak konflik bersenjata meletus, Kamboja mengirim surat kepada Presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang meminta pertemuan mendesak untuk menghentikan agresi Thailand terhadap kedaulatan Kamboja. Thailand kemudian membalas kembali dengan menyatakan bahwa mereka memiliki bukti yang jelas bahwa Kamboja telah menginvasi kedaulatannya dan telah melanggar beberapa ketentuan Konvensi Jenewa.
Sehari setelahnya, Thailand menolak tawaran mediasi dari Amerika Serikat, Tiongkok, dan Malaysia (ketua ASEAN saat ini), dengan menyatakan bahwa mereka ingin masalah ini diselesaikan secara bilateral. Namun, pada malam 27 Juli, menteri luar negeri Malaysia mengonfirmasi bahwa pemimpin Kamboja dan Thailand akan bertemu di Malaysia untuk negosiasi gencatan senjata yang dimediasi oleh Anwar Ibrahim. Pada malam 28 Juli, Thailand dan Kamboja menyetujui gencatan senjata tanpa syarat, yang mulai berlaku pada tengah malam, sehingga mengakhiri konflik.
Phumtham, bersama Menteri Luar Negeri Maris Sangiampongsa dan Jenderal Natthaphon Narkphanit, bertemu dengan Hun Manet pada pukul 3 sore di Putrajaya dalam perundingan yang diprakarsai oleh Anwar Ibrahim, dengan utusan AS dan Tiongkok yang hadir. Berpartisipasi dalam diskusi sebagai ko-fasilitator adalah Duta Besar AS untuk Malaysia Edgard Kagan dan Duta Besar Tiongkok Ouyang Yujing.
Tidak lama berselang, Tentara Kerajaan Thailand melaporkan bahwa gencatan senjata telah dilanggar dan pertempuran kembali meletus di dekat Chong Bok di Provinsi Ubon Ratchathani. Tentara Kamboja melancarkan serangan artileri mendadak terhadap tentara Thailand dari sebuah bukit, yang memicu serangan balasan dari Tentara Thailand. Dari sisi lain, Kamboja, membantah sepenuhnya tuduhan tersebut dan menyatakan telah mematuhi kesepakatan sejak awal.
Skenario strategis
Sengketa perbatasan yang telah berlangsung lama telah menjadi isu penting bagi militer Thailand. Sejak awal, Thailand menolak putusan Mahkamah Internasional tahun 1962 yang memenangkan Kamboja dan menolak mediasi pihak ketiga dalam konflik yang sedang berlangsung. Akibatnya, konflik kemungkinan akan terus berlanjut hingga tujuan konkret tercapai.
Situasi ini memicu pertanyaan tentang niat utama Thailand. Meskipun Thailand mengklaim membela diri dari agresi lintas batas oleh Kamboja, konflik yang berkepanjangan dapat meningkatkan persepsi ancaman keamanan. Akibatnya, tujuan Thailand mungkin bergeser ke arah demiliterisasi Kamboja atau bahkan pergantian rezim.
Mantan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang masih berpengaruh sebagai Ketua Senat dan ayah dari Perdana Menteri petahana Hun Manet, digambarkan sebagai momok bagi Thailand. Narasi ini berkembang bahwa kekuasaan Hun Sen dan putranya merupakan ancaman bagi keamanan Thailand, sehingga solusi yang mungkin diusulkan adalah mengganti mereka dengan rezim lain atau menyerahkan wilayah yang disengketakan.
Ditambah, ada rumor bahwa Hun Sen telah membuat kesepakatan dengan Beijing untuk membangun pangkalan militer angkatan laut Tiongkok. Jika benar, tidak terlalu sulit bagi Thailand untuk mencuri dukungan Barat dalam kampanye pergantian rezim yang potensial di Kamboja. Sebagai imbalan atas dukungan politik tersebut, Thailand mungkin akan menjadi “player” menjauhkan Kamboja dari Tiongkok.
Demikian pula, karena ekonomi Thailand yang jauh lebih besar dan lokasi geostrategisnya, Tiongkok dan Rusia mungkin enggan mengutuk potensi kampanye pergantian rezim ini, apalagi mengusulkan sanksi DK PBB. Ditambah, militer Thailand jauh lebih unggul daripada militer Kamboja dalam segala hal, sehingga mereka dapat dengan mudah menyerbu Phnom Penh untuk menggulingkan Hun Sen dan putranya, kecuali jika terjadi kesalahan atau Vietnam ikut campur tangan.
Sementara Kamboja, konfrontasi perbatasan ini kemungkinan besar akan menghasilkan resolusi definitif atas sengketa perbatasan yang telah berlangsung lama dan telah menimbulkan ketegangan selama beberapa dekade. Bagi Kamboja, dengan menarik perhatian internasional, terdapat potensi tekanan untuk demarkasi teritorial yang lebih jelas.
Pun bagi Kamboja, Jika masalah perbatasan hanya diselesaikan secara bilateral, negara yang lebih kuat secara militer atau ekonomi mungkin memiliki keunggulan. Dengan “menginternasionalkan” konflik melalui pertempuran, Kamboja dimungkinkan mendapatkan dukungan dari pihak ketiga, baik dukungan militer ataupun dukungan dari negara-negara netral.
*Penulis adalah peneliti di International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS).
Discussion about this post