Data BPS Aceh terkini menunjukkan bahwa angka kemiskinan di beberapa kabupaten di Provinsi Aceh masih cukup tinggi di atas rata-rata provinsi sebesar 15,05 persen. Beberapa kabupaten dengan persentase kemiskinan tertinggi antara lain Kabupaten Aceh Singkil 19,18 persen, Gayo Lues 18,87 persen, Pidie 18,79 persen, Bener Meriah 18,39 persen, Simeulue 18,37 persen, Aceh Barat 17,93 persen, Nagan Raya 17,38 persen, dan Aceh Utara 16,86 persen.
Tingginya angka kemiskinan di beberapa kabupaten tersebut menunjukkan indikasi bahwa pembangunan di Aceh belum merata. Beberapa daerah seperti Aceh Singkil, Gayo Lues, Bener Meriah dan Simeulue yang salah satunya merupakan daerah terluar masih tertinggal dibandingkan daerah lainnya. Letak beberapa kabupaten ini yang jauh dari ibukota provinsi sepertinya membuat akses terhadap pembangunan menjadi terhambat, sehingga pemerintah provinsi perlu memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah ini agar pembangunan dapat menjangkau seluruh pelosok Aceh.
Di sisi lain, tingginya angka kemiskinan di Pidie cukup mengejutkan mengingat masyarakat Pidie dikenal sebagai pedagang tangguh yang memiliki basis pertanian yang kuat dan letaknya yang berdekatan dengan ibukota Provinsi Aceh, yaitu Banda Aceh. Jika melihat basis keunggulan keberadaan lokasi, seharusnya Pidie bisa memanfaatkan akses kedekatan dengan ibukota provinsi untuk mengembangkan perekonomian daerah. Namun faktanya, Pidie justru menempati peringkat ketiga kabupaten termiskin di Aceh. Hal ini mengindikasikan ada masalah mendasar pada kebijakan pembangunan ekonomi di Pidie yang perlu ditelusuri lebih lanjut.
Lain lagi situasi di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya yang tengah gencar melakukan industrialisasi di sektor pertambangan, perkebunan dan energi, namun angka kemiskinan di dua kabupaten ini ternyata masih cukup tinggi. Banyaknya perusahaan tambang batubara dan tambang lainnya, pabrik kelapa sawit, dan PLTU, seharusnya mampu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dua kabupaten ini. Namun faktanya hal itu belum terjadi. Sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap kontribusi industri ekstraktif dan perkebunan terhadap pendapatan daerah (PAD), serapan tenaga kerja lokal, serta kebijakan pemerataan hasil pembangunan di dua kabupaten tersebut. Jika terbukti APBD kedua kabupaten meningkat tajam akibat sumbangan bagi hasil dan pajak industri namun angka kemiskinan tetap tinggi, berarti ada ketimpangan dalam pembagian manfaat dan distribusi pembangunan oleh pemerintah daerah di dua kabupaten tersebut.
Tentunya, selain persoalan ketimpangan pembangunan antar wilayah, beberapa faktor lain juga memiliki indikasi untuk berkontribusi terhadap tingginya angka kemiskinan di Aceh, yaitu:
Pertama, yaitu kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Tingkat pendidikan dan keterampilan sebagian besar penduduk di pedesaan masih minim sehingga sulit bersaing di pasar kerja.
Kedua, minimnya lapangan kerja di sektor formal. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal dengan pendapatan tidak menentu.
Ketiga, belum optimalnya sektor pertanian dan perikanan sebagai tulang punggung perekonomian Aceh. Produktivitas kedua sektor utama ini masih sangat rendah akibat keterbatasan modal, teknologi, dan akses pasar, padahal kedua sektor ini mencakup lebih 50% populasi masyarakat Aceh.
Keempat, lunturnya budaya kewirausahaan di kalangan generasi muda. Banyak pemuda Aceh yang mengharapkan menjadi PNS dan enggan berwirausaha sehingga menyulitkan penyerapan tenaga kerja.
Kelima, kurangnya dukungan pembiayaan perbankan terhadap UMKM. Akses kredit dan permodalan bagi pelaku usaha mikro kecil sangat terbatas, yang diakibatkan oleh sulitnya persyaratan administrasi sehingga kredit seperti KUR yang terealisasi di Aceh hanya sebagian dari skema penganggaran yang disediakan oleh Pemerintah Pusat.
Keenam, daya beli masyarakat yang rendah akibat Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh yang masih di bawah rata-rata nasional, sehingga daya beli yang rendah berimbas pada lesunya roda perekonomian Aceh.
Secara keseluruhan, masih tingginya angka kemiskinan di sejumlah kabupaten di Aceh menunjukkan bahwa pembangunan belum merata dan belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah Aceh perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pembangunan selama ini guna merumuskan langkah-langkah untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan di seluruh kabupaten/kota. Pembangunan yang adil dan merata harus menjadi komitmen bersama Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat demi kesejahteraan rakyat Aceh.
Untuk itu, berbasis uraian di atas, Pemerintah Aceh perlu menyusun strategi pengentasan kemiskinan terpadu yang meliputi peningkatan mutu pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pengembangan sektor basis usaha, peningkatan kewirausahaan dan akses pembiayaan UMKM yang dipermudah, peningkatan daya beli melalui penyesuaian UMP, serta afirmasi khusus bagi daerah tertinggal. Dengan strategi komprehensif tersebut diharapkan angka kemiskinan di Aceh dapat diturunkan secara signifikan dalam waktu yang tidak begitu lama.
Jabal Ali Husin Sab danT. Muda Bentara M.Han
Saman Strategic Indonesia