Tata laksana birokrasi yang rumit dan banyaknya peraturan teknis merupakan hambatan terhadap pelaksanaan aktifitas pengembangan Kawasan Bebas Sabang.
Oleh: Munzami Hs*
Ada hal yang perlu diketahui publik bahwa keberadaan Kawasan Bebas Sabang sudah diakui oleh Pemerintah RI sejak tahun 1963 lalu. Berikut kilas balik lahirnya berbagai regulasi yang mengatur Kawasan Bebas Sabang;
Pada 16 Oktober 1963, Presiden Sukarno menetapkan Penetapan Presiden No.10/1963 tentang Pelabuhan Bebas Sabang (Free Port), kemudian pada 20 Juni 1964, Presiden menetapkan Perpres No.22/1964 tentang Pelaksanaan Pembangunan Pelabuhan Bebas Sabang.
Di era Orde Baru, tepatnya pada 27 Maret 1970, Presiden Suharto mengesahkan UU No.4/1970 tentang Pembentukan Daerah Perdagangan Bebas Dengan Pelabuhan Bebas Sabang. Namun, 15 tahun kemudian Suharto mencabut status Free Port Sabang melalui UU No.10/1985.
Pada 22 September 1998, Presiden B.J. Habibie menetapkan Keppres No.171/1998 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sabang. Pada 24 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Inpres No.2/2000 tentang Pembangunan Pulau Sabang Menjadi Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Selanjutnya, terbit Perppu No.2/2000 tentang KPBPB Sabang.
Pada 21 Desember 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengesahkan UU No.37/2000 tentang Penetapan Perppu No.2/2000 tentang KPBPB Sabang menjadi Undang-Undang sebagai cikal bakal lahirnya BPKS. Kemudian UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (Pasal 167 s.d 170) juga mengatur khusus tentang KPBPB Sabang.
Untuk memperlancar kegiatan pengembangan Kawasan Sabang berdasarkan UU No.37/2000 dan ketentuan Pasal 170 UU No.11/2006 (UUPA), barulah pada 20 Desember 2010 keluar PP No.83/2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang yang ditetapkan oleh Presiden SBY.
Dari semua aturan perundang-undangan tersebut, dapat diterjemahkan bahwa; Pertama, hampir semua Presiden RI, mulai dari Sukarno, Suharto, BJ Habibie, Gusdur, hingga SBY memberikan perhatian khusus terhadap pembangunan Kawasan Bebas Sabang.
Kedua, narasi yg sering dimunculkan ke publik bahwa keberadaan Kawasan Bebas Sabang itu sudah 25 tahun sedikit keliru, karena Kawasan Sabang sudah diakui sebagai Pelabuhan Bebas sejak tahun 1963 oleh Sukarno. Meski tahun 1985 sempat ditutup oleh Suharto dan terakhir Gus Dur kembali menetapkan Kawasan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang yang disingkat KPBPB Sabang melalui UU No.37 Tahun 2000 untuk jangka waktu 70 tahun.
Ketiga, persoalan utama dalam pengembangan Kawasan Bebas Sabang saat ini yaitu masih banyaknya berbagai peraturan teknis yang tumpang tindih serta berbenturan dengan ketentuan di dalam PP 83/2010. Hal tersebut sudah pernah penulis uraikan dalam Opini di Harian Serambi Indonesia (08/11/2022) berjudul “Kompleksitas Kawasan Free Port Sabang.”
Amanat Pasal 167 UUPA dan ketentuan Pasal 3 (ayat 1) PP 83/2010 dijelaskan bahwa Kawasan Sabang sebagai kawasan bebas tata niaga, yaitu; “pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang tidak diperlukan perizinan seperti yang berlaku di wilayah Indonesia lainnya karena kawasan Sabang adalah terpisah dari kawasan pabean Indonesia.”
Namun dalam pelaksanaannya, Menteri Keuangan misalnya, menerbitkan PMK No. 34/PMK.04/2021 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Bebas. Selanjutnya diatur lagi dengan lebih teknis melalui Peraturan Dirjen Bea dan Cukai PER-10/BC/2024.
Kemudian ada lagi Peraturan Menteri Perdagangan No.36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang juga diberlakukan dalam Kawasan Sabang. Peraturan-peraturan Menteri dan Per-Dirjen Bea Cukai tersebut hanya merujuk pada PP 41/2021 tentang Kawasan KPBPB secara umum serta mengabaikan berbagai ketentuan yang diatur khusus di dalam PP 83/2010 tentang KPBPB Sabang. Kemudian, terdapat lagi berbagai peraturan teknis lainnya yang semuanya ikut berpengaruh terhadap terhambatnya aktifitas perdagangan di dalam Kawasan Sabang.
Kawasan Sabang saat ini adalah “kawasan bebas yang tidak bebas”, karena berbagai peraturan teknis masih mempersulit bahkan menghambat aktifitas di dalam kawasan, terutama terkait aktifitas perdagangan dan investasi, ekspor-impor atau keluar masuk barang di dalam KPBPB Sabang.
Akhir-akhir ini, banyak dukungan dan harapan dari berbagai elemen masyarakat Aceh agar Kawasan Sabang dapat tumbuh kembali seperti dulu. Namun publik juga harus tahu bahwa tata laksana birokrasi yang rumit dan banyaknya peraturan teknis yang berlaku merupakan hambatan terhadap pelaksanaan aktifitas pengembangan Kawasan Bebas Sabang.
Butuh kebijakan extra-ordinary untuk kembali membangun Kawasan Sabang. Salah satunya yaitu butuh perhatian khusus serta atensi langsung dari Presiden Prabowo. Dorongan dari semua pihak sangat penting agar Presiden kembali menerbitkan Instruksi Presiden terhadap beberapa kementerian untuk ikut membangun Kawasan Sabang.
Hal tersebut pernah dilakukan oleh Gusdur dengan mengeluarkan kebijakan melalui Inpres No.2 Tahun 2000 yang menginstruksikan 10 Menteri untuk segera membangun sarana dan prasarana serta mengalokasikan sumber dana untuk mewujudkan Pulau Weh sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Kementerian yang dimaksud dalam Inpres tersebut diantaranya; Menko Ekonomi, Menkeu, Menperindag, Menhub, Mentri PU, Mentri BUMN serta Kepala Bappenas.
Namun, realita yang terjadi saat ini, pembangunan Kawasan Sabang seolah-olah mutlak dibebankan pada BPKS saja, sementara BPKS sampai saat ini hanya status saja sebagai Lembaga Pemerintah setingkat K/L namun hanya diberikan anggaran seadanya. Saat ini, BPKS sebagai Badan Pengelola Kawasan Sabang mendapatkan alokasi anggaran dari APBN 2025 Rp.53 miliar dan hanya tinggal Rp.27 miliar pasca kebijakan efisiensi oleh Pemerintah.
Selama ini, BPKS belum pernah dipanggil menghadap Presiden, begitu juga dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, sama sekali tidak pernah melakukan Rapat Kerja langsung dengan pimpinan BPKS terkait kebijakan alokasi anggaran sebagai K/L. BPKS hanya dibiarkan berurusan dengan pejabat teknis di Kemenkeu setingkat direktur. Menteri Keuangan sebagai pengendali APBN sama sekali tidak peduli terhadap pembangunan Kawasan Bebas Sabang.
BPKS diibaratkan sebagai “anak yang tidak diinginkan oleh Republik”. Setelah diberi kewenangan melalui UU 37/2000 dan pelaksanaannya dengan PP 83/2010, lalu dikunci dengan berbagai peraturan teknis dari kementerian terkait dan berbagai Peraturan Dirjen dibawah-nya.
Masyarakat Aceh tentu menaruh harapan besar terhadap hidupnya aktifitas perekonomian, perdagangan serta investasi di Kawasan Bebas Sabang. Namun, kembali lagi BPKS tidak bisa bekerja tunggal tanpa didukung oleh berbagai stakeholder atau instansi terkait lainnya, baik instansi vertikal maupun daerah.
Harmonisasi berbagai regulasi yang mengatur Kawasan Sabang menjadi suatu keniscayaan dan isu penting yang butuh perhatian semua stakeholder di Aceh. Namun kembali lagi, atensi langsung dari Presiden Prabowo tentu merupakan salah satu langkah konkrit yang perlu didorong bersama.
Semoga Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang memiliki kedekatan khusus dengan Prabowo dapat menghadirkan solusi konkrit terhadap keberlanjutan pengembangan Kawasan Bebas Sabang. Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa membangun Indonesia tidak hanya dimulai dari Batam sampai Labuan Bajo NTT, tapi seyogyanya dimulai dari Sabang sampai Merauke. Sekian!
*Penulis adalah Direktur IDeAS – Institute for Development of Acehnese Society dan Anggota Dewas BPKS.
Discussion about this post