Teks baru proklamasi yang kita kenal sekarang merupakan kompromi paling maksimal dari dua kubu ini, Sukarno-Hatta dan pemuda.
Oleh: Bung Alkaf, Esais.
Hipotesis saya, Hakam sedang berada dalam peristiwa penapakan ma’rifat ketika sedang merenungi peristiwa-peristiwa penting menjelang proklamasi kemerdekaan. Karena itu, dia menulis singkat satu letupan dalam pikirannya di laman Facebooknya.
Saya mengutip, tanpa parafrase, pernyataan tersebut, “entah loepa batja di boekoe apa. konon, Boeng Hatta berkata oesoel, semoea orang, tokoh2 penting dan beberapa pemoeda, ikoet tanda tangan dalam teks proklamasi. dan S. Melik menolak. tjoekoep Soekarno Hatta.”
Saya lalu mengirim pesan kepadanya untuk menyampaikan hipotesis mengapa Sayuti Melik, salah satu tokoh pemuda terkemuka saat itu, menolak tawaran Hatta tersebut.
Alasan penolakan Sayuti karena hari-hari penting itu keadaan belumlah terkendali. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, kecuali satu hal: Sekutu akan mendarat di Jakarta untuk mengambil alih kendali pemerintahan dari tangan Jepang yang telah kalah.
Dalam bayangan Sayuti Melik, Sukarno dan Hatta sudah sejak lama diincar oleh sekutu karena selama pendudukan Jepang keduanya melakukan kerjasama. Oleh karena itu, Sayuti memilih tidak terlibat dalam kekacauan yang mungkin saja akan tiba dan lebih mempertahankan posisinya sejak awal yang melakukan oposisi kepada Jepang.
Hipotesis itu dapat diperkuat dengan keinginan para pemuda, dengan menculik Sukarno dan Hatta, agar proklamasi dibacakan tanpa keterlibatan Jepang sama sekali.
Bagi mereka, rencana Indonesia merdeka dalam skema Dokuritsu Junbi Chosakai hanyalah memperkuat tuduhan sekutu kelak bahwa Indonesia merdeka hasil bentukan Jepang. Jika demikian, kemerdekaan tidaklah sah dan secara hukum perang, sekutu berhak menduduki wilayah yang mereka menangkan.
Sialnya, penculikan itu tidak berbuah seperti yang pemuda inginkan. Di saat yang sama, tidak ada satu pun di kalangan yang oposan terhadap Jepang, yang sanggup menyamai reputasi Sukarno dan Hatta untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia. Tidak Sjahrir, juga tidak Tan Malaka.
Oleh karenanya, kelompok pemuda haruslah melakukan negoisasi dengan Sukarno dan Hatta. Suka tidak suka, begitulah sejarah ditulis, mereka pun bersama-sama menjumpai petinggi Jepang.
Di rumah Laksamana Maeda teks proklamasi ditulis ulang. Proklamasi yang akan dibacakan dalam hari-hari penting sejak kejatuhan dua bom atom di Jepang tidak lagi menggunakan teks yang diproduksi di lembaga Dokuritsu Junbi Chosakai.
Teks baru proklamasi yang kita kenal sekarang merupakan kompromi paling maksimal dari dua kubu ini, Sukarno-Hatta dan pemuda. Karena kompromi itu juga, maka Sayuti Melik, seperti status Facebook Hakam di atas, menolak dituliskan namanya.
Indonesia pun diproklamasikan. Hanya ada dua nama, atas nama bangsa Indonesia: Sukarno dan Hatta. Dua tokoh ini seperti menunaikan sejarah yang mereka tulis sejak tahun dua puluhan, di saat ide Indonesia merdeka dikemukakan.
Seperti takdir yang tidak bisa mereka tolak, keduanya lah yang namanya dicatat dalam dokumen paling penting negeri ini: teks proklamasi.
Seperti kita tahu bersama, tiga bulan setelahnya, tokoh yang paling keras menentang Jepang, Sjahrir, bersedia bersama Sukarno dan Hatta menjalankan roda pemerintahan dari negara yang masih muda. Keterlibatan Sjahrir, yang digandrungi oleh pemuda, menandakan bahwa Indonesia merdeka bukanlah bentukan Jepang, melainkan kehendak sejarah itu itu sendiri.
Discussion about this post