Tentunya demi merawat perdamaian yang telah berlangsung 20 tahun, revisi UUPA tak lain dan tak bukan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Aceh.
BANDA ACEH – Di balik senyumnya, Munawar Liza Zainal menyimpan segudang ingatan tentang ruang perundingan di Helsinki, Finlandia, dua puluh tahun silam. Saat itu, di sebuah meja panjang, delegasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhadapan langsung dengan perwakilan Pemerintah Republik Indonesia.
Hari itu, 15 Agustus 2005, menjadi sejarah. Pena menyentuh kertas, tanda tangan ditulis di atas kertas, dan dunia menyaksikan lahirnya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, kesepakatan yang mengakhiri lebih dari tiga dekade konflik bersenjata di Aceh.
Dua puluh tahun kemudian, Munawar duduk santai di sudut sebuah ruangan di UIN Ar-Raniry, di Banda Aceh, namun nada bicaranya penuh keprihatinan.
“Kita harus bersyukur karena damai sudah sampai 20 tahun. Tapi terus terang saja, menurut amatan saya, damai itu sebenarnya jauh dari harapan kita,” ucapnya, menatap para audiens di ruangan itu.
Baginya, MoU Helsinki bukan hanya dokumen penghentian perang, melainkan sebuah fase yang seharusnya membawa perubahan mendasar bagi Aceh. Namun, seiring jarak waktu dari 2005, ia melihat Aceh justru makin melenceng dari kompas yang telah disepakati.
Munawar menyebut, sejumlah poin krusial belum terealisasi. Diantaranya pengadilan HAM yang dijanjikan belum pernah terbentuk.
“Kewenangan Aceh juga belum dilaksanakan sepenuhnya. Dan yang paling menyedihkan, bantuan untuk korban konflik masih jauh dari sempurna,” ungkapnya.
Sejenak ia berhenti berbicara, menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan perumpamaan sederhana. “Kalau kita tersesat di hutan, kita harus kembali ke titik awal kita salah arah. MoU Helsinki adalah titik itu, pedoman kita untuk membangun Aceh yang berbeda dengan sebelum 2005.”
Refleksi Munawar mengajak semua pihak, baik masyarakat Aceh maupun pemerintah pusat, untuk menelaah kembali isi MoU. Baginya, damai bukan hanya soal senjata yang bungkam, tetapi juga keadilan yang ditegakkan, hak korban yang dipulihkan, dan martabat rakyat yang dihormati.
Dua puluh tahun setelah lembar kesepakatan itu ditandatangani, Aceh memang telah berubah, jalan-jalan lebih ramai, pasar hidup kembali, dan anak-anak bisa bermain tanpa suara tembakan.
Namun, di balik ketenangan itu, tersimpan pekerjaan besar yang belum selesai, pekerjaan yang hanya bisa dituntaskan jika semua kembali melihat ke peta jalan yang dulu disepakati di Helsinki.
Dalam sesi diskusi menyambut 20 tahun damai Aceh yang dilaksanakan di Kampus UIN Ar-Raniry ini, Rabu, (12/8/2025), Munawar Liza Zainal juga mengingatkan kembali peserta tentang terminologi “self-government”.
Istilah ini sangat populer saat awal perdamaian dulu. Pada perjanjian MoU Helsinki, yang disepakati antara pihak RI dan GAM adalah pemberian wewenang pemerintahan sendiri atau self-government kepada Aceh dalam bingkai negara Republik Indonesia.
Namun hari ini, istilah tersebut kian hilang dalam pembicaraan dan pembahasan kita. “Seolah karena menerima Dana Otsus, status Aceh adalah daerah otonomi khusus. Padahal, istilah itu hanya untuk menyebutkan peruntukan alokasi dana khusus bagi Aceh,” ungkap Munawar Liza yang kala itu menjadi juru runding dari pihak GAM.
Sementara UU Pemerintah Aceh, jelasnya, tidak menyebut Aceh sebagai daerah yang diberlakukan otonomi khusus.
Momen diskusi ini menjadi pengingat kembali tentang sejarah damai 20 tahun yang lalu.
Prof. Mawardi Ismail yang pernah terlibat dalam penyusunan draft UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, menjelaskan mengenai hal-hal yang perlu diperjuangkan dalam revisi UUPA, untuk penguatan kembali wewenang Pemerintah Aceh dalam upaya mengimplementasikan MoU Helsinki.
“Tidak akan terjadi konflik di suatu daerah apabila adanya kesejahteraan dan keadilan,” terang Prof. mawardi.
Tentunya demi merawat perdamaian yang telah berlangsung 20 tahun, revisi UUPA tak lain dan tak bukan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Aceh yang dengannya damai akan senantiasa terawat, tuturnya.
Discussion about this post