BPK, BPKP atau Inspektorat diminta untuk mengaudit ulang bantuan benih ikan dan pakan pada DKP Aceh.
BANDA ACEH – Ketum HIMPALA meminta lembaga APIP, baik itu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat Provinsi Aceh, untuk mengaudit ulang dugaan tindak pidana korupsi di DKP Aceh pada kegiatan pengadaan benih ikan dari tahun 2019 sampai tahun 20212.
Menurut Syahril, parameter yang digunakan oleh lembaga APIP masih sangat tidak mencerminkan ketetapan, ketepatan dan ketegasan menyangkut kelayakan penerima bantuan hibah. Hal itu disampaikan Syahril melalui rilis di Banda Aceh, Kamis, (28/8/2025).
Lembaga APIP dinilai lebih mementingkan realisasi angka daripada output (pencapaian) target kegiatan yang menjadi harapan menciptakan outcome (income) pada penerima bantuan hibah tersebut.
“Kami minta BPK, BPKP atau Inspektorat untuk mengaudit ulang bantuan benih ikan dan pakan pada DKP Aceh. Parameter penilaian harus ditambah, tidak boleh hanya berkutat pada angka realisasi yang hanya menggunakan Berita Acara Serah Terima (BAST) dari rekanan,” ungkapnya.
Fakta di lapangan menurutnya cukup dilematis, tidak ada satu lahan tambak pun yang dianggap memenuhi syarat untuk menampung jumlah benih ikan yang diberikan, apalagi dengan metode budidaya tradisional.
Selain itu, bantuan itu bukan alat atau benda mati yang tidak perlu penangangan khusus atau bisa dilakukan overhaul atau minimal maintenance.
Bantuan tersebut adalah benda hidup yang perlu penanganan yang cepat, tepat dan akurat. Sehingga jika bantuan itu adalah benda hidup harus dipastikan dulu daya dukungnya mulai dari infrastruktur pendukung seperti akses jalan tani, sarana prasarana (sarpras) budidaya, kelayakan lahan (layout), sumber air, sanitasi, salinitas, sumber daya manusia (soft skill) dan lain sebagainya.
“Bantuan hibah atau sosial dalam bentuk makhluk hidup itu, apalagi untuk pemberdayaan harusnya BPK, BPKP atau Inspektorat menekankan pemeriksaannya pada unsur kelayakan. Contohnya akses jalan tani dilokasi ada tidak? Sarpras, kesesuaian lahan, sanitasi, soft skill dan faktor lainnya perlu ditekankan untuk dipenuhi,” tandasnya.
Sebab itulah menurutnya kenapa bisa kasus dugaan korupsi di DKP Aceh itu berulang dari tahun 2019 sampai ke 2020. Karena dalam pemeriksaan BPK, BPKP atau Inspektorat hanya berkutat pada angka dan aturan kriteria calon penerima, tidak sampai pada penilaian faktor pendukung pemberdayaan tersebut.
Padahal bantuan itu untuk pemberdayaan (budidaya) bukan untuk langsung dijual. Harusnya 70 persen dari perencanaan pihak pemerintah itu memastikan kelayakan penerima dititikberatkan pada kesesuaian lahan dan kemampuan SDM calon penerima bantuan.
“Makanya pemerintah dalam tanda kutip “APIP” membiarkan berkali-kali pejabat itu lose-control dalam melaksanakan kegiatan bantuan untuk masyarakat. Indikatornya adalah hanya pemeriksaan pada angka dan kriteria bukan kelayakan dari sisi faktor pendukung lahan. Padahal lahan itu berperan 70 persen dari keberhasilan budidaya,” ketusnya.
Karena menurutnya keberhasilan suatu program pemberdayaan ekonomi masyarakat tergantung dari keseriusan pejabat terkait (PPTK/PPK) dalam melaksanakan kegiatan, kesiapan lahan, mumpuni (punya pengalaman) atau telah eksisting di jenis komoditi yang akan diterimanya.
“Intinya jika ingin membantu masyarakat, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, pikirkan membenahi infrastrukturnya dulu, sarprasnya dulu, baru bahan bakunya di finishing. Jangan bahan bakunya dulu diserahkan, setelah itu gak tau mau dipelihara dimana? Akhirnya dibawa ke pasar. Masih layakkah kita sebut pemberdayaan masyarakat kalau itu terjadi?,” tutupnya.[]
Discussion about this post