Menurut survei, kaum muda Indonesia lebih pesimis tentang masa depan ekonomi mereka dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di negara kawasan. Sekitar 16 persen dari lebih dari 44 juta penduduk Indonesia berusia 15-24 tahun tidak memiliki pekerjaan. Indonesia masih berjuang ciptakan lapangan kerja.
MEDAN – Setelah lulus dari universitas dengan gelar sarjana hukum dua tahun lalu, Andreas Hutapea menyangka ia tidak akan kesulitan mencari pekerjaan tetap.
Kenyataannya, Andreas mendapati dirinya menghadapi penolakan demi penolakan.
Andreas pertama-tama gagal dalam ujian pegawai negeri sipil Indonesia yang terkenal sulit, yang mana hanya sekitar 3 persen pelamar memperoleh pekerjaan, dan ia juga tidak berhasil dalam upayanya untuk menjadi jaksa magang.
Sebelum masuk sekolah hukum, Andreas bermimpi untuk masuk tentara, tetapi dia tidak dapat memenuhi persyaratan tinggi badan.
Akhirnya, karena uangnya hampir habis, Andreas meninggalkan akomodasi mahasiswa yang disewanya untuk kembali tinggal bersama orang tuanya, yang menjalankan toko sederhana yang menjual minyak, telur, beras, dan bahan makanan lainnya.
Andreas telah bekerja di toko orang tuanya, di sebuah kota di pinggiran Medan, ibu kota Sumatera Utara, sejak saat itu.
“Saya membuka toko untuk mereka di pagi hari, duduk di sana sepanjang hari melayani pelanggan, lalu membantu menutup toko di malam hari,” ujar Andreas, yang lulus SMA pada tahun 2020, kepada Al Jazeera.
“Orang tua saya tidak membayar saya upah untuk pekerjaan saya, tapi saya tidak bisa menyalahkan mereka. Mereka memberi saya makanan dan tempat tinggal gratis,” lanjutnya.
Andreas tidak sendirian dalam perjuangannya mencari pekerjaan yang stabil dan bergaji tinggi.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pengangguran muda tertinggi di Asia.
Menurut statistik pemerintah, sekitar 16 persen dari lebih dari 44 juta penduduk Indonesia berusia 15-24 tahun tidak memiliki pekerjaan – lebih dari dua kali lipat tingkat pengangguran kaum muda di negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.
Dalam survei yang diterbitkan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura pada bulan Januari, anak muda Indonesia mengungkapkan sikap yang jauh lebih pesimis terhadap ekonomi dan pemerintah dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam.
Hanya sekitar 58 persen pemuda Indonesia yang mengatakan mereka optimis terhadap rencana ekonomi pemerintah, menurut survei tersebut, dibandingkan dengan rata-rata 75 persen di enam negara.
Indonesia memiliki 44 juta pemuda. Indonesia sedang berjuang untuk memberi mereka pekerjaan. Menurut survei, kaum muda Indonesia lebih pesimis tentang masa depan ekonomi mereka dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kawasan.

Kegelisahan Pemuda Indonesia
Pada bulan Februari, sebagian dari kegelisahan ini meluap ke jalan ketika para mahasiswa membentuk gerakan Indonesia Gelap untuk memprotes rencana pemerintah memangkas anggaran untuk layanan publik.
Para ekonom menunjuk berbagai faktor penyebab tingginya angka pengangguran muda di Indonesia, mulai dari undang-undang ketenagakerjaan yang kaku sehingga sulit merekrut tenaga kerja, hingga upah rendah yang tidak mampu menarik tenaga kerja berkeahlian dan terampil.
“Banyak orang memilih untuk berada di luar pasar tenaga kerja daripada harus bekerja dengan gaji di bawah ekspektasi,” ujar Adinova Fauri, ekonom di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia, di Jakarta, kepada Al Jazeera.
“Pekerjaan yang baik juga tidak tersedia secara luas, sehingga orang beralih ke sektor informal, yang memiliki produktivitas dan perlindungan yang lebih rendah.”
Indonesia, yang merupakan rumah bagi lebih dari 280 juta orang, telah lama berjuang dengan pengangguran kronis di kalangan pemuda.
Meskipun masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini, pemerintah selama bertahun-tahun telah membuat beberapa kemajuan dalam memberi lebih banyak pekerjaan kepada kaum muda – bahkan sejak satu dekade lalu, seperempat dari penduduk muda Indonesia diperkirakan tidak memiliki pekerjaan.
Presiden Indonesia Prabowo Subianto telah mengakui perlunya menciptakan lebih banyak lapangan kerja, membentuk gugus tugas untuk mengatasi pengangguran dan bernegosiasi tentang perdagangan dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Pada hari Rabu, Prabowo memuji dimulainya “era baru yang saling menguntungkan” bagi Indonesia dan AS, setelah Trump mengumumkan kesepakatan untuk menurunkan tarif barang-barang Indonesia dari 32 menjadi 19 persen.

Meskipun warga lanjut usia memiliki risiko lebih rendah untuk menjadi pengangguran – tingkat pengangguran di Indonesia secara keseluruhan sekitar 5 persen – sebagian besar pekerjaan yang tersedia bukan pekerjaan tetap dan kompensasi upahnya rendah.
Sekitar 56 persen angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor informal, menurut angka tahun 2024 dari Biro Pusat Statistik, yang menyebabkan jutaan orang berada dalam kondisi rentan dan tanpa perlindungan jaminan sosial.
“Penurunan angka pengangguran terbuka belum tentu mencerminkan kinerja pasar tenaga kerja yang baik,” ujar Deniey Adi Purwanto, dosen Departemen Ilmu Ekonomi Universitas IPB di Bogor, kepada Al Jazeera.
“Kualitas pekerjaan dan ketenagakerjaan informal masih menjadi masalah utama.”
Namun bagi kaum muda, ketidaksesuaian antara jumlah pencari kerja dan pekerjaan sangatlah parah.
“Pertama, lulusan pendidikan menengah dan tinggi belum tentu sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, dan tingkat informalnya juga masih tinggi,” ujar Purwanto.
“Indonesia memiliki jumlah generasi muda yang sangat besar, sehingga tekanan terhadap pasar tenaga kerja jauh lebih tinggi.
“Kami juga memiliki peningkatan pesat pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi,” tambahnya.
“Banyak lulusan perguruan tinggi muda menghindari pekerjaan informal atau bergaji rendah, sehingga mereka memilih untuk menunggu pekerjaan yang sesuai, yang menyebabkan pengangguran.”
Purwanto mengatakan juga terdapat kekurangan program pelatihan kejuruan dan pemagangan yang efektif di Indonesia, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Vietnam atau Malaysia.
“Di Malaysia, misalnya, terdapat lebih banyak skema hubungan antara industri dan universitas serta program peningkatan kemampuan kerja lulusan,” ujarnya.
Kesenjangan regional yang mencolok di Indonesia, yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau, memperburuk masalah ini, karena kaum muda di daerah terpencil dan pedesaan merasa sangat sulit untuk mengakses pekerjaan yang baik, khususnya berlaku di wilayah luar Pulau Jawa.
Andreas mengalami hal ini secara langsung ketika ia kembali tinggal bersama orang tuanya, yang tinggal sekitar dua jam dari Medan.
Kendati memiliki gelar sarjana hukum, Andreas yang putus asa karena tidak ingin lagi bekerja di toko milik orang tuanya, berhadapan dengan peluang kerja yang sedikit.
Andreas yang juga memiliki pekerjaan sampingan, menyiapkan sound system untuk pernikahan dan pesta, baru-baru ini menghadiri wawancara untuk pekerjaan mengisi ulang uang kertas di ATM.
Tetapi meskipun dia merasa wawancaranya berjalan baik, dia tidak pernah mendapat kabar lagi dari perekrut.
Bagi Andreas, yang menyelesaikan beberapa modul sekolah hukumnya selama liburan musim panas sehingga ia dapat lulus setahun lebih awal, sulit untuk tidak merasa bahwa usahanya tidak sia-sia.
“Saya tidak ingin menjadi beban bagi orang tua saya, yang membayar semua biaya kuliah saya, tapi lihatlah keadaan saya sekarang,” pungkasnya.
Sumber: Al-Jazeera.
Discussion about this post