Refleksi 18 tahun usia Partai Aceh, setelah mengalami berbagai tantangan, Partai Aceh tetap eksis. Sejak didirikan hingga kini, partai ini telah melewati berbagai turbulensi politik.
Salah satu momentum eskalasi politik paling panas di Aceh pasca damai adalah ketika terbelahnya Partai Aceh. Kala itu Gubernur Aceh Irwandi Yusuf merasa di atas angin. Ia mulai mengabaikan posisinya sebagaimana kader partai. Ia mulai menggalang kekuatan diantara para mantan kombatan GAM dan para aktivis, hingga akhirnya membentuk Partai Nasional Aceh (PNA).
Djoehermansyah Djohan yang kala itu menjabat sebagai Dirjen Otonomi Khusus Kementerian Dalam Negeri, tak ingat lagi jumlah pertemuan untuk mendamaikan dua kubu politik yang berseteru di Aceh.
“Bolak-balik saya datang ke Aceh atau mereka yang datang ke Jakarta,” kata Dirjen OTDA tersebut seperti yang diberitakan Tempo kala itu.
Politik Aceh terbelah. Irwandi Yusuf kala itu ingin maju untuk kedua kalinya sebagai gubernur. Sementara pihak Partai Aceh menginginkan agar dihapuskannya calon independen. Irwandi tidak direstui dan diusung oleh Partai Aceh. Satu-satunya jalan baginya adalah naik melalui jalur independen.
Bagi pihak Partai Aceh, jalur independen dulunya pada pilkada pertama setelah damai adalah untuk menyalurkan aspirasi mantan kombatan GAM sebelum dibentuknya Partai Aceh. Setelah berdirinya Partai Aceh, harusnya jalur independen tidak ada lagi, setidaknya demikian tanggapan Partai Aceh.
Djoehermansyah selaku pihak Kemendagri yang sibuk menangani masalah Aceh mengaku berusaha membujuk Hasbi Abdullah, Ketua DPRA kala itu, Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf dan politisi kawakan PA Almarhum Abdullah Saleh.
Djoehermansyah membujuk Mereka agar mau mengikuti langkah Kemendagri. Kementerian menggugat keputusan KIP Aceh yang menolak pendaftaran kandidat susulan. Mereka saat itu mengadakan pertemuan di Restoran Maryani, Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Sementara Gubernur Irwandi Yusuf di hari yang sama menemui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Menteri menjelaskan skenario itu dan meminta Irwandi untuk sabar dan menunggu.
Juru Bicara Irwandi Yusuf saat itu Teungku Linggadinsyah menjelaskan bahwa awal perpecahan saat itu karena beberapa faksi di internal PA meminta diadakan konvensi untuk memilih calon gubernur. Suara ini tak didengar. Para petinggi partai malah menunjuk Zaini Abdullah, mantan Menteri Luar Negeri GAM sebagai calon gubernur dan Muzakir Manaf sebagai calon wakil gubernur.
Irwandi akhirnya menyatakan diri maju melalui jalur independen. Ia disetujui oleh 17 pemimpin partai tingkat kabupaten dan kota.
“Partai Aceh berusaha menjegal saya. Mereka sebenarnya tak keberatan terhadap calon independen, kalau bukan saya yang mencalonkan,” terang Irwandi kepada Majalah Tempo.

Dari Turbulensi hingga Keretakan Partai Aceh
Akhirnya Pilkada 2012 tetap dilangsungkan dan Irwandi Yusuf tetap berkesempatan menjadi calon gubernur dari jalur independen. Karena posisinya sebagai gubernur definitif, Irwandi banyak mendapatkan dukungan dari sebagian kader PA, termasuk dari sebagian mantan kombatan.
Irwandi dengan berani menantang “rumah lamanya”, partai dimana ia berasal. Ia mendirikan PNA sebagai wadah perjuangan politik barunya. Di akar rumput, rivalitas PA-PNA ini begitu panas dan meningkatkan eskalasi konflik yang berpotensi terjadinya aksi-aksi kekerasan jelang kontestasi elektoral.
Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf akhirnya memenangkan Pilkada 2012 dan Irwandi Yusuf gagal menduduki kursi gubernur untuk periode kedua.
Namun tak lama, keretakan hubungan Gubernur Zaini yang merupakan mantan petinggi GAM luar negeri ini, dengan Muzakir Manaf yang merupakan alumni Libya dan representasi mantan kombatan GAM yang bertempur di lapangan, tak dapat dihindari.
Keretakan hubungan gubernur-wakil gubernur ini terus memanas. Zaini dianggap tidak mewakili aspirasi penuh mantan kombatan. Puncaknya pada Pilkada tahun 2017, PA mengusung Muzakir Manaf-TA. Khalid sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Sementara Zaini Abdullah maju sebagai calon gubernur dari jalur independen.
Dengan keretakan hubungan Zaini-Muzakir jelang Pilkada tahun 2017, hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh Irwandi Yusuf. Irwandi mencalonkan diri bersama dengan Nova Iriansyah, Ketum Demokrat Aceh kala itu.
Keretakan di tubuh PA makin parah, ditambah dengan Zakariya Saman atau Apa Karya, mantan Menteri Pertahanan GAM ikut mencalonkan diri, membuat Irwandi Yusuf mengambil kesempatan untuk berupaya memenangkan Pilkada 2017. Beredar rumor bahwa Irwandi lebih kuat karena didukung secara rahasia oleh Jakarta, atau setidaknya orang kuat di pusat.
Keretakan berat di tubuh PA ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Irwandi. Irwandi-Nova berhasil memenangkan Pilkada 2017. Banyak yang beranggapan, termasuk pengamat politik, bahwa partai eks kombatan ini yang mengalami konflik internal, akan melemah dan kehilangan dominasinya. Kemenangan Irwandi sedikit membenarkan anggapan tersebut.
Partai Aceh Kembali Menguat
Ketika Irwandi memimpin Aceh, secara tiba-tiba ia terjerat operasi tangkap tangan KPK. Irwandi akhirnya divonis dalam sebuah kasus korupsi. Nova Iriansyah sebagai wakil mengambil alih pucuk pimpinan pemerintahan.
Dalam memerintah, Nova menghadapi sejumlah tekanan yang cukup kuat. Nova tak mampu mengimbangi tekanan kuat dari Partai Aceh, khususnya yang berada di kursi legislatif. Bahkan ketika menjabat Plt. Gubernur, atas kondisi politik yang tak dapat ditebak, Nova kehilangan posisinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat Aceh.
Era Nova menjabat Plt. Gubernur, Partai Aceh di pemilu 2019 mampu menguatkan kembali cengkraman kuasanya di parlemen. PA masih keluar sebagai pemenang pemilu di Aceh. Dominasi PA yang diprediksi akan melemah, masih menjadi kekuatan politik dominan yang diperhitungkan di Aceh.
Menjelang Pemilu dan Pilkada yang digelar serentak tahun 2024, Partai Aceh sempat menyuarakan kekhususan Aceh agar Pilkada segera dilaksanakan di tahun 2022. Namun aspirasi politik PA ini tak digubris pusat.
Di era pemerintahan Jokowi, posisi Partai Aceh seolah tidak menjadi “anak emas” sebagaimana di era kepresidenan SBY. Terlebih posisi Partai Aceh yang mendukung Prabowo sebagai capres di 2019, karena kedekatan hubungan Muzakir dan Prabowo, membuat Aceh kurang mendapat perhatian Jokowi.
Namun anggapan bahwa PA akan melemah dan akhirnya kehilangan dominasinya, sebuah tesis yang dibicarakan oleh sejumlah pengamat menemukan ujian penentuannya di tahun 2024.
Di tahun 2024, arah politik Jakarta berubah. Tadinya Ganjar yang ditunjuk PDI-P sebagai capres tiba-tiba tidak didukung oleh Jokowi. Sementara Jokowi mendukung Prabowo yang merupakan mantan rivalnya di 2019. Keadaan ini nantinya akan turut mendukung nasib baik PA ke depan. Dengan hubungan baik Prabowo dan Mualem, kemungkinan besar eksistensi Partai Aceh di masa depan akan tetap bersinar.
Di pemilu 2024, PA berhasil menambah kursi parlemen di DPRA. Prabowo memenangkan pemilihan presiden. Meski kali ini Mualem gagal memenangkan Prabowo di Aceh–sebagaimana di 2019–namun Prabowo tetap melihat Mualem dan Partai Aceh sebagai kolega politik dan sahabat yang dipertimbangkan.
Mualem menjadi Gubernur Aceh dan sahabatnya Prabowo menjadi presiden. Tak lama setelah keduanya menduduki jabatannya, terjadi kisruh empat pulau milik Aceh yang diklaim milik Sumatera Utara oleh Kemendagri. Prabowo selaku presiden mengambil alih kasus ini. Presiden Prabowo akhirnya menyerahkan empat pulau tersebut ke dalam wilayah administratif Aceh kembali. Hubungan Prabowo-Mualem mendapatkan ekspos pemberitaan nasional.
Sejak itu, anggapan tentang Partai Aceh berubah. Upaya untuk melemahkan kekhususan Aceh dengan membiarkan Partai Aceh redup, juga kabar desas-desus politik masa lalu bahwa nantinya pusat akan menghapus partai lokal di Aceh, menunjukkan kenyataan yang berbeda. Partai Aceh justru berada di masa keemasannya. Ketum PA Mualem menjabat gubernur dan punya hubungan baik dengan presiden.
Setelah mengalami berbagai tantangan dan rintangan, Partai Aceh tetap eksis hingga sekarang. Sejak didirikan hingga memasuki usia yang ke 18 tahun sejak didirikan pada tanggal 7 Juli 2007, Partai Aceh sudah mengalami berbagai turbulensi.
Jika pemerintahan Gubernur Muzakir Manaf mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat Aceh, baik dengan dukungan daerah maupun program pusat, maka nama Partai Aceh akan makin bersinar. Namun internal Partai Aceh perlu berupaya mengevaluasi diri agar partai lokal ini dapat bertahan. Tanpa mewujudkan kesejahteraan, maka sulit bagi partai manapun mendapat dukungan rakyat.
Masa pemerintahan Mualem adalah kemenangan sekaligus ujian untuk membuktikan keseriusan Partai Aceh mewujudkan Aceh yang maju dan sejahtera. Sebuah impian dan harapan bagi masyarakat Aceh sejak lampau, khususnya para mantan kombatan yang dulunya berjuang dengan senjata.
Sebagaimana partai lainnya, Partai Aceh perlu memperkuat dan memperhatikan basisnya. Partai Aceh juga perlu mempersiapkan regenerasi dan kaderisasi hingga ke depan nantinya mampu melahirkan politisi dan pengambil kebijakan yang handal dan mumpuni.
Jika berbagai halangan dan rintangan telah dilalui, tentu ke depan Partai Aceh akan mampu mewujudkan impian panjang yang telah dinanti sejak lama.
Saatnya Partai Aceh membuktikan bahwa partai ini memang wadah perjuangan bagi rakyat Aceh.
Oleh: Jabal Ali Husin Sab
*Pengamat politik dan kebijakan publik.
Discussion about this post