Perlahan demi perlahan, timnas Indonesia menjadi kekuatan yang diperhitungkan, tidak hanya di Asia Tenggara, bahkan juga di Asia.
Oleh M. Alkaf*
Dua kekalahan dari Arab Saudi dan Irak di ronde empat kualifikasi Piala Dunia 2026 telah memupuskan harapan publik sepak bola Indonesia untuk melihat tim nasionalnya melangkah ke Piala Dunia. Kegagalan kali berbeda dengan deretan kegagalan sebelumnya, sebab, kali ini, kita menatap tim nasional dengan penuh optimisme.
Selama lima tahun, kita melihat tim nasional dengan kebanggaan. Sepertinya, dalam hubungan dengan sepak bola kita memiliki tim nasional dengan tatapan yang membanggakan. Ditambah, hubungan fan dan tim nasional sangat dekat. Ada hubungan timbal-balik antara keduanya. Bagi publik sepak bola, timnas menjelma menjadi rumah keduanya, di saat kehidupan keseharian bertambah pelik karena himpitan ekonomi dan ketakutan akan masa depan. Lalu, kepada timnas, mereka menghadapkan wajah agar optimisme hidup kembali diraih.
Perlahan demi perlahan, timnas menjadi kekuatan yang diperhitungkan, tidak hanya di Asia Tenggara, bahkan juga di Asia. Prestasi mulai menapak ke atas. Lolos ke Piala Asia bukan lagi mimpi di siang bolong. Timnas senior dengan anggun berada di dua gelaran Piala Asia, 2023 dan 2027. Prestasi itu diikuti oleh timnas kelompok umur, baik U-23, U-20, dan U-17. Bahkan, untuk timnas U-23, medali emas Sea Games yang telah lama dinanti, kembali lagi dua tahun lalu di Kamboja. Prestasi yang tidak kalah membanggakan juga ada pada Timnas U-17 yang akan bertanding di turnamen Piala Dunia bulan depan..
Seluruh pencapaian ini merupakan hasil kerja kolektif dari federasi, tim kepelatihan, para pemain, supporter, dan iklim positif di media sosial. Namun, dari seluruh fenomena di atas, satu nama selalu muncul dan bersemayam di hati publik sepak bola Indonesia: Shin Tae-yong.
Legacy Shin Tae-yong
Saat pertama kali tiba di tanah air untuk menjadi pelatih kepala timnas senior, Shing Tae-yong (STY) dihadapkan pada persoalan utama sepak bola Indonesia, eskpektasi dan kekacauan. Datang dari negara mapan sepak bola, Korea Selatan, STY menemukan kenyataan tentang paradoks sepak bola Indonesia. Di satu sisi ada kegilaaan publik terhadap olaharaga itu, di saat yang sama, pengelolaan sepak bola dari bawah sampai atas berantakan. Tetapi, bagi STY, hal demikian adalah tantangan baginya. Dia menolak menangani klub di Liga Cina, lalu mengambil tantangan untuk menangangi Timnas Indonesia, yang saat itu, sedang terpuruk total gara-gara federasi salah memilih pelatih.
Di tangan Simon McMenemy, pelatih yang menjadi suksesor Luis Milla, rangking FIFA Indonesia terjun bebas, kualifikasi Piala Dunia 2022 menjadi badut, dan pola permainan ciamik warisan Luis Milla seperti hilang tak berbekas. STY datang dengan kondisi demikian. Bahkan, di fase awal kedatangannnya, dia kerap dibanding-bandingkan dengan Luis Milla yang telah memikat publik sepak Indonesia dengan permainan yang sedap dipandang mata.
Keraguan kepada STY, sekaligus romantika kepada Luis Milla, akhirnya meredup. STY seperti mengetahui apa yang salah dari sepak bola Indonesia. Tentu, dia tidak bisa memperbaiki secara sistemik karena hal itu di luar wewenangnya. STY melakukan sesuatu yang membuat sepak bola Indonesia, khususnya timnas, berubah. Dia memperbaiki mental, fisik, dan skill. STY juga menjadikan dirinya sebagai bapak bagi segenap pemain timnas yang dapat dibina dengan baik. Dari cara kerjanya itu, timnas sepak bola Indonesia menjelma menjadi tim yang dibicarakan sekaligus diperhitungkan.
Perlahan, tapi pasti, timnas Indonesia menempatkan diri dalam peta elite sepak bola Asia dengan melaju sampai ke rounde 4 kualifikasi Piala Dunia 2026. Namun, suasana kondusif sedemikian rupa dirubuhkan dengan pemecatan STY di tengah jalan oleh PSSI. Pemecatan yang menimbulkan kontroversi berkepenjangan. Publik sepak bola tidak menerima keputusan tersebut. Perlawanan terjadi di mana-mana dalam bentuk yang beragam. Penunjukan Patrick Kluivert pun mendapat penolakan. Puncaknya adalah pada kegagalan lolos ke piala dunai karena kalah dari arab Saudi dan Irak. Padahal, dengan komposisi pemain dan penataan permainan, timnas diyakini dapat berbicara banyak di babak kualifikasi kali ini.
Evaluasi Menyeluruh
Patrick Kluivert memang telah dipecat. Bahkan bukan hanya dia seorang, melainkan seluruh rombongan yang datang dari Belanda. Proyek menata sepak bola Indonesia dengan rasa Belanda sepertinya tidak berjalan baik. Pemecatan ini disambut baik. Federasi, dalam hal ini Erick Thohir, memahami suasana kebatinan publik sepak bola Indonesia. Tidak ada untungnya melawan arus besar suara pendukung timnas Indonesia ini. Namun, pemecatan Patrick Kluivert bukanlah satu-satunya jalan kembali dari keterpurukan karena gagal lolos ke piala dunia. Erick Thohir harus mendapatkan kembali kepercayaan publik terhadap proyek jangka panjang sepak bola Indonesia, terutama timnas.
Mendapatkan kembali kepercayaan publik adalah penanda bahwa sepak bola bukanlah milik segelintir elite, yang bisa sesuka hatinya melakukan keputusan yang di luar nalar – seperti memecat STY tanpa alasan yang jelas. Pelibatan publik menunjukkan bahwa sepak bola milik bersama.
Jika langkah demikian telah diambil, maka sikap berikutnya adalah melakukan pembenahan secata menyeluruh dan subtansil, dengan menyentuh akar masalah sepak bola Indonesia, seperti pembinaan, penataan liga, pembersihan dari mafia, dan perencanaan jangka panjang yang terukur. Langkah-langkah itulah nantinya akan membuat sepak bola menjadi Indonesia kokoh dan bermartabat di mata dunia.
*Esais, berdomisili di Langsa.












Discussion about this post