Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
No Result
View All Result
Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
Home Sejarah

Sejarah Investasi di Aceh Paska Pemberontakan Darul Islam dan Ditutupnya Pelabuhan Bebas Sabang

TINJAUAN ID by TINJAUAN ID
July 30, 2025
Reading Time: 4 mins read
0
Sejarah Investasi di Aceh Paska Pemberontakan Darul Islam dan Ditutupnya Pelabuhan Bebas Sabang

Pelabuhan Bebas Sabang.

Paska pemberontakan DI/TII mereda, dan dengan diterimanya Missi Hardi (perdamaian) di Aceh, orang Aceh mulai berfikir bagaimana membenahi kembali kondisi ekonomi Aceh yang berantakan. Berikut kisah sejarah ekonomi Aceh di Era Orde Lama dan Orde Baru.

Oleh: Zulfadli Kawom, Budayawan.

Tak mudah membangun Aceh, sejak perang Dengan Belanda dari tahun 1873, sampai tahun 1942 KNIL baru keluar dari Aceh. Banyak infrastruktur kepentingan Belanda dirusak pejuang Aceh.

Aceh diblokade oleh Belanda, pelabuhan hanya untuk kepentingan bisnis Belanda. Banyak pedagang Aceh sudah keluar Aceh, terutama ke Penang, semenanjung Malaysia, karena tak mampu membayar pajak ke Belanda.

Setelah KNIL keluar, masuklah Jepang, Jepang juga hanya membangun infrastruktur militernya seperi benteng-benteng (keurouk-rouk) Bahasa Acah, sepanjang pantai utara. Beberapa tahun setelah Jepang keluar, ekonomi Aceh tidak juga menggeliat, pengusaha Aceh diluar malah enggan pulang.

Setelah pengakuan kembali status Aceh sebagai provinsi masa Gubernur Ali Hasyimi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh masa itu hanya Rp 25 juta. Bayangkan?

Gerakan Pulang Kampung Usahawan Aceh Masa Muzakir Walad

Paska pemberontakan DI/TII mereda, dan dengan diterimanya Missi Hardi di Aceh, orang Aceh mulai berfikir bagaimana membenahi kembali rumahtangganya, kondisi ekonomi Aceh yang berantakan.

Untuk pemikat hati para pedagang Aceh yang kebanyakan sudah pada hijrah ke Medan dan Jakarta, barter dengan Penang dan Singapura mulai diizinkan terang-terangan. Usaha ini boleh dikatakan berhasil, sebab banyak yang mulai membuka kantor cabang di Banda Aceh.

Malah ada yang memindahkan kantor pusat dari Medan ke Banda Aceh, bukan semata mata agar kerinduan pada kampung halaman terobati, tapi lebih-lebih agar urusan perizinan macam-macam bisa lebih licin jalannya.

Dan Pemda Aceh ikut juga menikmati keuntungan dari gerakan, woe-puga gampong “pulang kampung” ini, sebab pajak mengalir lebih ke kas daerah.

Bukan itu saja. Dari persentase keuntungan barter yang harus disetor pada Pemda, berhasil dibangun apa yang sudah lama jadi impian ureung na sikula, kaum terpelajar di Aceh: sebuah Universitas, Syiah Kuala namanya.

Dan selebihnya, digunakan oleh Otorita yang ditangani oleh Muzakir Walad untuk memelihara kondisi jalan raya Kuala Simpang-Banda Aceh, sehingga bis-bis dan truk-truk lumayan lancar melintasinya dalam 3 hari (Banda Aceh-Medan)

Konfrontasi dan Nasib Pelabuhan Bebas Sabang

Namun apa daya, politik yang berkuasa di masa itu tiba-tiba menghembuskan angin beku dalam kehidupan perdagangan, dengan meletusnya peristiwa Tritura tahun 1963.

Barter trade yang dilakukan ret keu (secara legal), terang-terangan dengan Penang dan Singapura putus seketika. Sebagai pengukuh posisi daerah perbatasan, fungsi Sabang sebagai daerah pelabuhan dan perdagangan bebas kembali dipertegas, agar kapal-kapal asing  berkeinginan membuang sauh serta membongkar dan memuat barang di wilayah Aceh.

Namun tidak banyak membuahkan hasil, hingga penyelundupan yang mulai merajalela. Pelabuhan Bebas Sabang akhirnya ditutup tahun 1985 karena dianggap banyak terjadi penyelundupan. Siapa yang bermain?

Para pedagang Aceh yang sudah pulang kampung pun kembali, geutie bhan moto, angkat kaki ke Medan. Kembali ke profesinya semula sebagai eksportir hasil bumi; yang biasa dihimpun di negeri orang. Seperti misalnya Fa. Atjeh Kongsi yang belum lama ini mendirikan pabrik pengeringan jagung di Tanah Karo.

Sampai saat Soekarno turun takhta, hubungan yang telah dirintis Indatu masa Kesultanan Aceh dengan Malaysia dan Singapura rujuk seperti semula. Namun, kali ini lewat Belawan, bukan Sabang.

Hidup Segan Mati Tak Mau

Sejenak suasana yang relatif aman, mungkin diam-diam ada yang kecewa dan sedang mempersiapkan pemberontakan baru, sementara itu teknokrat-teknokrat di Jakarta mulai berikhtiar menekan inflasi, namun tidak berhasil membujuk usahawan-usahawan berdarah Aceh pulang membangun daerahnya.

Bisa saja mereka trauma. Istilah lagu Saleem IKLIM ‘Bukan Aku Tak Cinta’, tapi modal yang tidak seberapa besar dan manajemen perusahaan yang masih terbelenggu unsur-unsur suku; agama dan keluarga sungguh tidak memungkinkan investasi besar-besaran.

Dan propinsi yang lebih luas dari Jawa Barat, penduduknya masih miskin setelah perang berkepanjangan gunung-gunung dan hutan-hutan yang masih perawan, masa itu bukan pasaran, yang ideal bagi barang-barang konsumen.

Kebun-kebun karet yang tidak begitu luas sudah habis disadap oleh dua pabrik karet bongkah (crumb rubber) milik Firma Atjeh Kongsi dan Firma Murni Teguh. Ditambah dengan sumur-sumur dan kilang-kilang minyak serta beberapa pabrik kaliber teri, habislah sudah seluruh angkatan kerja terserap di Aceh.

Rupanya, dari penelitian-penelitian, pendahuluan yang dilakukan oleh Aceh Development Board dan Universitas Syiah Kuala, sempat diketahui bahwa masih banyak kandungan isi perut bumi Aceh, hutan dan perairan Aceh yang belum sempat digarap diluar 16,6 juta barrel minyak yang ditimba Pertamina dari sumur-sumur bor Aceh setiap tahun.

Lantas apa daya kalau putera-putera Aceh sendiri segan memanfaatkan karunia Tuhan itu?

Itu sebabnya kepala-kapala pemikir yang bercokol dalam Badan Perencana Pembangunan Aceh itu sampai pada kesimpulan: perlu transfusi modal dun teknologi dari luar. Kalau perlu dari luar negeri, kalau hanya dengan demikian jurang keterbelakangan propinsi no. 1 di Indonesia itu bisa dilompati.

Uluran Tangan Pemerintah Pusat

Uluran tangan Pemerintah, yang berbarengan dengan disahkannya Undang-undang PMA dan PMDN, segera dimanfaatkan oleh T.D. Pardede, pengusaha kaliber kakap dari Medan. Kali ini usahanya bukan seperti pantun orang Melayu ‘menenun benang menjadi kain’, tapi menjaring udang di perairan Lhokseumawe (Kawasan KP3 Lhokseumawe sekarang), mendinginkannya dalam pabrik cold storage lalu mengekspornya ke Jepang.

Yang menarik di mata orang Aceh bukan orang Bataknya yang berperanan dalam usaha Pardede itu, melainkan saudara se-negerinya juga.

Ternyata bahwa dalam soal mencari pengganjal perut, orang Aceh tidak terlalu peka terhadap perbedaan agama atau suku, asal kedua soal itu tidak garuk-garuk dan di congkel-congkel.

Meskipun dengan modal dan kemampuan yang terbatas, bukannya tidak ada birahi pengusaha Aceh sendiri, membuka rimba belantara di negerinya: Misalnya Bayban Company, eksportir kopi Aceh yang sedang mengurus pembentukan kongsi dengan pengusaha dari Jepang.

Tapi sementara pengusaha dua bangsa ini masih asyik mencari konsesi, bulan Juli yang lalu sudah ditandatangani kontrak kerja-sama antara Pemerintah dengan PT Aceh Minerals Indonesia, suatu perusahaan multinasional yang melibatkan 5 perusahaan pertambangan dari Jepang, Australia & Amerika.

Kongsi lima perusahaan asing ini, berniat menoreh dan membedah kulit bumi Aceh, mencari harta karun yang masih terpendam.

Berapa tinggi nilai harta terpendam itu, dan berapa besar umpan, berapa pembagian hasil pusat dan daerah yang harus disediakan masih belum jelas masa itu sampai Bangkitnya Gerakan Aceh Merdeka tahun 1976.

Wassalamu.

Sumber:

Kliping pribadi Majalah Tempo, Edisi: 33/02 , 1 Oktober 1972

Tags: ekonomi AcehPelabuhan Bebas SabangSejarah
ShareTweetSendShare

Related Posts

Pengibaran bendera merah putih pertama di Aceh dalam Tahun 1945
Sejarah

Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Aceh dalam Tahun 1945

August 3, 2025
Ketika IAIN Beralih Kiblat
Sejarah

Ketika IAIN Beralih Kiblat

August 2, 2025
Sejarah Peresmian Pabrik Gula Cot Girek. Presiden Soeharto Datang Naik Helikopter
Sejarah

Sejarah Peresmian Pabrik Gula Cot Girek, Presiden Soeharto Datang Naik Helikopter

July 26, 2025
Di Masa Teungku Daud Beureueh, Tahanan Judi Diasingkan ke Blang Pandak
Sejarah

Di Masa Teungku Daud Beureueh, Tahanan Judi Diasingkan ke Blang Pandak

July 22, 2025
Kedai Kopi Pertama di Aceh: Antara Pengaruh Ottoman dan Budaya Perantauan Tionghoa
Sejarah

Kedai Kopi Pertama di Aceh: Antara Pengaruh Ottoman dan Budaya Perantauan Tionghoa

July 19, 2025
Ali Moertopo dan Peran Militer dalam Politik Indonesia (I)
Sejarah

Ali Moertopo dan Peran Militer dalam Politik Indonesia (I)

July 17, 2025
Next Post
Polisi Tangkap Pelaku Curanmor di Banda Aceh, Motor Curian Dijual ke Pidie dan Pijay

Polisi Tangkap Pelaku Curanmor di Banda Aceh, Motor Curian Dijual ke Pidie dan Pijay

Walikota Banda Aceh Tinjau Proyek Banda Aceh Academy: Harapan Baru untuk Peningkatan SDM dan Ekonomi

Walikota Banda Aceh Tinjau Proyek Banda Aceh Academy: Harapan Baru untuk Peningkatan SDM dan Ekonomi

Discussion about this post

Recommended Stories

PKK Aceh Barat Gelar Sosialisasi Pola Asuh Anak, Afrida Novialia Berharap Tidak Ada Lagi Kasus Kekerasan Terhadap Anak

PKK Aceh Barat Gelar Sosialisasi Pola Asuh Anak, Afrida Novialia Berharap Tidak Ada Lagi Kasus Kekerasan Terhadap Anak

August 7, 2025
Indonesia Kekurangan Lapangan Kerja Berkualitas

Indonesia Kekurangan Lapangan Kerja Berkualitas

July 21, 2025

Plt Asisten II Sekda Aceh Buka RAD-PG Bappenas

May 26, 2023

Popular Stories

  • Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tak Kunjung Dapat Kerja di Aceh, Hendra Nekat Merantau ke Australia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara (Suara dari Blang Padang untuk Keadilan Syariat)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kedai Kopi Pertama di Aceh: Antara Pengaruh Ottoman dan Budaya Perantauan Tionghoa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fraksi Partai Demokrat Soroti Tantangan Pembangunan Aceh dalam Pendapat Akhir atas Pertanggungjawaban APBA 2024

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • TINJAUAN.ID
  • Pedoman Media Siber
Email: redaksi.tinjauan@gmail.com

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Dunia
  • Nasional
  • Regional
  • Politik
  • Opini
  • Contact Us

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?