Sejak tahun 1978 ada 22 HGU mengusai Aceh Utara dengan total luas lahan: 12.576,31 hektare. Akankah Aceh Utara akan “merdeka” dari ‘Jajahan” HGU di tahun 2028?
Oleh: Zulfadli Kawom*
Saat saya menjadi Tim Review Izin HGU Aceh Utara masa kepemimpinan Bupati Cek Mad periode kedua, kami dengan susah payah dan perdebatan panjang, akhirnya kami memperoleh Dokumen penting terkait daftar perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Utara yang akan mengalami berakhirnya masa Hak Guna Usaha (HGU) dalam rentang waktu 2025 hingga 2030.
Dalam data BPN Aceh Utara yang kami himpun, tercatat delapan perusahaan besar dari 12 izin dengan total lahan lebih dari 12.500 hektare yang masa izinnya akan habis dalam lima tahun ke depan.
Lahan-lahan tersebut tersebar di sejumlah kecamatan yang berbatasan langsung dengan areal hutan yang juga berbatasan langsung dengan Kabupaten Bener Meriah seperti Meurah Mulia, Lhoksukon, Tanah Luas, Kuta Makmur, hingga kawasan Nisam dan Simpang Bayu. Semua lahan digunakan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit berskala industri.
Berikut ini daftar lengkap nama perusahaan, lokasi kebun, luas lahan, dan waktu berakhirnya HGU:
No
Nama Perusahaan
Lokasi Kebun / Kecamatan Luas (Ha) Masa HGU Berakhir:
1. PT. Satya Agung, Kecamatan Meurah Mulia
200 Ha, Izin berakhir 22 September 2026
2. PT. Cot Girek Baru, Kecamatan Lhoksukon, luas 7.506,36 Ha, Izin berakhir 19 November 2026
3. PT. Molimas, Kecamatan Lhoksukon, luas 198,5 Ha, Izjin berakhir, 24 September 2026
4. T. Narata Indah, Kecamtan Meurah Mulia, luas 79,96 Ha, Izin berakhir 3 Juni 2027
5. KPN Bina Atakana, Kecamatan Tanah Luas, luas 112,22 Ha, Izin berakhir, 25 Februari 2027
6. PT. Molimas, Kecamatan Meurah Mulia, luaa 128,47 Ha, izin berakhir 3 Juni 2027
7. PT. Narata Indah, Kecamatan Kuta Makmur, luas 1.437,6 Ha, izin berakhir 31 Desember 2028
8. PT. Dunia Perdana, Kecamatan Nisam / Simpang Bayu, luas 2.913,2, izin berakhir 31 Desember 2028.
Total luas lahan: 12.576,31 hektare
Sebagaimana diketahui, Hak Guna Usaha merupakan hak atas tanah negara yang diberikan kepada badan hukum untuk jangka waktu tertentu, biasanya 35 tahun, dan dapat diperpanjang.
Apabila masa berlaku HGU berakhir dan tidak diperpanjang, maka tanah tersebut kembali menjadi aset negara dan tidak dapat lagi dikuasai secara sepihak oleh perusahaan.
Mayoritas HGU Diperoleh Pada Masa Masa DOM
Dari data yang diperoleh, mayoritas perusahaan tersebut memperoleh izin pengelolaan pada periode 1993 Masa Daerah Operasi Militer hingga menjelang reformasi 1998 dimana tidak ada keterbukaan informasi publik, masyarakat waktu itu sangat takut dituduh Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Sementara yang sudah berakhir izin diawal perdamaian, tahun 2005 yang izinnya dikeluarkan tahun 1978.
Namun, sampai sekarang belum terdapat informasi terbuka, apakah masing-masing perusahaan telah mengajukan perpanjangan HGU atau tidak, dan apakah pemerintah akan memperpanjang izin walau DPRK Aceh Utara dan masyarakat asli sekitar perkebunan meminta agar pemerintah tidak memperpanjang izin.
Informasi penting adalah PTPN IV Cot Girek yang sedang melakukan proses perpanjangan HGU atau dalam data yang diperoleh, dituliskan PT. Cot Girek Baru. Distribusi Lahan Terluas dan Konsentrasi Wilayah PT. Cot Girek Baru menjadi pemilik HGU terluas dengan luasan mencapai 7.506 hektare di wilayah Kecamatan Lhoksukon.
PT. Dunia Perdana menguasai lahan seluas 2.913 hektare di kawasan Nisam dan Simpang Bayu. Sementara itu, PT. Narata Indah dan PT. Molimas masing-masing mengelola dua bidang HGU yang akan habis masa berlakunya pada 2027 dan 2028.
Semua izin yang tercantum, lahannya dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya sawit industri, tanpa informasi penggunaan alternatif lainnya, seperti adanya pelanggaran lingkungan dan menunggak pajak atau tidak.
Berakhirnya HGU dari delapan perusahaan tersebut menjadi momentum strategis bagi semua pihak untuk mengevaluasi pemanfaatan lahan yang selama ini dikuasai perusahaan yang tidak memberi dampak bagi perekonomian warga sekitar (banyak kebun tidak digarap, ditelantarkan, warga yang akan menggarap terkendala aturan hukum).
Sudah saatnya pemerintah daerah, Kabupaten Aceh Utara, yang sudah empat periode dikuasai oleh mantan awak GAM, dan lembaga pertanahan dapat melakukan verifikasi administratif, serta memastikan apakah pengelolaan lahan sesuai dengan izin, tidak tumpang tindih dengan klaim masyarakat, dan telah memberikan manfaat ekonomi bagi daerah.
Proses perpanjangan HGU, jika diajukan, harus memenuhi persyaratan legal dan teknis, termasuk kewajiban sosial, pembayaran pajak, dan kontribusi terhadap masyarakat sekitar.
Bila tidak diperpanjang, lahan berstatus tanah negara tersebut dapat dialokasikan untuk reformasi agraria, pertanian masyarakat, atau proyek pembangunan yang bersifat publik.
Pemerintah, lembaga pengawas pertanahan, dan masyarakat di Aceh Utara perlu mencermati proses berakhirnya HGU ini agar tidak menimbulkan konflik lahan baru atau praktik penguasaan tanpa dasar hukum.
Data ini menjadi penting untuk mendorong keterbukaan dan pengelolaan agraria yang lebih adil serta berkelanjutan di tingkat daerah. Atau masyarakat hanya bisa memanen bencana banjir yang setahun bisa dua kali.
Berani tidak Ayah Wa melakukan reformasi agraria? Masa Tgk Ilyas Pase dan Cek Mad, persolan ini masih meu-kaboum dan meu-peuom, alias jalan di tempat.
*Penulis adalah budayawan, warga Aceh Utara.
Discussion about this post