Oleh: Muhammad Syawal Djamil*
MULAI tahun ajaran 2025/2026, siswa dari jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) akan mulai belajar coding dan kecerdasan buatan (AI) secara sistematis.
Kebijakan ini diumumkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dalam pertemuannya bersama jajaran staf Kemendikdasmen, para kepala sekolah, guru, serta komunitas pengajaran coding dan kecerdasan buatan (sebagaimana tercantum dalam siaran pers Kementerian). Menurutnya, penguasaan teknologi digital seperti coding dan AI sangat penting agar generasi muda Indonesia dapat bersaing secara global dan tidak tertinggal di era disrupsi digital.
Kebijakan pembelajaran coding dan AI sejatinya merupakan bagian dari upaya Kemendikdasmen untuk memberikan keterampilan abad ke-21 kepada siswa, yaitu keterampilan yang mencakup kolaborasi, kreativitas, pemikiran kritis, dan literasi digital. Keempat aspek ini bukan lagi sekadar pelengkap dalam pendidikan modern, melainkan menjadi kompetensi inti yang menentukan keberhasilan individu di masa depan.
Dalam dunia yang serba cepat dan tidak pasti, memang, kemampuan bekerja sama lintas disiplin, menghasilkan ide-ide orisinal, menganalisis masalah secara mendalam, serta memahami dan menggunakan teknologi secara efektif menjadi sangat krusial dan kebutuhan dalam dunia kerja.
Ya, dunia kerja masa kini tidak lagi hanya membutuhkan kemampuan hafalan atau penguasaan teori semata. Perusahaan dan institusi global kini mencari individu yang mampu menciptakan solusi, berinovasi dengan alat digital, serta cepat beradaptasi terhadap perubahan.
Misalnya, dalam industri kreatif, data science, dan teknologi informasi, kemampuan menyelesaikan masalah secara mandiri melalui pendekatan teknologi jauh lebih dihargai daripada sekadar menguasai pengetahuan dasar. Bahkan di sektor yang lebih konvensional sekalipun —seperti pertanian, kesehatan, atau pendidikan– teknologi mulai menjadi tulang punggung transformasi, sehingga menuntut para pelaku di dalamnya untuk terus belajar dan berpikir fleksibel.
Oleh karena itu, integrasi coding dan AI dalam kurikulum sekolah bukan hanya soal mengenalkan perangkat lunak atau robotik, tetapi juga sebagai sarana untuk melatih pola pikir siswa agar lebih analitis, solutif, dan kolaboratif. Ini merupakan pondasi penting untuk membentuk generasi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learners) yang tidak hanya siap menghadapi dunia kerja saat ini, tetapi juga mampu beradaptasi dengan pekerjaan-pekerjaan yang bahkan belum ada saat ini.
Mengapa Mulai dari Sekolah Dasar?
Pengenalan coding dan AI sejak dini, terutama di jenjang sekolah dasar (SD), bukanlah sebuah kebijakan yang mengada-ada. Justru, langkah (dan kebijakan) ini sangat relevan dengan kebutuhan perkembangan kognitif anak usia dini serta tuntutan masa depan.
Salah satu tujuan utamanya adalah untuk melatih kemampuan berpikir logis, sistematis, serta keterampilan memecahkan masalah sejak usia muda. Namun demikian dalam pendekatannya, pengajaran coding di tingkat SD tentu harus disesuaikan.
Materi tidak harus dimulai dari bahasa pemrograman yang rumit seperti Python atau JavaScript. Sebaliknya, permainan berbasis visual seperti block coding (misalnya Scratch atau Blockly), simulasi, teka-teki logika, serta kombinasi antara gambar dan angka dapat digunakan untuk membantu anak memahami konsep dasar algoritma, urutan logis, dan pemecahan masalah. Cara ini terbukti lebih efektif karena memanfaatkan imajinasi visual dan kemampuan sensor motorik yang masih dominan pada usia ini.
Penelitian terbaru dalam bidang pendidikan teknologi menunjukkan bahwa pengenalan pemikiran komputasional (computational thinking) sejak dini berperan penting dalam meningkatkan kepercayaan diri, ketekunan, dan rasa ingin tahu anak terhadap teknologi.
Bers (2018), dalam bukunya Coding as a Playground: Programming and Computational Thinking in the Early Childhood Classroom, menekankan bahwa aktivitas pengkodean yang dirancang sebagai permainan tidak hanya mendukung kemampuan teknis anak, tetapi juga membentuk aspek non-kognitif seperti motivasi belajar dan ketahanan menghadapi tantangan. Selain itu, siswa yang dikenalkan dengan konsep coding melalui aktivitas menyenangkan cenderung memiliki pandangan yang lebih positif terhadap bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), yang sangat berguna ketika mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah dan atas.
Dengan demikian, pendekatan pembelajaran yang demikian tidak hanya membekali anak dengan pengetahuan teknologi sejak dini, tetapi juga membentuk cara berpikir yang analitis dan kreatif. Ini adalah pondasi penting untuk menumbuhkan generasi yang tidak sekadar mengonsumsi teknologi, tetapi mampu memahami bagaimana teknologi bekerja dan bagaimana memanfaatkannya untuk menyelesaikan persoalan nyata di sekitarnya.
Tantangan Implementasi
Namun demikian, kebijakan integrasi coding dan AI ke dalam kurikulum tentu tidak bisa serta-merta dilaksanakan tanpa kesiapan yang menyeluruh. Ada sejumlah tantangan nyata yang harus disikapi secara serius dan sistematis agar kebijakan ini tidak hanya menjadi simbol kemajuan, tetapi benar-benar bisa diimplementasikan secara adil dan merata.
Pertama, persoalan infrastruktur digital masih menjadi hambatan besar, terutama di sekolah-sekolah di daerah tertinggal, terpencil, atau perbatasan. Tidak semua sekolah memiliki akses internet yang stabil, perangkat komputer yang memadai, atau ruang belajar yang layak untuk pelatihan berbasis teknologi. Ketimpangan infrastruktur semacam ini, jika tidak diatasi, akan memperlebar jurang digital antara sekolah-sekolah di kota besar dan sekolah-sekolah di pelosok.
Kedua, kesiapan sumber daya manusia, terutama guru, juga menjadi tantangan utama. Mengajarkan coding dan AI membutuhkan pemahaman konseptual yang cukup, pendekatan pedagogis yang sesuai, dan kemampuan teknis yang terus diperbarui.
Banyak guru saat ini, khususnya di sekolah-sekolah pedalaman, masih belum familiar dengan teknologi pemrograman, apalagi AI.
Maka itu, tanpa program pelatihan dan pendampingan yang memadai, guru bisa merasa terbebani, bahkan kehilangan motivasi. Lebih buruk lagi, pengajaran yang tidak tepat justru dapat membuat siswa frustasi dan menjauh dari teknologi itu sendiri.
Ketiga, keterlibatan orang tua dan komunitas sekolah juga sangat penting. Mengingat bahwa anak-anak akan membawa pengalaman belajar mereka ke rumah, maka dukungan dan pemahaman dari lingkungan keluarga sangat menentukan keberhasilan program ini.
Jika orang tua masih memandang coding sebagai hal yang rumit atau “bukan bagian dari pelajaran inti”, maka siswa bisa kehilangan semangat dan merasa asing terhadap proses pembelajarannya sendiri. Karena itu, program literasi digital untuk orang tua dan komunitas lokal juga harus menjadi bagian dari strategi implementasi kebijakan.
Apabila berbagai tantangan ini tidak diantisipasi dengan perencanaan yang matang, kebijakan ini berisiko berhenti pada tataran wacana. Yang terjadi bisa saja hanya segelintir sekolah unggulan di perkotaan yang mampu menjalankannya, sementara mayoritas sekolah lainnya tertinggal jauh di belakang. Padahal, hakikat pendidikan adalah menghadirkan kesetaraan: setiap anak, di mana pun ia tinggal dan apapun latar belakang ekonominya, berhak mendapatkan akses yang sama terhadap pembelajaran bermutu.
Oleh sebab itu, negara harus hadir secara konkret—tidak hanya dengan regulasi, tetapi juga melalui anggaran, pelatihan, dan pengawasan berkelanjutan. Hanya dengan begitu, visi besar pembelajaran coding dan AI sebagai bagian dari transformasi pendidikan nasional dapat diwujudkan secara inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Jangan Sekadar Teknologi, tapi Juga Nilai
Yang tidak kalah penting, kebijakan ini harus lahir bukan hanya dari kebutuhan teknis, tetapi juga dari pemikiran filosofis dan akademik yang matang. Kita tidak ingin anak-anak menjadi sekadar pengguna teknologi, melainkan pencipta dan pengendali teknologi itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai humanisme teknologis—pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subjek utama dalam perkembangan digital.
Sudah semestinya pendidikan menjadikan siswa sebagai aktor utama, bukan objek pasif dari arus teknologi. Artinya, siswa harus dilatih untuk berpikir kritis, memiliki etika digital, dan bertanggung jawab terhadap dampak sosial dari teknologi yang mereka kembangkan. Dengan pendekatan ini, pembelajaran coding dan AI akan membentuk karakter, bukan hanya keterampilan.
Selain itu, Kurikulum Nasional (serta seluruh turunan kebijakannya) juga harus tetap berakar pada budaya bangsa. Nilai-nilai kearifan lokal, gotong royong, dan etika sosial khas Indonesia tidak boleh hilang hanya karena mengejar kemajuan teknologi. Justru, teknologi harus menjadi alat untuk memperkuat budaya bangsa dan memperluas dampaknya ke dunia global.
Kebijakan pembelajaran coding dan AI sejak jenjang SD hingga SMA adalah langkah strategis dan progresif di era global dan serba digital sekarang. Namun demikian, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada keseriusan semua pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat. Jika dijalankan dengan benar dan berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan serta budaya bangsa, maka Indonesia tidak hanya akan mencetak generasi yang cakap digital, tetapi juga generasi yang bijak, beretika, dan mampu membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah.
*Praktisi Pendidikan, Ketua FAMe Chapter Pidie, Saat ini Mengajar di Sekolah Sukma Bangsa Pidie.
Discussion about this post