Ide bisnis itu muncul saat Rahmad berkunjung ke Malaysia pada 2012. Di sana, ia mencicipi kelapa jelly segar dan terinspirasi menghadirkan produk serupa di kampung halamannya.
Banda Aceh — Berawal dari dapur rumah sederhana, Rahmad Kudri (38) kini menatap pasar ekspor lewat produk olahan kelapa berlabel Indatu D’ Coco.
Usaha yang ia rintis seorang diri sejak 2016 itu kini telah menembus pasar Medan dan memasok ratusan buah kelapa jelly serta kelapa segar ke sejumlah kafe dan supermarket di Sumatera Utara.
“Awalnya semua saya kerjakan sendiri, dari mengupas kelapa sampai memasarkan ke warung dan tempat wisata,” kenang Rahmad saat ditemui di rumah produksinya di kawasan Panteriek, Banda Aceh, Senin (10/11/2025).
“Sekarang sudah punya gudang dan alat produksi sendiri,”jelasnya.
Ide bisnis itu muncul saat Rahmad berkunjung ke Malaysia pada 2012. Di sana, ia mencicipi kelapa jelly segar dan terinspirasi menghadirkan produk serupa di kampung halamannya.
Empat tahun kemudian, semangat itu berubah menjadi usaha nyata.
Label Indatu D’ Coco ia pilih karena maknanya yang dekat dengan tradisi.
“Indatu artinya leluhur. Saya ingin usaha ini jadi warisan yang terus diminati lintas generasi,” katanya.
Produk andalan Rahmad adalah kelapa jelly, olahan air dan daging kelapa muda yang dimasak bersama racikan jelly khas, lalu dikemas kembali ke dalam batok kelapa.

Belakangan, ia juga merambah produksi kelapa segar, menyesuaikan permintaan pasar.
Kelapa yang digunakan berasal dari berbagai daerah di Aceh seperti Lhoong dan Bireuen.
“Kami pakai kelapa hibrida karena airnya lebih manis dan kulitnya lunak,” ujarnya.
Kini, Rahmad mampu memasok hingga 120 buah kelapa per hari untuk pasar Medan dan Brastagi. Harga jual kelapa jelly berkisar Rp18.000 per buah, sementara kelapa segar Rp12.000.
Untuk versi premium dengan label Coco Tap, harganya mencapai Rp22.000—jauh lebih murah dibanding produk impor dari Thailand yang bisa mencapai Rp45.000.
“Memang belum bisa menyaingi sepenuhnya, tapi 10–20 persen pangsa pasar bisa kita rebut. Kualitas kita juga tidak kalah,” ucapnya optimistis.
Keseriusan Rahmad mendapat dukungan dari PT Pembangunan Aceh (Pema) yang menyalurkan dana binaan sebesar Rp225 juta. Dana tersebut ia gunakan untuk membeli alat produksi, memperkuat modal, dan meningkatkan kemasan.
“PEMA juga bantu pelatihan manajemen dan pemasaran. Target ke depan, kita arahkan untuk ekspor,” katanya.
Pandemi COVID-19 sempat menurunkan produksi, namun Rahmad tak menyerah. Kini, produknya telah hadir di sekitar 15 kafe di Banda Aceh dan 10 titik penjualan di Medan.
Ia juga berencana meluncurkan kemasan baru bulan depan sebagai langkah menuju pasar ekspor.
Menurut Rahmad, permintaan kelapa jelly meningkat saat cuaca panas, terutama dari layanan pesan antar seperti GoFood.
“Naik sih, tapi enggak signifikan. Sekarang fokus kita tetap ke kelapa segar untuk ekspor,” ujarnya.
Dari rumah produksinya di Panteriek, Rahmad membuktikan bahwa semangat dan inovasi mampu mengubah potensi lokal menjadi peluang global.
“Saya bukan pewaris, tapi perintis,” katanya sambil tersenyum. (*)













Discussion about this post