Dunia sedang menunggu Muslim yang menyala: cerdas dalam akal, kokoh dalam akidah, dan tegas dalam identitas.
Oleh: Darwis Situmorang*
Di bawah langit yang luas dan tanah yang dulu menjadi tempat sujud oleh para penakluk dunia dengan sebutan umat terbaik, kini berdiri generasi yang sibuk mencari jati diri di feed Instagram dan bukan dalam mushaf Al-Quran.
Mereka lebih hafal nama-nama influencer daripada nama-nama sahabat Nabi. Lalu dengan bangga menyebut dirinya Muslim, seolah cukup hanya dengan itu tanpa amal, tanpa akhlak, tanpa sikap.
Dulu, Islam mengukir sejarah. Sekarang, ia hanya menjadi catatan kaki dalam buku pelajaran sekolah sekuler. Umat yang dulu disegani karena ketajaman pikirannya, kini bangga dengan konten Tiktok yang lucu tapi kosong.
Mereka lupa, Islam bukan warisan budaya yang tinggal dipakai seperti baju adat di hari tertentu. Islam adalah jalan hidup, bukan sekadar label dalam kolom KTP.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
Akan datang suatu masa pada manusia, di mana Islam hanya tinggal namanya, Al-Quran hanya tinggal tulisannya. Masjid-masjidnya megah tapi kosong dari petunjuk. Ulama-ulamanya adalah seburuk-buruk makhluk di bawah langit. Fitnah berasal dari mereka dan kepada mereka fitnah itu akan kembali.
(HR. Al-Baihaqi)
Bukankah kita hidup di masa itu?
Islam datang bukan untuk menunduk pada sistem, tapi menundukkan sistem. Islam tidak diajarkan untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai barat yang rusak, melainkan untuk memperbaiki nilai-nilai itu. Namun kini, kita bahkan malu mengatakan haram karena takut dianggap ekstrem. Kita lebih takut dibatalkan di sosial media ketimbang dibatalkan di akhirat.
Kaum pria Muslim yang dahulu menundukkan dunia dengan ilmu dan keberanian, hari ini tertunduk lesu di hadapan layar, scroll tanpa arah. Kejantanan mereka dikikis oleh malas dan alasan.
Di manakah jejak Umar bin Khattab yang berkata, Kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Islam. Jika mencari kemuliaan dari selainnya, maka kita akan dihinakan? Yang mereka tiru justru gaya artis Korea dan mental boneka.
Wanita Muslimah, yang dulu dengan gagah menolak tunduk pada budaya jahiliah, kini malah bangga memamerkan aurat. Jilbab tak lagi simbol kehormatan, tapi sekadar tren fesyen. Niqab dianggap penghalang karier. Malu dan haya’ telah digadaikan atas nama kebebasan yang sesat arah.
Kolonialisme memang telah pergi secara fisik, tapi warisannya hidup dalam pola pikir kita. Kita menjadi umat yang ditundukkan oleh hegemoni pemilik modal, dibius oleh standar kecantikan asing, dicekik oleh tuntutan kapitalisme.
Kita gagal menyadari bahwa Islam hadir bukan untuk dijadikan penonton dalam sejarah dunia, tapi pengarah sejarah itu sendiri.
Lihatlah generasi muda Muslim hari ini: terjebak antara ingin taat dan ingin viral. Mereka terombang-ambing antara ustaz dan selebgram. Satu sisi mendengar ceramah, sisi lain menari di Reels. Nilai Islam jadi barang rongsok di pasar ideologi modern. Dipilih hanya jika cocok dengan keinginan nafsu.
Padahal, Islam adalah agama yang mendidik manusia berpikir dengan cerdas, bergerak dengan semangat, dan hidup dengan misi. Tapi umat ini lebih senang bermimpi daripada membangun. Mereka puas dengan hafalan tanpa penghayatan, puas dengan dakwah yang viral tapi tanpa substansi.
Islam menundukkan alam semesta ini bagi manusia berakal dan gigih. Tapi kini, Muslimin malah menjadi manusia yang ditundukkan oleh agenda-agenda asing.
Islam membuka langit dengan ilmu, tapi kita menutup diri dengan kebodohan yang dibungkus jargon religius. Kita bangun masjid mewah, tapi hati kita lapuk. Kita bangga punya banyak santri, tapi sedikit yang bisa berpikir merdeka.
Betapa ironisnya: Islam yang begitu kokoh kini dipikul oleh pundak umat yang rapuh.
Musuh-musuh Islam membenci kita bukan karena kita lemah, tapi karena mereka tahu potensi kekuatan yang kita sia-siakan. Mereka tahu, jika Islam benar-benar dihidupkan oleh umatnya, dunia akan berubah arah. Tapi sayangnya, kita lebih suka memelihara kebodohan daripada memperjuangkan kebangkitan.
Sudahlah, cukup dengan gelar Muslim jika hanya untuk sekadar nama. Dunia tidak butuh lebih banyak Muslim yang pasif. Dunia sedang menunggu Islam dari Muslim yang menyala: cerdas dalam akal, kokoh dalam akidah, dan tegas dalam identitas.
Kita harus kembali. Bukan hanya kembali ke masjid, tapi kembali kepada fungsi sebagai umat rahmatan lil alamin. Kembali menjadi umat yang tidak hanya mengenal Islam, tapi hidup sebagai Islam itu sendiri.
*Penulis adalah pegiat dakwah.
Discussion about this post