Dalam hal pemasaran, Granada Food mengandalkan penjualan daring, reseller, serta partisipasi di berbagai bazar kuliner di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Aceh Besar — Di tengah maraknya produk makanan olahan yang serba instan, Granada Food memilih jalan berbeda. Usaha rumahan yang berlokasi di Desa Lamreung, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar ini tetap mempertahankan prinsip “makanan sehat tanpa bahan tambahan”.
Granada Food hadir sejak masa pandemi Covid-19, tepatnya 19 Juni 2019. Sang pemilik, Malahayati, tidak pernah menyangka bahwa kegiatan membuat bakso untuk konsumsi keluarga bisa berkembang menjadi bisnis yang diminati banyak orang.
“Awalnya kami buat bakso untuk stok sendiri. Kebetulan ada teman yang datang berkunjung, mencicipi, dan langsung pesan karena cocok dengan rasanya. Dari situ kami berani jualan dan promosikan lewat Facebook dan grup WhatsApp,” cerita Mala Akrab sapaanya, Selasa (11/11/2025).
Berawal dari dapur rumah sederhana, proses produksi dilakukan dengan alat seadanya. Bahkan adonan awal sempat digiling di pasar, namun semua bumbu tetap ia racik sendiri agar terjaga keaslian rasa.
Perjuangannya mulai terasa ringan ketika pada Agustus 2023, Granada Food mendapat hibah alat penggiling dan pengaduk bakso dari program pengabdian masyarakat dosen FMIPA Kimia Unsyiah yang juga merupakan dosen pembimbing S2 Malahayati.

Kini, Granada Food memiliki dapur produksi sederhana di Komplek Damai Lestari Blok F No. 13, Lamreung. Produknya meliputi bakso, sosis, nugget, siomay, tahu bakso, hingga dimsum, dengan bahan utama daging sapi kualitas pertama, ayam tanpa lemak dan kulit, serta ikan marlin segar.
“Produk pertama kami adalah bakso sapi. Banyak yang bilang rasanya enak dan kenyal, padahal tanpa pengenyal. Tapi ada juga yang bilang kurang ‘nendang’ karena tidak pakai micin,” ujarnya.
Dari sekian banyak varian, produk berbahan ikan kini paling diminati terutama bakso ikan, siomay ikan, dan siomay ayam. Semua diproduksi tanpa bahan pengawet, penyedap, atau pewarna, dan sudah mengantongi sertifikat halal Indonesia.
Keunggulan inilah yang menjadi ciri khas Granada Food.
“Kami ingin makanan yang kami jual aman untuk anak-anak dan keluarga. Walau harga jual sedikit lebih tinggi, setidaknya pembeli tahu apa yang mereka makan,” tutur Mala.
Dalam hal pemasaran, Granada Food mengandalkan penjualan daring, reseller, serta partisipasi di berbagai bazar kuliner di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Namun, pasca-pandemi, omzet mengalami penurunan dari rata-rata Rp3–5 juta per bulan menjadi sekitar Rp1–2 juta.
“Segmen pasar kami banyak dari ibu-ibu yang menyiapkan bekal anak sekolah. Sekarang anak-anak sudah jarang bawa bekal, jadi permintaan ikut menurun,” katanya.
Meski begitu, semangat Malahayati tidak surut. Ia bertekad menjadikan Granada Food sebagai usaha lokal yang berdaya saing, sekaligus contoh bagi pelaku UMKM frozen food lainnya.
“Harapan saya, Granada Food bisa terus berkembang, punya izin edar dari BPOM, dan menjadi role model bagi UMKM Aceh yang ingin memproduksi makanan sehat tanpa pengawet,” ujarnya.
Dari sebuah dapur rumah di Lamreung, Granada Food membuktikan bahwa usaha kecil dengan niat baik dan bahan alami bisa tumbuh, menjaga cita rasa sekaligus kesehatan konsumen. (*)













Discussion about this post