Tanggal 14 Mei, dilanjutkan 28 Mei 2023, pemilihan presiden bersamaan dengan pemilihan anggota parlemen diadakan di Republik Turki. Recep Tayyip Erdoğan, pemimpin Turki–yang tidak pernah kalah dalam pemilihan, kembali memenangkan pemilu. Ia sukses melawan kandidat oposisi; Kemal Kılıçdaroğlu yang meraup 47,8 % suara, sedangkan Erdoğan berhasil menang dengan persentase 52,2 % suara.
Berlangsung dalam waktu dua putaran, jumlah pemilih periode kedua ini mencapai 64 juta jiwa, dimana 60,9 juta berada di Turki dan 3,2 juta di luar negeri. Dengan rincian 27 juta jiwa memilih Erdoğan, serta 25 juta lainnya memilih Kemal Kılıçdaroğlu, selisih keduanya hanya dua juta suara. Dibandingkan putaran pertama, putaran kedua ini dianggap lebih ketat karena bertambahnya pemilih hingga 1,5 juta jiwa yang sebelumnya memilih abstain.
Erdoğan yang telah memimpin Turki sejak 2003, baik sebagai perdana menteri yang kemudian sejak 2014 sebagai presiden, membuat kemenangannya kali ini memberinya tambahan masa jabatan presiden hingga lima tahun kedepan. Bersamaan dengan sapuan kemenangan dalam pemilihan parlemen, Kabinet Aliansi Rakyat bentukan Erdoğan menghasilkan 323 perwakilan dari total 600 perwakilan di badan legislatif negara. Kemenangan berurutan yang tak terbantahkan menggoreskan tinta emas di kalangan pendukung fanatiknya yang dijuluki sebagai “The Real Sultan of Türkiye.”
Cobaan Ekonomi
Kemenangan Erdoğan kali ini telah membantah penilaian banyak pengamat Barat yang memperkirakan Erdoğan akan kesulitan untuk bertahan. Akan tetapi, Jalannya yang relatif mulus untuk menjadi kandidat pemilihan, menimbulkan pertanyaan yang luas tentang sumber daya kekuasaannya. Menghadapi krisis ekonomi yang berkepanjangan, ditandai dengan anjloknya nilai Lira Turki (TRY), inflasi nan tinggi, kenaikan biaya pinjaman, serta peningkatan default pinjaman, menjadikan keikutsertaan Erdoğan dalam pemilihan ini menjadi tanda tanya besar.
Dilansir beberapa ahli, krisis-krisis ini disebabkan oleh defisit neraca berjalan ekonomi Turki yang berlebihan, utang mata uang asing swasta dalam jumlah besar, meningkatnya otoritarianisme Presiden Erdoğan, serta gagasannya yang tidak ortodoks tentang suku bunga.
Melihat rekam jejak di atas, krisis ekonomi Turki yang diawali tahun 2018 ketika penahanan pendeta Amerika Andrew Brunson, yang ditahan atas tuduhan spionase pada upaya kudeta Turki tahun 2016, mengakibatkan pemerintahan Trump memberikan tekanan terhadap Turki dengan menjatuhkan sanksi ekonomi. Secara bertahap, krisis pun berlanjut yang disebabkan gelombang depresiasi besar mata uang. Tahap ini ditandai dengan gagal bayar utang perusahaan-perusahaan di Turki dan berefek pada kontraksi pertumbuhan ekonomi.
Meskipun terdapat percobaan pemulihan di tengah pandemi COVID-19, nilai mata uang Lira Turki semakin jatuh setelah penggantian kepala Bank Sentral Naci Ağbal dengan Şahap Kavcıoğlu, yang memangkas suku bunga dari 19% menjadi 14%. Penggantian Naci Ağbal ini dianggap krusial karena sebelumnya Erdoğan telah memecat tiga Gubernur Bank Sentral Turki dalam waktu kurang dari setahun. Konsekuensi dari hal ini, puncaknya Lira kehilangan 44% nilainya pada tahun 2021.
Krisis ekonomi ini menyebabkan penurunan signifikan popularitas Erdoğan dan partainya, yang diawali dengan kehilangan sebagian besar suara di kota terbesar Turki termasuk Istanbul dan Ankara dalam pemilihan lokal 2019.
Pengaruh kemenangan
Oposisi yang telah menunjukkan persatuan dan solidaritas dalam upaya menjatuhkan Erdoğan, terdiri dari enam partai politik yang berbeda secara ideologis, mulai dari demokrasi sosial, nasionalis hingga Islamisme. Kekuatan akan keragaman dan heterogenitas yang seharusnya menjadi kekuatan, nyatanya malah menjadi kelemahan.
Strategi Erdoğan untuk mempertaruhkan segalanya pada stabilitas, kebesaran bangsa, dan pengaruh Turki di panggung internasional ternyata membuahkan hasil. Dalam hal ini, demonstrasi dan pertunjukan kinerja luar biasa industri persenjataan negara dalam beberapa tahun terakhir jelas menarik bagi publik. Tak ayal, sebulan sebelum pemilu, Erdoğan meluncurkan TCG Anadolu, kapal perang serbu jenis amfibi ringan yang kemudian disusul tank Altay dan mobil nasional TOGG yang merupakan buatan dalam negeri.
Selain itu, tentunya Erdoğan juga menikmati keuntungan sebagai petahana. Dengan pengalamannya yang panjang, Erdoğan menggunakan dan mengkapitalisasi sumber daya negara untuk menarik pemilih dengan program populis seperti gas rumah tangga gratis, kenaikan gaji pegawai, pemotongan pajak, serta bunga pinjaman yang terjangkau. Selain itu, dari sisi sosial, Erdoğan juga menggunakan kampanye anti LGBT yang sangat diterima oleh kalangan pendukungnya yang berlatar Islamis.
Lumrahnya sebuah kontestasi, kemunculan Kılıçdaroğlu juga menciptakan beberapa hambatan. Kılıçdaroğlu tidak memposisikan situasi ekonomi negara yang buruk sebagai pilar utama kampanyenya, dan ia juga terlihat lalai menjelaskan bagaimana rencananya untuk memperbaiki masalah struktural. Sebaliknya, ia memilih jalur populisme, membuat janji-janji luhur seperti menaikkan upah dan pensiun bagi pekerja di sektor publik, menjanjikan akses bebas visa ke Eropa, mempekerjakan lebih banyak guru, teknisi, dan insinyur untuk desa, dan bahkan menjanjikan listrik gratis untuk kota-kota pertanian.
Meskipun suara Kılıçdaroğlu cukup menonjol di kota-kota besar, ia dianggap gagal menjangkau pemilih-pemilih di rural area. Terlebih, dalam seremoni terakhir sebelum pemilihan, Kılıçdaroğlu menguatkan identitas politis dirinya dengan mengunjungi makam Ataturk di Ankara. Berbanding terbalik dengan Erdoğan yang mengunjungi Hagia Sofia di Istanbul.
Menariknya, kota-kota besar yang dimenangkan Kılıçdaroğlu ini menghasilkan 70-75% dari PDB Turki. Kılıçdaroğlu juga memenangkan lebih dari 80% suara migran Turki yang ada di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris Raya. Sementara Erdoğan memenangkan lebih dari 65% suara di Jerman, Belgia, Belanda, dan Prancis.
Tantangan Erdoğan kedepan
Dengan kemenangannya, Erdoğan telah membahas beberapa hal yang direncanakan akan direalisasikan dalam waktu dekat. Namun, di tengah perayaan tersebut, ia tetap menghadapi tantangan yang signifikan, termasuk mengatasi krisis ekonomi, mencari solusi untuk krisis pengungsi, serta mengamankan kemenangan dalam pemilihan kota dalam waktu 10 bulan ke depan.
Dari segi ekonomi, Morgan Stanley sebuah perusahaan jasa keuangan Amerika memprediksi penurunan nilai Lira sebesar 29% dalam beberapa bulan mendatang jika Erdoğan tidak mengubah arah kebijakan ekonominya.
Bergerak cepat, dua hari setelah kemenangannya, Erdoğan mencoba menghubungi kembali ekonom Turki Mehmet Şimşek. Şimşek adalah Darling of the Markets yang sebelumnya pernah merumuskan kebijakan fiskal, yang membantu Turki pulih dari krisis keuangan global tahun 2008.
Kehadiran pengungsi Suriah di Turki menjadi tantangan selanjutnya bagi pemerintahan Erdoğan, terutama ketika ia ditekan oleh pihak oposisi. Permusuhan dan ketidaksukaan terhadap warga Suriah telah meningkat sejak tahun 2020, utamanya ketika Turki dilanda kesulitan ekonomi, terlebih Erdoğan tidak berencana untuk mendeportasi warga Suriah secara massal yang yang telah menyerap anggaran Turki dalam jumlah yang tidak sedikit.
Namun jika situasi ekonomi terus memburuk, ketegangan bisa saja kembali meningkat. Masyarakat Turki menganggap warga Suriah telah mencuri kuota pekerjaan mereka, ditambah runyamnya masalah budaya dan ikatan sosial, kriminalitas, juga xenofobia.
Terakhir, ujian internal bagi Erdoğan adalah pemilihan walikota yang dijadwalkan berlangsung pada Maret 2024. Erdoğan menganggap momen ini sangat penting dan meminta para pendukungnya untuk berupaya merebut kembali kota-kota besar seperti Istanbul dan Ankara dimana mereka kalah dari oposisi dalam pemilihan kota 2019.
Istanbul dan Ankara dipandang memiliki dampak politik yang signifikan. Hasil pemilihan kedua kota ini dinilai dapat mempengaruhi politik nasional secara keseluruhan. Merebut kembali suara di Istanbul dan Ankara, artinya Erdoğan dapat memperkuat basis politiknya dan mengonsolidasikan kekuasaannya di tingkat nasional.
Alhasil, memperhatikan 20 tahun pemerintahannya yang panjang, setidaknya Erdoğan telah berhasil tidak hanya dalam mempertahankan masa jabatannya, tetapi membuatnya berpotensi menjadi lebih kuat kedepan. Bahkan selama masa kekuasaannya yang panjang itu, Erdogan berhasil menempatkan Turki sebagai key player dalam kancah politik regional maupun internasional.
Rizqan Kamil, Analis Politik. Pernah menempuh studi di Turki.