Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
No Result
View All Result
Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
Home Opini

Dana Otsus Lanjut, Siapa Untung dan Buntung?

TINJAUAN ID by TINJAUAN ID
August 12, 2025
Reading Time: 5 mins read
0
Dana Otsus Lanjut, Siapa Untung dan Buntung?

Ahsanul Khalis, Peneliti Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center.

Walaupun Dana Otsus nilai gunanya seringkali dianggap untuk kepentingan publik, dalih pembangunan Aceh. Namun di sisi lain, ini wujud ekspresi dari kepentingan elit politik, birokrat dan pengusaha sebagai triumvirat (tiga serangkai) yang mewakili kelompok dominan (kelas borjuis). 

Oleh: Ahsanul Khalis*

Ketika wacana perpanjangan status Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) mulai bergulir, berbagai elemen masyarakat di Aceh mulai ikut bersuara, dari ruang sidang paripurna dewan hingga meja bundar warung kopi.

Politisi, akademisi, aktivis, hingga warga biasa, semua menimbang-nimbang: apa yang akan terjadi ketika aliran dana itu berhenti pada 2027? Alih-alih Aceh siap berdiri diatas kaki sendiri justru kesannya semua berharap dipermanenkan sampai kiamat dunia.

Point penting yang menarik untuk dibahas adalah siapakah pihak yang paling gusar? Mungkin ini dapat dipetakan dalam Power-Interest Matrix Mendelow (1991), kelompok pertama yaitu “key players”. Kelompok yang mempunyai power dan kepentingan besar. Seperti elit politik dan pemerintah daerah yang selama ini menikmati kuasa atas alokasi dana.

Kemudian, kelompok kedua yaitu “keep informed” seperti masyarakat sipil, LSM, dan akademisi yang selama ini mempunyai power rendah dan kepentingan tinggi, namun konon katanya melihat kepentingan pada tataran: berharap dana otsus membawa keadilan dan kemajuan nyata bagi Aceh.

Ekspresi Kelas Dominan

Kalau boleh jujur, sudah menjadi rahasia publik, Di balik ketok palu APBA setiap tahun, kerap tersembunyi berbagai kepentingan politik anggaran antara eksekutif dan legislatif. Artinya masyarakat sudah pada tahu di Aceh hari ini: dana otsus dijadikan “kue” perebutan elit.

Ini bukan tuduhan, sudah banyak penelitian akademik menemukan bahwa kucuran dana otsus tidak tepat sasaran, tata kelola yang tidak menguntungkan masyarakat. Bahkan ironisnya, sampai saat ini Aceh masih berkubang dalam kemiskinan kronis dan pengangguran masif.

Data terakhir, menyebutkan Aceh sebagai provinsi termiskin kedua di Sumatera. “Prestasi” yang tidak semua orang ingin merayakannya. Alhasil, dana otsus semacam kutukan bagi Aceh.

Intinya sejak lama kita bisa membaca tentang struktur ekonomi Aceh era-Otsus, ternyata lebih pada kemampuan mengakses dana pusat. Data menunjukkan mayoritas belanja daerah Aceh bersumber dari transfer Pemerintah Pusat.

Artinya, dalam kacamata teori ketergantungan, ekonomi Aceh hari ini, hidup dari guyuran dana otsus—merupakan bagian kompensasi pusat sesuai butir perjanjian damai—tanpa fondasi produksi yang kokoh dari dalam.

Dalam teori materialisme historis, dikenal dengan kekuatan dan relasi produksi. Nah, dalam struktur ekonomi seperti Aceh, kekuatan produksinya bukan pabrik atau tuan tanah yang memiliki lahan, melainkan distribusi anggaran oleh negara. Oleh sebab itu, keberadaan dana otsus tidak bersifat netral.

Walaupun otsus nilai gunanya seringkali dianggap untuk kepentingan publik, dalih pembangunan Aceh. Namun disisi lain, ini wujud ekspresi dari kepentingan elit politik, birokrat dan pengusaha sebagai triumvirat (tiga serangkai) yang mewakili kelompok dominan (kelas borjuis).

Karena dari sanalah nilai lebih (surplus value) diambil melalui struktur rente: distribusi pekerjaan, proyek, dan bahkan legitimasi sosial lahir. Biasanya dikelola segelintir elit politik dan birokrat.

Misalkan, program beasiswa pendidikan, kebijakan berputar dalam jaringan yang eksklusif: kegiatan proyek ditujukan langsung berdasarkan relasi dengan rekanan.

Berbagai laporan misalkan dari MaTA dan ICW, serta penelitian dari kampus, menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir penggunaan dana otsus tidak tepat sasaran dan minim kajian, asalkan proyek anggaran cair. Seperti pembangunan gedung, terminal, pasar yang berujung terbengkalai.

Selain itu, program-program bersumber dari dana otsus juga kerap digunakan pada sektor bernilai kecil dan kurang strategis. Seperti pelatihan; seminar wirausaha, pengadaan tong sampah.

Memang program kelihatan diatas kertas kesannya kecil, tapi sangat efektif untuk modal sosial membangun relasi kekuasaan menjelang pemilu—bukan berarti menghilangkan sisi objektivitas, bahwa sebagian dana otsus selama ini juga digunakan pada program strategis dan penting.

Konteks persoalan ini, kita perlu meminjam perspektif James C. Scott (1972), dalam artikel terkenal berjudul “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”. Scott, menjelaskan bahwa politik anggaran seringkali tidak berjalan sebagaimana idealnya: rasional, adil, dan merata. Melainkan mengikuti pola yang dibentuk oleh jejaring patron-klien.

Seringkali relasinya bersifat pribadi, hierarkis. Dalam pola ini, patron sebagai pemilik sumber daya menawarkan perlindungan, bantuan, atau akses pada kekuasaan.

Sebagai gantinya, klien, mereka yang membutuhkan membayar “balas jasa” dengan loyalitas dan dukungan politik. Scott kemudian melihatnya, sebagai perekat stabilitas di masyarakat agraris Asia Tenggara, namun sekaligus penghalang lahirnya institusi politik yang adil dan demokratis.

Kalau kita pikir, program-program yang dibiayai dana Otsus Aceh tampak kalah mentereng dan kurang akuntabel, dibanding program alternatif berbasis filantropis seperti yang digerakkan Edi Fadhil, sosok yang secara konsisten membangun rumah layak huni bagi masyarakat fakir miskin, dan kerap kita saksikan sendiri gaungnya di media sosial.

Potret kemiskinan di Aceh. Foto: Azwar Salim/tinjauan.

Paling Terpinggirkan

Berbicara distribusi dana otsus yang masih jauh dari rasa keadilan, sejenak kita perlu kembali pada pemetaan Power-Interest Matrix Mendelow. Dalam pusaran drama tentang berakhirnya dana Otsus, kita hampir lupa memasukkan satu kategori penting: kelompok “Minimal Effort”—mereka yang tidak pernah benar-benar disentuh manfaatnya dan tidak dilibatkan dalam prosesnya.

Kelompok minimal effort, yang seharusnya menjadi pusat perhatian kebijakan afirmatif, selama ini justru sebatas objek. Mereka tidak punya kuasa untuk bersuara, dan tidak tahu menahu karena merasa Otsus hanyalah urusan elite, bukan urusan mereka. Padahal merekalah cermin paling jujur tentang keberhasilan atau kegagalan otonomi khusus.

Kelompok ini adalah realitas ketimpangan yang hidup di antara kita. Seperti seorang nenek di Kabupaten Bireuen yang nyaris menjadi korban makelar bantuan rumah. Ia diminta menyerahkan uang jaminan 20 juta rupiah untuk mendapatkan rumah layak huni bagi warga miskin—yang seharusnya tak perlu dibayar. Kisah seperti ini bukan sebatas kasus individual, melainkan puncak gunung es.

Mirisnya, kasus itu ketahuan karena bocor di media sosial. Sehingga berlaku hukum: No viral, no justice. 

Selain persoalan maraknya pungli dalam program bantuan rumah bagi kaum lansia miskin. Banyak gampong-gampong di Aceh, sejak konflik sampai dengan saat era otsus situasinya kian tidak menentu.

Kita mengenal istilah brain drain: kekeringan bukan dalam arti secara harfiah, kekeringan akibat kemarau, tapi juga soal sumber daya manusianya. Banyak pemuda usia produktif pergi merantau, mencari pekerjaan yang layak.

Dibandingkan bertahan di kampung halaman. Karena setelah menamatkan kuliah, menenteng ijazah dengan bangga, tetapi bukannya mendapat pekerjaan, malah terjebak dalam lingkar pengangguran. Sementara di desa, sumber daya makin tipis, dan roda ekonomi masih bertumpu pada sektor agraris yang berjalan di tempat.

Tampaknya capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Aceh hanya berdenyut di kawasan perkotaan. Lihat saja Kota Banda Aceh, yang kini duduk di peringkat dua nasional untuk IPM.

Justru setiap tahun, BPS merilis bahwa penyumbang pertumbuhan ekonomi Aceh itu adalah mayoritas di sektor pertanian, berarti ada harapan, ekonomi tumbuh di desa.

Realitanya tidak demikian, kehidupan petani lebih sarat dengan kegetiran. Setiap menjelang musim kemarau datang, petani kembali was-was dengan ancaman gagal panen. Dalam situasi ini, peran dana Otsus mestinya hadir menguatkan—bukan dibanggakan sebatas jargon jerih payah perjuangan rakyat Aceh.

Misalkan di Kabupaten Pidie—kampung halaman saya—mayoritas penduduknya petani dan lahan persawahan paling luas, setiap musim kemarau seperti saat ini, banyak petani berjibaku sampai dini hari di area persawahan, menunggu jatah air yang dialiri lewat saluran irigasi kecil (alue), karena stok air menipis. Infrastruktur irigasi yang dijanjikan setiap musim pemilu, belum membuahkan hasil yang signifikan.

Sejak lama sektor pertanian masih tambal sulam. Sepertinya program pertanian lebih sering sifatnya konsumtif sesaat bukan pada kepastian menciptakan komoditas jangka panjang.

Jarang kita mendengarkan, program otsus digunakan untuk tujuan reforma agraria: pembebasan lahan sekaligus diberikan modal bagi petani miskin dengan mekanisme tata kelola kolektif, misalkan membangun koperasi dan pusat edukasi petani yang modern dan ramah lingkungan.

Maka, ketika sebagian elite ribut soal nasib dana Otsus, ada ironi yang tersembunyi. Pihak yang keras bersuara justru adalah mereka yang paling menikmati alokasi anggaran, bukan yang paling terdampak.

Karena itu, mempertanyakan kelanjutan dana Otsus tanpa melihat siapa yang terlupakan adalah wacana yang timpang. Jika dana Otsus sekadar diteruskan tanpa koreksi mendasar, maka kita hanya memperpanjang siklus distribusi yang tidak adil.

Seandainya kenyataannya dana otsus berakhir di tahun 2027, so what? apakah kita rakyat jelata harus histeria bersama: nangis guling-guling. Toh, dana otsus berlanjut atau tidak, tentunya rakyat selamanya buntung.

*Penulis adalah Dosen, Peneliti Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center.

Tags: AcehDana OtsusEKonomiekonomi AcehPemerintah Acehpolitik
ShareTweetSendShare

Related Posts

Review Laporan Keuangan Bank Aceh Syariah (I) ; Triliunan Dana Diinvestasikan ke Luar Aceh
Ekonomi

Review Laporan Keuangan Bank Aceh Syariah (I) ; Triliunan Dana Diinvestasikan ke Luar Aceh

September 10, 2025
Orkestrasi Tiongkok: Parade Militer dan kehadiran Prabowo
Dunia

Orkestrasi Tiongkok: Parade Militer dan kehadiran Prabowo

September 6, 2025
Hipotesis Peristiwa Proklamasi
Daerah

Bendera-bendera di Aceh

September 6, 2025
Ketika Opini “Masih Adakah Ulama Alumni Dayah” Memasuki Wilayah Kebenaran Baru
Daerah

“Teungku, Dayah Mana yang Aman dari Bully?” Melindungi Anak dari Perundungan

September 6, 2025
Jepang Maju dengan Melakukan Reformasi Sosial, Dimulai Tahun 1919
Dunia

Jepang Maju dengan Melakukan Reformasi Sosial, Dimulai Tahun 1919

September 4, 2025
Aceh dalam Geopolitik Global
Daerah

Aceh dalam Geopolitik Global

September 3, 2025
Next Post
Diskusi Dua Dekade Damai Aceh: Revisi UUPA untuk Kesejahteraan dan Keadilan

Diskusi Dua Dekade Damai Aceh: Revisi UUPA untuk Kesejahteraan dan Keadilan

Wagub Aceh Buka Seminar Internasional Sawit: Tata Kelola dan Rantai Pasok Jadi Kunci

Wagub Aceh Buka Seminar Internasional Sawit: Tata Kelola dan Rantai Pasok Jadi Kunci

Discussion about this post

Recommended Stories

Sejumlah Pejabat Akan Ikuti Uji Kompetensi dan Evaluasi, Isyaratkan Pergantian Kepala Dinas

Sejumlah Pejabat Akan Ikuti Uji Kompetensi dan Evaluasi, Isyaratkan Pergantian Kepala Dinas

September 6, 2025
Berdasarkan Nilai Garis Kemiskinan, Apakah Anda Masuk Kategori Miskin?

Berdasarkan Nilai Garis Kemiskinan, Apakah Anda Masuk Kategori Miskin?

August 10, 2025
Memaknai Kehadiran Presiden Prabowo di Beijing

Memaknai Kehadiran Presiden Prabowo di Beijing

September 3, 2025

Popular Stories

  • Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tak Kunjung Dapat Kerja di Aceh, Hendra Nekat Merantau ke Australia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari ini Presiden Prabowo akan Reshuffle Kabinet, Beredar Sejumlah Nama Menteri Baru

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Review Laporan Keuangan Bank Aceh Syariah (I) ; Triliunan Dana Diinvestasikan ke Luar Aceh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara (Suara dari Blang Padang untuk Keadilan Syariat)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • TINJAUAN.ID
  • Pedoman Media Siber
Email: redaksi.tinjauan@gmail.com

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Daerah
  • Nasional
  • Dunia
  • Ekonomi
  • Politik
  • Opini
  • Oase
  • Sejarah
  • Contact Us

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?