Dari tangan-tangan terampil ibu-ibu di Desa Lampanah, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, lahir produk ekonomi kreatif bernama Bili Droe.
Aceh Besar – Dari tangan-tangan terampil ibu-ibu di Desa Lampanah, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, lahir produk ekonomi kreatif bernama Bili Droe.
Usaha kecil yang dikelola Ulfa Fitria (37) ini sukses mengubah anyaman tradisional berbahan tumbuhan bili atau bemban menjadi produk khas Aceh yang kini dilirik pasar nasional hingga internasional.
“Ini semua buatan tangan ibu-ibu di Lampanah,” kata Ulfa, pemilik UMKM Bili Droe, saat ditemui di Banda Aceh. Kamis (7/11/2025).
Bulan ini menjadi masa paling sibuk bagi Ulfa. Pesanan datang bersamaan dengan jadwal pameran. Ia harus pintar membagi waktu antara mengurus pameran dan mengontrol produksi agar pesanan pelanggan tetap terpenuhi.

Cerita Bili Droe bermula dari kebiasaan masyarakat Lampanah sejak 1980-an. Saat itu, bili atau bemban hanya dianyam untuk kebutuhan rumah tangga, seperti tutup saji atau wadah jemur ikan.
Ulfa sendiri adalah generasi keenam perajin yang mewarisi keterampilan itu dari ibunya, pengelola kelompok Tunas Karya.
“Dulu hasil anyaman hanya untuk dipakai sendiri, tidak terpikir untuk dijual. Kalau pun dijual, pembelinya paling lewat cerita dari mulut ke mulut,” kenang Ulfa.
Tahun 2016 menjadi titik awal perubahan. Ulfa memberi nama baru pada kelompok anyaman itu: Bili Droe, yang berarti bili kita dalam bahasa Aceh. Dengan nama itu, ia ingin menjadikan anyaman bili bukan sekadar kerajinan rumah tangga, tapi juga identitas dan sumber ekonomi warga.
Awalnya, pemasaran menjadi tantangan besar. Produk tradisional sulit bersaing dengan barang pabrikan yang lebih murah. “Kadang barang sudah jadi, tapi pembeli tidak ada,” ujarnya.
Namun kini, situasinya berbalik. Permintaan terhadap produk Bili Droe terus meningkat. Tahun 2025 ini, produksi berbagai jenis kerajinan bili mencapai rata-rata 200 produk per bulan, naik dari tahun sebelumnya yang hanya sekitar 140 produk per bulan.
Bahan utama bili, yang dulunya tumbuh liar di hutan, kini mulai dibudidayakan warga. Batang bili disayat memanjang, dan bagian kulit luarnya yang hijau dijadikan bahan anyaman.
Dari bahan sederhana itu, lahirlah berbagai produk kreatif seperti tas, dompet, keranjang, vas bunga, hingga tempat tisu.
“Tumbuhan bili ini tumbuh hampir di setiap hutan atau perbukitan di Indrapuri dan sekitarnya.
Batangnya disayat dan dijemur, setelah kering baru dianyam,” jelas Ulfa.
Produk Bili Droe tak hanya mengusung nilai tradisional, tapi juga ramah lingkungan. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu pemanasan global, produk alami seperti bili semakin diminati
“Tanaman bili bisa dibudidayakan, jadi tidak merusak alam. Sekarang banyak yang cari produk ramah lingkungan,” katanya.
Selain berkontribusi pada pelestarian budaya, Bili Droe juga memberi dampak ekonomi bagi warga sekitar. Puluhan perempuan di Lampanah kini ikut terlibat sebagai penganyam, mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil penjualan.
“Saya bersyukur, usaha ini tidak hanya membantu keluarga saya, tapi juga membuka lapangan kerja bagi ibu-ibu di sekitar,” ujar Ulfa.
Dia mengatakan setiap helai anyaman punya cerita. “Ini bukan cuma soal kerajinan, tapi juga tentang menjaga warisan indatu (leluhur) dan memberi makna baru lewat karya,” tutup Ulfa.
Kini, Bili Droe tak sekadar nama merek. Ia menjadi simbol perempuan Lampanah yang berdaya lewat warisan tradisi membuktikan bahwa dari anyaman sederhana, bisa lahir karya besar yang membawa Aceh ke pentas dunia. (*)













Discussion about this post