Daud Beureueh menawarkan proposal kepada Sukarno dalam dialog yang selalu dikenang sebagai panggung epos kepahlawanan orang Aceh terhadap Indonesia.
Oleh: Muhammad Alkaf
Sebagai tokoh penting Aceh kontemporer, Daud Beureueh merupakan sosok yang memiliki banyak sisi. Kepadanya, status Aceh pascapendudukan Belanda dan Jepang dilabuhkan. Namun, kepadanya pula, amarah Aceh yang jatuh ke dalam Indonesia, dialamatkan.
Kepada Daud Beureueh, kebanggaan dan kemarahan dilekatkan sekaligus. Karena alasan demikian, dia menjadi sosok penting untuk mengurai kekusutan dan membuka jalan bagi Aceh dan Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan posisi Daud Beureueh dalam ingatan kolektif orang Aceh dan Indonesia.
Setelahnya, tulisan ini akan mendiskusikan wacana pengusulan Daud Beureueh sebagai pahlawan nasional, sebagaimana yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, di hadapan tokoh Aceh dari lintas golongan dalam satu seminar di Banda Aceh, 11 Juli 2025, yang diadakan oleh Syarikat Islam Aceh (https://Aceh.tribunnews.com/2025/07/11).
Dalam kesempatan itu, Yusril membuka kembali perspektif baru dalam melihat sosok Daud Beureueh, terutama perannya dalam sejarah nasional Indonesia.
Secara personal, Yusril terhubung dengan Daud Beureueh karena faktor Masyumi. Kedekatannya dengan Masyumi membawanya berjumpa dengan Osman Raliby, tokoh penting Aceh di lingkaran Daud Beureueh.
Perjumpaannya itulah yang membawanya dapat bertatap muka dengan Daud Beureueh. Pertemuan yang membekas itu, karena Yusril diusap kepalanyan dan dititipkan pesan untuk membantu Aceh, membuatnya menjadikan Aceh sebagai wilayah perjuangannya, bahkan secara personal, membela Daud Beureueh.
Masyumi pulalah yang membuat Yusril Ihza Mahendra berhutang kepada Aceh, karena M. Natsir, Perdana Menteri di awal masa pengakuan kedaulatan, yang mendatangani pembubaran provinsi Aceh. Hal yang sesungguhnya tidak ingin M. Natsir lakukan.
Dengan suara yang masygul, di hadapan para khalayak yang memadati Anjong Mon Mata, tempat acara berlangsung, Yusril menceritakan penyesalan M. Natsir yang gagal mencegah Daud Beureueh memberontak.
Pemberontakan Daud Beureueh bukan saja tentang perasaan seorang Singa Aceh, meminjam frasa dari Boyd R. Cmpton, yang terluka, tetapi juga menjelaskan relasi akan dua hal: pertama, hubungan pusat dan daerah. Kedua, pergumulan ide tentang Indonesia, yang mengendap kuat sampai dengan sekarang, antara Islam dan nasionalisme.
Dalam dua aspek itulah, sosok Daud Beureueh menjadi penting. Dia, karena memberontak, ibarat benang kusut yang tampak sulit diurai, tetapi sesungguhnya mudah untuk diluruskan. Kolonel M. Yasin, atas restu Sukarno, telah melakukan hal itu abad lalu.
Bagi M. Yasin, Daud Beureueh bukanlah pemberontak. Dia adalah orang tua yang terluka karena merasa dikhianati oleh negara yang ikut dibangunnya. Daud Beureueh yang keras kepala, bukankah itu yang menyebabkan tentara profesional seperti Hasan Saleh merasa frustasi, dibujuknya dengan segenap suara yang lirih dan penuh kesantunan. M. Yasin selalu berkeyakinan bahwa Daud Beureueh mencintai Indonesia, tidak ada yang berubah.

Indonesia di Mata Daud Beureueh
Pertanyaan itu dapat dijawab melalui dua peristiwa, Maklumat Ulama seluruh Aceh dan dialog Daud Beureueh dengan Sukarno.
Pada Maklumat Ulama seluruh Aceh, dua bulan setelah proklamasi dibacakan, empat ulama dan tiga aristokrat di Aceh menyatakan dukungan penuh kepada proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dari perspektif demikian, terutama bagi Daud Beureueh, yang namanya mulai menanjak di awal tahun 1930-an, Aceh dan Islam merupakan wilayah yang harus dibebaskan dari pendudukan asing (kaphe). Jalan sejarah yang ditemuinya adalah negara baru, yang bernama Indonesia.
Dalam tubuh Indonesia, dia selalu membayangkan Aceh baru, yaitu Aceh yang terlepas dari penjajahan, sekaligus berjaya seperti masa lalu di zaman Iskandar muda. Pembayangan itu didapatkannya pada zaman yang membentuknya (formative age), yaitu Pan-Islamisme.
Gagasan Pan Islamisme, sebagaimana juga modernisme Islam, menyapu negeri-negeri muslim terutama sejak akhir abad ke-19, melalui tiga tokoh yang paling utama: Jamal al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Ketiga sosok itu menjadi bara api bagi muslim di Indonesia untuk menata kembali struktur masyarakatnya. Mulai dari pembentukan organisasi massa, seperti Sysarekat Islam, Muhammadiyah, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), sampai menjadikan agenda-agenda politik sebagai jalan pembebasan, salah satunya gerakan Persatuan Muslim Indonesian(Permi) di Sumatra Barat.
Dalam suasana kebatinan itu, Daud Beureueh tumbuh. Bahkan, dengan pengalaman yang lebih distintif, karena dia membawa panji Aceh.
Bagi Daud Beureh, Indonesia adalah alasan teknis sekaligus ideologis untuk memulai masa depan Aceh yang membebaskan dalam bingkai Pan-Islamisme. Bagi orang dari generasinya, Indonesia yang dia bela dan pahami tentulah bukan negara yang sudah rapi secara birokrasi seperti dewasa ini.
Indonesia, sebagaimana yang diucapakan pada Maklumat Ulama seluruh Aceh pada 15 Oktober 1945, adalah imaji, pembayangan, dan cita-cita. Tidak ada bentuk konkret, kecuali apa yang tertulis dalam konstitusi “sementara” hasil konsensus lembaga konstituante bentukan Jepang: Dokuritsu Junbi Chōsakai. Selebihnya, Indonesia diserahkan kepada segenap manusia Indonesia, dari segala sudut wilayah bekas birokrasi kolonial.
Atas alasan itu, Daud Beureueh menawarkan proposal kepada Sukarno dalam dialog yang selalu dikenang sebagai panggung epos kepahlawanan orang Aceh terhadap Indonesia. Proposal untuk menjadikan Aceh memiliki wewenang mengurus dirinya secara otonom, termasuk untuk melakukan formalisasi hukum Islam.
Proposal itu diterima oleh Sukarno. Bahkan, selama dua tahun menjelang pengakuan kedaulatan, Aceh dapat mempraktikkan imajinasinya untuk menegakkan hukum Islam.
Peluang itu, lalu hilang sekejap setelah konstalasi politik berubah total karena pengakuan kedaulatan melalui Konfrensi Meja Bundar, yang berakibat berubahnya sistem politik dan struktur Negara Indonesia. Aceh dileburkan, Daud Beureueh meradang, Sukarno didakwa, dan Aceh pun melawan.
Rekognisi Peran Daud Beureueh
Pemberontakan Aceh yang pertama, Darul Islam, lalu dilanjutkan oleh Gerakan Aceh Merdeka memiliki muara yang sama: pengakuan tentang kontribusi dan komitmen untuk hidup bersama (nasion).
Dalam skema itu, Daud Beureueh menjadi sosok kunci untuk memahami ketegangan yang telah berakar tunjang.
Komitmennya untuk membantu Indonesia yang sedang papa merupakan contoh bagaimana cita-cita bersama dipikul bersama. Namun, sosoknya yang terluka, acapkali menjadi amunisi Aceh untuk meluapkan amarah ketika kekecewaan yang bersifat material muncul. Oleh karenanya, wacana pengusulan Daud Beureueh sebagai pahlawan nasional memiliki dimensi yang luas.
Pertama, rekognisi akan peranannya dalam konstruksi kaum republiken di Aceh. Pengakuan demikian tidak saja membalut luka yang kapan pun bisa menganga, tetapi juga penjelasan bahwa republik ini dibangun sejak awal melalui imajinasi yang tidak sama, kecuali pada satu hal: manusia merdeka.
Mengakui bahwa Daud Beureueh, yang mewakili Aceh kala itu, menghendaki Islam dalam bangunan negara nasional adalah langkah awal menuju rekonsiliasi dan reintegrasi yang lebih luas.
Kedua, Daud Beureueh ternyata tidak dilihat hanya sebatas pemimpin Islam di Aceh, tetapi juga secara nasional. Ketika pemberitaan mengenai wacana Daud Beureueh menjadi pahlawan nasional bergulir, netizen nasional di berbagai platform media sosial menyatakan dukungannya.
Artinya, jika Yusril membayangkan bahwa usulan Daud Beureueh sebagai pahlawan nasional dapat menegakkan wajah orang Aceh, ternyata implikasinya bahkan lebih dari itu.
Daud Beureueh, yang dipersepsikan sebagai wakil umat Islam Indonesia di awal pembentukan republik, akan menjadi alasan bahwa kontribusi kelompok Islam di masa awal telah diakui secara resmi oleh negara, setelah lama tersingkir dalam historiografi Indonesia.
Penutup: Rekognisi untuk Rekonsiliasi Nasional
Yusril Ihza Mahendra memiliki tugas sejarahnya untuk memperbaiki keadaan yang sudah runyam, selain, secara personal, dia memperbaiki keadaan yang M. Natsir gagal lakukan.
Jika dahulu, Daud Bereueh memberontak karena M. Natsir telat tiba di Banda Aceh, maka Yusril tidak ingin mengulangi hal itu kembali. Dengan alasan itu dia selalu bersama Aceh untuk bersama dalam Indonesia dengan memperbaiki keadaan masa lalu, mengakui kontribusi Daud Beureueh, dan menjadikan hal itu sebagai jalan untuk membangun integrasi dan rekonsiliasi yang utuh sesama anak bangsa.
Peluang untuk itu kini terbuka lebar, alasan utamanya karena Presiden Prabowo Subianto sedang melaksanakan amanat sejarah untuk membangun persatuan nasional. Persatuan nasional akan terwujud ketika ganjalan masa lalu, terutama oleh para pendiri bangsa ini, diselesaikan secara bijak.
Alasan berikutnya adalah momentum dua puluh tahun perdamaian Aceh yang selalu dirayakan dengan perasaan suka cita sekaligus berharap cemas. Harapan yang beraduk menjadi satu itu, paling kurang, dapat diobati dengan keinginan bersama, baik Aceh maupun Pemerintah Pusat, untuk berjabat tangan bersama akan peristiwa masa lalu untuk masa depan bersama.
*Penulis adalah Dosen Institut Agama Islam Negeri Langsa, seorang esais.
Discussion about this post