Dari sebuah kelas kecil di sudut dayah, Lhee Club kini menjelma ruang aman bagi banyak anak muda Pidie untuk membaca, berbicara, dan bertumbuh.
SIGLI – Di sebuah gampong kecil bernama Meunasah Lhee, Kecamatan Simpang Tiga, Pidie, berdiri sebuah ruang belajar sederhana yang kini ramai disinggahi anak-anak dan remaja. Ruang itu bernama TBM Lhee Club, sebuah taman baca masyarakat yang lahir dari tekad seorang perempuan muda, Dinda Jouhana.
Semua bermula di akhir tahun 2021, saat Dinda pindah ke Sigli mengikuti suaminya dan menetap di rumah mertua. Di kompleks Dayah Istiqamatuddin Babulhuda—dayah harian yang didirikan mertuanya—ia memulai sebuah kelas Bahasa Inggris informal. Tepat pada 7 Juni 2022, sepuluh santri hadir di kelas perdana itu. Dari ruang kecil itulah, obor literasi mulai menyala.
Seiring waktu, kegiatan sederhana ini tumbuh pesat. Januari 2024 menjadi tonggak penting, Lhee Club menerima ratusan donasi buku dari jaringan sahabat Dinda di Jakarta.
Koleksi buku pun melimpah, jejaring literasi terbentuk, dan pada Oktober 2024, Lhee Club resmi menjadi Taman Baca Masyarakat (TBM). Kini, dengan lebih dari 2000 judul buku dan 55 anggota aktif, TBM Lhee Club tak hanya sekadar perpustakaan, tapi juga pusat kegiatan belajar anak-anak.
Ada kelas membaca nyaring, menulis, Bahasa Inggris, hingga public speaking. Ada pula kegiatan insidental seperti memilah sampah, mendaur ulang kertas, dan berkebun. “Visi kami sederhana, membentuk masyarakat yang senang belajar dan terbiasa berpikir kritis agar mampu memecahkan persoalan di sekitarnya,” jelas Dinda sambal merapikan buku di lapak literasi yang dibentangkannya.

Lapak Literasi di Lapangan Panjat
Pada Mei 2025, TBM Lhee Club bekerja sama dengan FPTI Pidie meluncurkan kegiatan yang bertema: Lapak Literasi. Ide awalnya sederhana, yakni membawa buku keluar kampung, menggelarnya di lapangan panjat tebing PCC, agar lebih banyak orang bisa membaca.
Namun, lapak itu berkembang menjadi ruang diskusi santai, bahkan di kegiatan terbarunya di lapak literasi ia menggelar diskusi dengan tema dan format baru, seperti sore hari ini dengan diskusinya bertajuk “Ngobrolin Negara.”
Ditanya apa motivasi Dinda melakukan gebrakan kreasi itu, ia mengatakan, “Biasanya obrolan buku melebar ke hal-hal personal. Orang merasa aman bercerita. Kali ini, kami sengaja memberi tema: negara dan keresahan publik. Supaya ada ruang aman untuk bicara tanpa penghakiman.”
Meski baru berlangsung tiga bulan, Lapak Literasi sudah menarik minat banyak orang. Ada yang datang karena suka membaca, ada yang hanya ingin mendengar diskusi, ada pula yang awalnya diam lalu perlahan berani memperkenalkan diri. “Itu kemajuan besar. Kerja literasi itu marathon, tak bisa diukur instan,” ujarnya.
TBM Lhee Club bertahan dari dukungan banyak pihak. Dari donasi buku, bantuan dana, hingga tenaga relawan. Sejak Juni 2025, Dinda mulai dibantu relawan untuk kegiatan besar, bahkan sejak Agustus ada satu relawan part-time yang rutin hadir.
Namun, tantangan terbesarnya tetap soal konsistensi. Lapak Literasi memang rutin berjalan dua minggu sekali, tetapi energi terbesar masih bergantung pada Dinda sendiri. “Kalau ada satu orang datang saja, bagi kami itu sudah berhasil,” katanya, tertawa.
Harapan Menjadi Gerakan Bersama
Ke depan, Dinda berharap Lapak Literasi bisa menjadi wadah lintas komunitas, bukan sekadar program TBM Lhee Club. Ia ingin ada kolaborasi lebih luas, dengan siapa saja yang peduli. “Literasi itu kerja kita bersama. Tidak melulu donasi uang. Ada waktu, ayo datang. Ada tenaga, ayo bantu. Ada pikiran, ayo berbagi ide,” pesannya.
Dari sebuah kelas kecil di sudut dayah, Lhee Club kini menjelma ruang aman bagi banyak anak muda Pidie untuk membaca, berbicara, dan bertumbuh. Sebuah bukti bahwa api literasi bisa menyala, bahkan dari ruang yang paling sederhana.
Dari sebuah kelas kecil di sudut dayah, Lhee Club kini menjelma ruang aman bagi banyak anak muda Pidie untuk membaca, berbicara, dan bertumbuh. Sebuah bukti bahwa api literasi bisa menyala, bahkan dari ruang yang paling sederhana.
Dan seperti yang diyakini Dinda, literasi bukan sekadar tentang buku, melainkan tentang keberanian mengambil bagian. “Kita tak bisa hanya diam. Literasi itu kerja bersama. Ada waktu, ayo datang. Ada tenaga, ayo bantu. Ada pikiran, ayo berbagi ide.”
Sebuah ajakan yang sederhana, tapi bila dijalankan, bisa mengubah wajah sebuah generasi.[]
Discussion about this post