Berdasarkan kajian teori sosial, kehadiran aktor-aktor yang menjadi provokator dalam demonstrasi bukanlah kebetulan, melainkan strategi terencana untuk mengalihkan narasi dan memberikan legitimasi bagi tindakan represif.
Oleh: Tuanku Muhammad Radiyan*
Akhir-akhir ini, gelombang unjuk rasa kembali memenuhi jalan-jalan ibu kota dan berbagai kota besar di Indonesia. Suara-suara yang menuntut keadilan dan perubahan bergema lantang, mencerminkan dinamika demokrasi yang hidup. Namun, di balik semangat perjuangan yang mulia tersebut, muncul bayangan kelam yang mengancam: eskalasi kekerasan yang telah memakan korban jiwa.
Tragedi kematian dalam aksi demonstrasi bukan lagi sekadar angka statistik, melainkan potret suram betapa mudahnya situasi damai berubah menjadi arena berbahaya.
Fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari kehadiran provokator yang kerap menyusup dalam barisan demonstran. Berdasarkan kajian teori sosial, kehadiran aktor-aktor ini bukanlah kebetulan, melainkan strategi terencana untuk mengalihkan narasi dan memberikan legitimasi bagi tindakan represif.
Setiap nyawa yang melayang menjadi pengingat pahit bahwa ruang demokrasi kita masih rentan terhadap manipulasi dan kekerasan yang dibungkus kepentingan politik.
Demonstrasi merupakan manifestasi fundamental dari hak berserikat dan berkumpul dalam sebuah demokrasi. Bagi sejarawan Charles Tilly, unjuk rasa menjadi salah satu repertoires of contention atau kumpulan strategi pertentangan, yakni sarana sah bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan menuntut perubahan.
Namun, dalam situasi politik yang tegang, kemurnian tujuan ini sering diuji oleh kehadiran aktor-aktor yang ingin mengalihkan narasi, yaitu provokator. Memahami dinamika ini melalui lensa teori sosial bukan hanya akademis, melainkan sebuah keharusan praktis untuk menjaga nyawa dan mempertahankan integritas perjuangan.
Provokator selalu dijadikan sebagai alat penutup ruang demokratis. Dalam Teori Proses Politik (Political Process Theory) dinyatakan bahwa gerakan sosial membutuhkan political opportunity structure – celah dalam sistem politik – untuk dapat efektif. Aksi demonstrasi damai berusaha membuka celah ini dengan menunjukkan dukungan publik yang luas dan legitimasi moral.
Kehadiran provokator, yang sering kali didalangi oleh pihak yang berkepentingan mempertahankan status quo, bertujuan khusus untuk menutup celah ini dengan cepat.
Tindakan anarkis yang mereka picu memberikan justifikasi bagi pihak berwenang untuk melakukan pembubaran paksa, seringkali dengan kekerasan, sehingga mengakhiri potensi dialog dan mematikan jalur perubahan yang damai. Dengan kata lain, provokator adalah instrument represif yang menyamar untuk meredam suara rakyat.
Aktor-aktor semacam ini akan dikerahkan untuk merusak mobilisasi dan legitimasi. Kesuksesan sebuah gerakan bergantung pada kemampuannya mengumpulkan sumber daya; dukungan publik, simpati, dan organisasi yang solid. Ini yang disebut sebagai Resource Mobilization atau mobilisasi sumber daya.
Provokator secara sistematis menyerang sumber daya ini. Sebuah demonstrasi yang tertib dan damai memiliki modal sosial yang besar. Namun, satu tindakan pelemparan batu atau pembakaran yang diprovokasi dapat mengubah citra tersebut secara instan di mata publik. Narasi media beralih dari “massa menuntut keadilan” menjadi “perusuh anarkis”. Dukungan publik pun luntur.
Simpulnya, provokator bekerja untuk meracuni sumber daya terpenting gerakan: legitimasinya.
Lebih penting lagi, perlu digaungkan suatu narasi damai yang harus dipertahankan bagaimana caranya.
Gerakan sosial perlu membangun framing atau bingkai naratif yang kuat untuk mendapatkan dukungan, seperti bingkai “perlawanan terhadap ketidakadilan” atau “perjuangan rakyat”.
Provokator hadir untuk merusak bingkai ini dan menggantinya dengan counter-frame yang destruktif, seperti “kekacauan”, “anarki”, atau “ancaman ketertiban”. Pelemparan molotov oleh segelintir orang yang didalangi lebih powerful dampaknya daripada ribuan spanduk yang berisi tuntutan.
Ia menggeser seluruh percakapan publik. Karena itu, kewaspadaan terhadap provokator adalah bagian dari perang bingkai, yaitu mempertahankan makna dan tujuan sebenarnya dari demonstrasi.
Oleh karena itu, kewaspadaan kolektif harus ditingkatkan demi keberlangsungan gerakan unjuk rasa yang sistematis, solid dan rapih. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil adalah:
Pertama, adalah pengorganisasian yang lebih ketat. Peningkatkan koordinasi dan disiplin internal merupakan hal mutlak. Setiap peserta harus memahami rute, waktu, dan tata tertib. Pengawal aksi yang terlatih dan dapat diidentifikasi dengan jelas merupakan sumber daya penting untuk mengantisipasi infiltrasi.
Kedua, patroli mandiri oleh relawan wajib dilakukan untuk memantau gerak-gerik mencurigakan di sekitar kerumunan. Teori Proses Politik mengajarkan bahwa lawan akan memanfaatkan kerentanan. Mengidentifikasi provokator potensial sebelum mereka bertindak adalah bentuk pertahanan proaktif.
Ketiga, dalam dunia dengan informasi yang serba cepat, pendokumentasian secara cerdas menjadi hal krusial. Setiap aksi provokatif harus di dokumentasi secara jelas. Bukti visual ini tidak hanya berguna untuk otoritas hukum tetapi juga untuk counter-narasi di media.
Keempat, dalam perang bingkai, bukti adalah senjata. Penyebarluasan rekaman dengan konteks yang tepat harus dilakukan demi mempertahankan framing demonstran yang damai.
Kelima, dan ini yang terpenting, adalah menjaga keselamatan nyawa. Jika provokasi memicu kekerasan dan eskalasi tidak terhindarkan, keselamatan jiwa adalah hal yang paling utama. Menjauh dari episentrum kerusuhan bukanlah bentuk pengecut, melainkan strategi untuk melestarikan perjuangan dalam jangka panjang. Korban seperti Almarhum Affan Kurniawan dan beberapa korban lainnya adalah sedikit contoh dari eskalasi yang tidak terkontrol. Tragis tetapi seharusnya dapat dihindari.
Demonstrasi damai adalah pilar demokrasi, sementara provokator adalah antitesisnya. Dengan memahami motif dan taktik mereka, kita tidak hanya menjadi waspada, tetapi juga menjadi lebih cerdas dan strategis dalam berjuang.
Mari kita suarakan aspirasi dengan lantang, namun juga lindungi setiap nyawa dengan kesadaran penuh. Karena pada akhirnya, kemenangan sebuah gerakan diukur dari kemampuannya membawa perubahan nyata, bukan dari jumlah kerusakan yang ditinggalkan.
*Penulis adalah pengamat politik, peneliti Center for Aceh Development (CAD), Ketua PW Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) Nanggroe Atjeh Darussalam.
Discussion about this post