Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
No Result
View All Result
Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
Home Sejarah

Memoar Konflik Aceh hingga Damai: Lima Tahun “Terjebak” dalam Perang

TINJAUAN ID by TINJAUAN ID
August 17, 2025
Reading Time: 7 mins read
0
Memoar Konflik Aceh hingga Damai: Lima Tahun "Terjebak" dalam Perang

Zulfadli Kawom dan para aktivis mahasiswa.

Oleh: Zulfadli Kawom*

Selama konflik Aceh, banyak kisah yang terjadi dan belum pernah diceritakan sebelumnya. Aku mencoba mengisahkan peristiwa selama perang hingga akhirnya perdamaian Aceh bisa dicapai.

Cerita Kepulangan Awak GAM

Orang-orang berjaket, memakai topi pet, kadang topi rimba dan sepatu boat. Ada juga yang memakai topi jenis trucker dan berambut gondrong ala-ala penyanyi Malaysia. Sebagian dari mereka memang baru pulang dari Malaysia.

Mereka mengendarai sepeda motor berseliweran di kampung dengan bebas, berceramah di kedai-kedai kopi dan rumah-rumah kenduri. Sebagian kukenal terutama orang daerah aku dan masih famili. Almarhum Baka, Alm.Bang Ma’e (Ismail Syahputra), Al Apaki Rayeuk. Ada juga teman-temanku yang lain yang baru bergabung dengan mereka, yang paling terkenal di daerah kami adalah Teungku Ilyas Pase, orator ulung yang berani berpidato, ceuramah GAM di Lapangan terbuka yang di saksikan ribuan orang, aparat kecamatan tak bisa berbuat banyak waktu itu.

Setelah ceramah-ceramah GAM terbuka selesai, perekrutan dimulai. Mereka akan dilatih militer di hutan-hutan Pase yang berbatasan dengan Dataran Tinggi Gayo. Pon, Kir, Joy, Din, kawan kecilku direkrut. Aku baru saja mendaftar kuliah di sebuah universitas di Kota Lhokseumawe.

Orang-orang kampung sangat mendukung mereka, memberi makan, membayar kopi, memberi fasilitas lain seperti mobil, sepeda motor, telepon genggam dan bahkan membeli pakaian. Banyak juga yang menyumbang uang, bahkan menikahkan anak mereka dengan awak GAM, hal itu merupakan sebuah kebanggaan.

8 November 1999

Saat tahun pertama kuliah (masih semester dua), aku sangat senang bisa kenal dan bergabung dengan teman-teman mahasiswa, terutama abang leting yang telah menjadi aktifis.

Setiap hari ada saja orasi atau mimbar bebas di kampus Universitas Malikussaleh. Aku juga senang bisa kenal dengan mahasiswa kampus lain Saat itulah aku mulai masuk serius dalam organisasi Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dan mulai ikut-ikut rapat.

Setelah pulang kuliah aku punya tugas di kampung-kampung untuk menyebarkan informasi terkait referendum Aceh. Tentu saja masyarakat mendukung, walau ada juga dari pihak GAM yang meragukan solusi ini. Sering terjadi perdebatan, namun akhirnya mereka menerima juga.

Hingga Suatu waktu kami mengumpulkan massa dari berbagai kampus di Kota Lhokseumawe, anak-anak Politeknik tidak diberikan izin keluar kampus pada tanggal 8 November 1999,saat akan berangkat ke Banda Aceh.

Kami sudah menyediakan Bus Bireuen Express, massa dari kampung-kampung sudah keluar dengan pick up, truck, hingga sepeda motor menuju Kota Banda Aceh, dimana di dilaksanakannya acara Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh di halaman Mesjid Raya yang menjadi lautan massa.

Tahun berikutnya pada saat SIRA Rakan mengalami kegagalan karena dihadang aparat di jalan, aku terkurung di sebuah rumah di kawasan Mon Geudong, karena saat itu menjadi semacam pusat informasi.

Suara Pesawat Hercules setiap hari terdengar di sebuah bandara tak jauh dari rumahku, razia dimana-mana, sepanjang jalan ada drum minyak di depan pos aparat dengan wajah tak bersahabat, truk reo saban menit melintas, di kampung-kampung ada pos tentara, media-media mengabarkan kontak tembak dan kematian.

Menjadi Relawan Kemanusiaan di Posko

Tahun 2000 (semester tiga kuliah) aku menjadi Relawan di Posko Mahasiswa dan Rakyat keu Aceh (Pemraka), ditempatkan di Sawang. Sebuah kawasan spot dimana orang-orang bebas menenteng senjata. Di atas meja kedai kopi ada senjata api merupakan pemandangan biasa.

Sebelum berpindah ke Nisam dan ke Paya Bakong, aku bertempat di posko di Keude Babah Buloh, Kecamatan Sawang. Disanalah aku mengenal beberapa tokoh GAM Wilayah Pase, diantaranya Ahmad Blang, Syaridin dan lain-lain.

Aku dan teman-teman dari beberapa kampus lain seperti Politeknik dan Akper di tempatkan pada sebuah kedai kosong. Disanalah kami membuat dapur umum, sekretariat dan lain-lain.

Malam hari kami tidak tidur, situasi tidak menentu, kadang masyarakat di sana menawarkan makan dan tidur di rumah mereka. Kadang aku dan teman-teman hanya menumpang tidur di Balee depan rumah mereka. Kalau ada apa-apa atau bahaya mengintai, mudah terpantau, karena tidak semua tidur (tidur bergiliran).

Saat itu logistiknya ditanggung oleh Geuchiek Tar, seorang karyawan PT.KKA, dan juga anggota GAM (terakhir aku tahu dia terlibat). Kami juga sangat dekat dengan Apa Li, sekuriti PT KKA yang juga bergabung dengan GAM. Terakhir aku tahu dia meninggal karena memegang bom. Serta Apa Kari Gampong Teungoh, desertir Polisi yang menjadi GAM.

Masyarakat sangat senang dengan kedatangan kami ke kampung dan mendirikan Posko di sana. Seolah-olah masa itu, kami adalah “savior” bagi mereka, terutama ketika ada aparat masuk kampung, kamilah yang akan bernegosiasi dan melakukan upaya advokasi dan dengan bangga menggunakan jas almamater.

Saat itu masyarakat tidak mau tahu kami dari organisasi apa dan kampus mana yang penting ‘mahasiseuwa’.

Siang malam mereka mengunjungi Posko kami, mereka mengadu, anak, suaminya yang diambil (ditangkap) aparat.

Milad GAM 

Tanggal 4 Desember tahun 2000, diadakan Milad Pertama GAM dalam nanggroe. Masa itu semua rumah menaikkan bendera bulan bintang. Sepanjang jalan meukuprak bendera merah bergaris hitam putih, ditengahnya ada bintang bulan.

Pagi, pukul 09:00, dari posko, kami melewati jalan elak. Jalanan sangat sepi, di sisi kiri kanan jalan penuh dengan bendera bulan bintang berkibar-kibar.

Kami berlima terus melewati jalanan sunyi itu. Tiba-tiba, anggota TNI keluar dari parit,ternyata tadi dengan posisi tiarap, sehingga tidak terlihat bangun dan mengarahkan senjata M-16 ke arah kami.

Kami di interogasi dan diangkut dengan truk reo, di gelandang ke kantor camat. Pada sebuah bangunan tua peninggalan ulee balang Geurugok, di sanalah aku mengetahui mereka dari Kesatuan Linud 700.

Di sana kami diinterogasi lagi dengan berbagai pertanyaan, tapi kami tidak dipukuli, sesekali diceramahi. Kami menghubungi senior kami di Posko Utama di terminal Lhokseumawe, tidak ada satupun dari mereka datang, saya sudah pasrah.

Selama di pos BKO ini kami diperlakukan dengan baik, kami tidak dipukuli. Cuma mereka sedikit kesal,mengapa mahasiswa mendukung kaum pemberontak.

Sore hari, kami baru dilepas, tapi KTP dan KTM ditahan, dan kami harus melapor selama tiga hari berturut-turut ke pos mereka.

Kami sangat lega, bisa pulang dengan selamat, dan setelah itu kami tidak melapor lagi. Karena takut, akhirnya KTP dan KTM saya urus yang baru.

Setelah kejadian itu aku pindah posko ke Nisam, untuk selanjutnya ke Paya Bakong (daerah yang sangat “panas”).

Di Nisam aku tinggal di sebuah kedai papan di pinggir sungai Keude Amplah, arah ke Keutapang. Yang aku ingat saat itu, lagi musim durian. Di posko banyak sekali buah durian yang dipetik dari Kawasan Uroung. Di sana tempat GAM berlatih dan juga menjadi markas besar.

William Nessen juga pernah tinggal di sana sebelum dijemput turun ke Simpang KKA, dimana sebuah simpang yang membuat aku trauma sampai sekarang.

Sekitar seminggu di Nisam aku pindah ke Matangkuli. Tepatnya posko di Simpang Parang IX. Lumayan ramai relawan di sana, aku dilarang pergi ke Keude Matangkuli. Kata mereka Brimob Matangkuli terkenal ganas, beberapa relawan pernah kena pukul.

Di Posko Matangkuli, masyarakat mengantar makanan dalam rantang buat kami. Secara rutin kami mengunjugi pengungsi di Mesjid Paya Bakong. Di sana aku selalu kontak dengan Abu Len. Saat ini menjabat Ketua KPA Wilayah Pasee. Di masa jeda kemanusiaan, aku juga lebih banyak berkomunikasi dengan Alm. Ibrahim Kbs dan Alm. Teungku Ni.

Uniknya di sana para awak GAM terlihat mandiri dan sejahtera, mereka menggunakan pakaian bermerek sampai sepatu, bahkan rokok dan minuman berenergi. Mereka juga merakit sendiri senjata dibawah pimpinan almarhum Ahmad Leupon. Pria yang suka pakai topi pet, kacamatan hitam, baju trucker, celana jeans dan sepatu boots.

Aku bertahan sampai tahun 2001 di Paya Bakong. Selanjutnya aku lebih banyak pulang pergi dari kampus ke gunung, sesekali menumpang truk pengangkut material bangunan (colt diesel) dan terkadang pick up pedagang hari pekan, agar aman saat ada sweeping. 

Diperiksa di Pos BKO Marinir Yon 2 di Komplek Makak Sultanah Nahrasiyah di Gampong Kuta Krueng, Geudoeng, Samudra, Aceh Utara Tahun 2021

Dipukuli Brimob Saat Akan Pulang Buka Puasa Bersama Orang Tua

Lama sekali aku tidak pernah pulang. Orang tuaku kurang tahu keberadaan dan aktifitasku. Sangking rindunya buka puasa bersama orang tua, aku nekad pulang ke Krueng Mane dari Paya Bakong.

Aku naik sepeda motor Supra bersama seorang teman yang relawan juga. Sekitar tiga bulan lalu dia meninggal dunia di Banda Aceh. Pukul 17 sore kami bergerak dari Paya Bakong. Kami berjalan pelan dan sangat hati-hati karena banyak pos aparat. Sebisa mungkin kami elak, apalagi Simpang Rangkaya dan Daerah Jungka Gajah, jalan len pipa Exxon Mobil dijaga ketat aparat. Biasanya kami cari jalan tikus hingga sampai ke Kota Lhokseumawe dan kami terus memantau keadaan dengan bertanya pada warga, atau biasanya mereka yang akan memberitahu kami.

“Bek kakouh keunan ret na teuntra atau Brimob,” begitu kata mereka. Kadang sedang kontak senjata atau sedang ada sweeping.

Pukul 6 sore kami tiba di Kota Lhokseumawe dengan selamat. Kami terus bergerak lewat jalan nasioanal ke arah barat. Menjelang magrib, suasana begitu lengang. Yak ada kios dan kedai yang buka. Kami mulai curiga, tapi tak ada tempat bertanya. Biasa kami beli sesuatu dan bertanya, handphone pun tak ada.

Sepeda Motor kami jalan pelan-pelan. Suasana sangat lengang, kami tidak berhenti. Akupun sudah lama tidak pulang, tak ngerti situasi. Kata Almarhum Nazar, “kita berhenti saja dan balek ke Lhokseumawe.”

Aku menjawabnya, “bahaya kalau kita mutar tiba-tiba, disini banyak aparat, karena kawasan industri. Apapun cerita aku rindu buka puasa bersama orang tuaku, kamu kan enak, rumahmu di Kedai Aron, dekat posko,” kataku.

“Ok lah, kalau begitu”katanya agak pasrah.

Kamj pun sampai di simpang empat Krueng Geukueh. Di depan pagar Komplek Asean ada pos, aku tahu memang, tapi dulu aku tidak pernah di stop. Aku nekad saja melewati drum minyak yang dipasang zig-zag di depan pos aparat Simpang Empat. Tiba-tiba ada cahaya senter, padahal kami hampir melewati drum terakhir.

Ada suara sangat besar dari arah belakang, “Hoy..balek kalian..balek..balek. balek” kata mereka. Akupun mengarahkan sepeda motor ke pos dan diikuti aparat. Sepeda motor kami parkir di depan pos, kami di gelandang ke dalam, sangat gelap, bau kencing menyengat.

“Dari mana dan mau kemana kalian?” tanya salah satu dari mereka.

“Dari Lhokseumawe mau pulang ke rumah orang tua di Krueng Mane,” jawabku.

“Buka dompet kalian,” kata yang lainnya.

Aku memberi dompet, Nazar di periksa oleh yang lain dalam kegelapan di belakang aku, mereka menyenter dompetku.”

“Kau GAM ya?” kata mereka.

“Bukan Pak,” jawabku.

Mereka menemukan kartu mahasiswa ku.

“Kau pikir mahasiswa hebat kali?”

Tanpa sempat ku jawab, tiba-tiba bogem mendarat di muka dan bibirku. Dari arah belakang, aku ditendang dan dipukul pakai benda keras seperti besi. Aku ditendang di perut beberapa kali. Tendangan pertama sangat sakit, aku tak menjawab apapun lagi pertanyaan, karena benar atau salah tetap kena pukul, pikirku.

Sangking banyak sekali pukulan, badanku terasa seperti kebas, tidak terasa sakit lagi. Aku hanya mengulum-ngulik bibir yang mulai keluar darah. Terasa asin saat aku telan.

Aku diangkat dari jatuh, digiring ke pos belakang. Ternyata pimpinan mereka, mereka hanya pakai celana coklat tua dan baju kaos coklat. Tak ada tulisan nama kesatuan dan namanya. Disana aku diceramahi lagi “kau tahu, kalau Gus Dur kemari, Gus Dur pun ku tembak,” katanya lagi.

Aku hanya menunduk sambil menahan perih, terutama di perut.

“Sekarang kalian mau kemana?” tanya komandan mereka.

“Pulang kerumah orang tua pak,” jawabku lagi.

“Ok.. Kalian boleh pulang kalian, tapi sepeda motor harus kalian dorong sampai lewat drum minyak.”

Aku mengangguk, “Ya Pak”.

Aku mendorong sepeda motor keluar dari pos, dalam kegelapan dan sangat sunyi, hanya terdengar suara orang shalat tarawih dari mic lonceng Meunasah.

Nazar mendorong motor dari belakang. Dalam hati aku berpikir, “pu ek leupie rueng”.

Akhirnya aku sampai di rumah. Tak ku ceritakan apa pun pada orang tua, aku anak laki-laki pikirku lagi. Kata Ibuku, jangan lama-lama di rumah. Kemarin aparat di pos kampung kita nanya kamu, dan disuruh melapor kalau sudah pulang.

Akupun segera ke dapur dan makan, sudah hampir jam 10 malam. Setelah makan, perutku mules dan harus segera ke kakus, aku pamit dan tidur di rumah teman di Uteun Geulinggang yang lumayan aman.

Hampir tiga bulan aku berobat sendiri, karena apapun yang ku makan segera ingin keluar. Kata dokter, lambungku luka karena benturan keras. Sampai sekarang bibirku sebelah kanan masih keras (beku darah).

Posko Relawan Mahasiswa Aceh Utara Peduli Gempa dan Tsunami di Simpang Telkom Kota Lhokseumawe.

Darurat Militer Hingga Darurat Sipil, Tsunami dan Perdamaian

Saat Darurat Militer, aku lebih banyak di kampus, tidurpun di sekretariat BEM, sambil terus menyalurkan bantuan sosial, seperti logistik dan obat-obatan kepada pengungsi.

Di kampus pun aku sering membuat acara seminar dan lomba, hingga aku menjadi Ketua BEM Universitas Malikussaleh sampai tsunami. Saat tsunami kami mendirikan Posko Relawan Mahasiswa di depan Telkomsel, sekarang SPBU.

Kami mengevakuasi mayat, menangani pengungsi, menggalang bantuan, kembali membangun posko di titik-titik pengungsi tsunami dari Krueng Mane sampai Seuneudon.

Setelah perdamaian, teman-temanku mengajak aku masuk partai. aku tidak tertarik. Malah aku masih ingin berada di lapangan bersama masyarakat. Dan aku pun bergabung dengan organisasi masyarakat adat Aceh dan sesekali menjadi konsultan NGO dan UN Agency.

*Penulis adalah budayawan.

Continue Reading
ShareTweetSendShare

Related Posts

KH. Idham Chalid: Sosok Ulama Politisi yang Hidup Sederhana, Pernah Jadi Ketua DPR-RI Termiskin
Oase

KH. Idham Chalid: Sosok Ulama Politisi yang Hidup Sederhana, Pernah Jadi Ketua DPR-RI Termiskin

August 27, 2025
Renungan Kemerdekaan: Menelisik Sejarah Islam di Indonesia.
News

Refleksi Kemerdekaan: Menelisik Kembali Sejarah Islam di Indonesia

August 18, 2025
Pengibaran bendera merah putih pertama di Aceh dalam Tahun 1945
Sejarah

Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Aceh dalam Tahun 1945

August 3, 2025
Ketika IAIN Beralih Kiblat
Sejarah

Ketika IAIN Beralih Kiblat

August 2, 2025
Sejarah Investasi di Aceh Paska Pemberontakan Darul Islam dan Ditutupnya Pelabuhan Bebas Sabang
Sejarah

Sejarah Investasi di Aceh Paska Pemberontakan Darul Islam dan Ditutupnya Pelabuhan Bebas Sabang

July 30, 2025
Sejarah Peresmian Pabrik Gula Cot Girek. Presiden Soeharto Datang Naik Helikopter
Sejarah

Sejarah Peresmian Pabrik Gula Cot Girek, Presiden Soeharto Datang Naik Helikopter

July 26, 2025
Next Post
Gubernur Mualem Sebut Aceh Pasca 20 Tahun Damai Jadi Salah Satu Daerah Teraman di Indonesia.

Gubernur Mualem Sebut Aceh Pasca 20 Tahun Damai Jadi Salah Satu Daerah Teraman di Indonesia

Bupati Aceh Barat Tarmizi Pimpin Upacara Detik-Detik Proklamasi RI ke-80

Bupati Aceh Barat Tarmizi Pimpin Upacara Detik-Detik Proklamasi RI ke-80

Discussion about this post

Recommended Stories

Inflasi tahunan Indonesia 2022 meningkat, lampaui prediksi BI

January 3, 2023
STISNU Aceh Lakukan Peletakan Batu Pertama Gedung Birokrat Baru

STISNU Aceh Lakukan Peletakan Batu Pertama Gedung Birokrat Baru

August 30, 2025
Sekda Aceh Tinjau Pembangunan Gedung Utama MTQ Provinsi di Pidie Jaya: Progresnya Capai 91 Persen

Sekda Aceh Tinjau Pembangunan Gedung Utama MTQ Provinsi di Pidie Jaya: Progresnya Capai 91 Persen

August 23, 2025

Popular Stories

  • Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tak Kunjung Dapat Kerja di Aceh, Hendra Nekat Merantau ke Australia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Review Laporan Keuangan Bank Aceh Syariah (I) ; Triliunan Dana Diinvestasikan ke Luar Aceh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari ini Presiden Prabowo akan Reshuffle Kabinet, Beredar Sejumlah Nama Menteri Baru

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara (Suara dari Blang Padang untuk Keadilan Syariat)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • TINJAUAN.ID
  • Pedoman Media Siber
Email: redaksi.tinjauan@gmail.com

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Daerah
  • Nasional
  • Dunia
  • Ekonomi
  • Politik
  • Opini
  • Oase
  • Sejarah
  • Contact Us

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?