Berdasarkan catatan Al Chaidar, di Aceh jumlah pengikut aktif kelompok Millata Abraham diperkirakan mencapai 3.000 orang. Secara nasional, Musadeq mengklaim memiliki puluhan ribu murid yang tersebar di sembilan kota besar.
BANDA ACEH – Aceh kembali diguncang isu aliran sesat setelah sekitar 6 anggota Millata Abraham ditangkap di Aceh Utara pada awal Agustus 2025 lalu.
Penangkapan ini dilakukan aparat karena kelompok yang juga dikenal sebagai Millah Abraham tersebut diduga menyebarkan ajaran menyimpang, menolak Islam sebagai agama yang benar, serta mengangkat Ahmad Musadeq sebagai nabi ke-26 setelah Nabi Muhammad SAW.
Menurut Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si, Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Millata Abraham bukanlah fenomena baru, melainkan kelanjutan dari gerakan lama yang sudah lama bercokol di Indonesia, Senin (11/8/2025).
“Millata Abraham merupakan metamorfosis dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Gafatar. Mereka mengganti nama, mengubah wajah, namun inti ajarannya tetap sama. Sejak awal, doktrin mereka mengandung penolakan terhadap syariat Islam dan mengangkat Musadeq sebagai nabi baru,” ungkap Dr. Al Chaidar.
Sejarah kelompok ini berawal pada tahun 2000 ketika Ahmad Musadeq, mantan pelatih bulu tangkis nasional, mendirikan Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
Organisasi ini dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2007. Meski sempat dipenjara karena penodaan agama, Musadeq kembali aktif lewat Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) antara 2012–2015, yang berkamuflase sebagai gerakan sosial dan pertanian mandiri.
“Setelah Gafatar dibubarkan tahun 2016, mereka tidak benar-benar hilang. Mereka hanya menyusun ulang strategi, dan pada 2020 kembali menggunakan identitas Millata Abraham,” jelasnya.
Aliran Sinkretisme Penggabungan Agama, Tidak Wajib Salat dan Puasa
Ajaran Millata Abraham bersifat sinkretis yaitu mencampurkan unsur Yahudi, Kristen, dan Islam, yang mereka sebut sebagai “ajaran Ibrahim murni.”
Mereka menolak kewajiban salat, puasa, dan ajaran Al-Qur’an versi umat Islam. Bahkan, jumlah ayat Al-Qur’an versi mereka diklaim berbeda, yaitu 9.236 ayat, bukan 6.666 ayat seperti yang diyakini umat Islam.
“Mereka punya doktrin hijrah, di mana pengikut diminta pindah ke wilayah terpencil, membangun komunitas sendiri, dan memutus hubungan dengan keluarga,” tambahnya.
Di Aceh, persebaran kelompok ini terpantau di beberapa kabupaten, terutama Bireuen yang terpusat di Matang Glumpang Dua serta Aceh Utara dan Lhokseumawe.
Aparat menemukan struktur organisasi yang rapi, mulai dari Imam, Bendahara, Sekretaris, hingga Duta yang bertugas merekrut dan membaiat anggota baru. Perekrutan dilakukan secara halus melalui kegiatan sosial seperti kerja bakti dan pelatihan pertanian. Setelah bergabung, anggota baru dibaiat secara rahasia.
“Prosesnya tertutup. Setelah dibaiat, mereka diarahkan untuk meninggalkan identitas lama, termasuk memutus hubungan dengan keluarga,” ungkapnya.
Dr. Al Chaidar juga mengungkapkan bahwa awalnya Millata Abraham tidak memiliki ciri radikal, namun belakangan dipengaruhi oleh kelompok tertentu yang membuat mereka masuk kategori radikal.
“Dulu mereka hanya fokus pada doktrin dan komunitas tertutup, tapi sekarang mulai ada potensi militansi ideologi. Hal ini yang membuat aparat semakin waspada,” tegasnya.
Pemerintah Aceh melalui Qanun Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah melarang segala bentuk aktivitas Millata Abraham. Pelanggar bisa dikenai hukuman 30–60 kali cambuk atau penjara hingga lima tahun.
Sebelumnya, ratusan mantan pengikut telah disyahadatkan ulang di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh oleh MPU Aceh. Namun, tantangan rehabilitasi masih besar.
“Banyak dari mereka yang kembali ke ajaran lama karena merasa ditolak oleh masyarakat. Stigma ini justru membuat mereka semakin solid di bawah tanah,” kata Dr. Al Chaidar.
Berdasarkan catatannya, ia menyebutkan, di Aceh jumlah pengikut aktif kelompok tersebut diperkirakan mencapai 3.000 orang. Secara nasional, Musadeq mengklaim memiliki puluhan ribu murid yang tersebar di sembilan kota besar.
Penyebarannya tidak hanya di Aceh, tetapi juga di Medan, Jakarta, Depok, Yogyakarta, Surabaya, Padang, Makassar, hingga Kalimantan Barat.
“Jaringan mereka lintas provinsi, dan itu sebabnya pendekatan penanganan tidak bisa hanya lokal, tapi harus nasional,” pungkas Dr. Al Chaidar.
Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. H. Faisal Ali, mengungkapkan bahwa ajaran menyimpang bernama Millata Abraham telah lama beroperasi dan terus menebar ancaman terhadap akidah umat Islam di Aceh.
Ajaran ini, menurutnya, sudah pernah terungkap sejak bertahun-tahun lalu, bahkan para pengikutnya pernah disyahadatkan ulang di Masjid Raya Baiturrahman serta dijatuhi hukuman penjara. Namun, ideologi mereka tidak pernah benar-benar hilang.
“Ajaran Millata Abraham itu sudah ada dari lama. Dulu pernah disyahadatkan sekali di Masjid Raya, kemudian mereka berganti nama menjadi Gafatar. Mereka juga pernah dipenjara, tapi setelah keluar tetap saja menjalankan ajaran itu. Jaringannya masih ada,” ujar Tgk. Faisal Ali, atau yang akrab disapa Lem Faisal.
Menurutnya, motif utama ajaran ini adalah melemahkan Islam dari dalam. Ia menegaskan bahwa tujuan akhirnya adalah membawa umat Islam ke arah murtad yang bermuara pada pemurtadan ke agama lain.
“Motif mereka itu membuat Islam yang ujung-ujungnya mengkristenkan. Mereka merusak Islam dari dalam, sampai akhirnya orang bisa keluar dari Islam,” tegasnya.
Tgk. Faisal Ali menjelaskan, berdasarkan informasi yang ia terima, asal mula ajaran ini diduga berasal dari Palembang. Meskipun sebagian pelaku sudah pernah dihukum berat, namun ada juga yang pada masa lalu tidak mendapatkan hukuman setimpal sehingga mereka tidak jera.
“Asal muasalnya kalau tidak salah dari Palembang. Yang sudah tertangkap dihukum seberat-beratnya, karena kalau tidak, mereka tidak akan sadar. Pengalaman dulu membuktikan, saat mereka tidak dihukum berat, mereka kembali menyebarkan ajarannya,” jelasnya.
Ciri Khas Ajaran Millata Abraham
Ciri khas ajaran ini, kata Ketua MPU Aceh, adalah memanipulasi ajaran agama dengan kemasan yang menipu. Mereka kerap mengajak pertemuan dengan umat Islam, melakukan baiat di masjid, dan menanamkan doktrin secara perlahan.
Di Banda Aceh, keberadaan jaringan ini sudah ada sejak lama. Tgk. Faisal Ali mengaku tidak mengetahui jumlah pasti pengikutnya di Aceh, namun ia yakin penyebarannya sudah meluas karena sebagian dari mereka tidak pernah benar-benar bertaubat.
“Di Banda Aceh mereka sudah ada dari dulu. Yang dulu belum sadar, ya tetap seperti itu. Setelah keluar penjara pun tidak berubah, yang sudah disyahadatkan juga sama. Mereka tetap menyebar,” katanya.
Menghadapi situasi ini, MPU Aceh terus melakukan langkah pencegahan melalui sosialisasi pembinaan dan perlindungan akidah. Materi tentang aliran-aliran menyimpang, termasuk Millata Abraham, selalu menjadi bagian dari pendidikan kader ulama setiap tahunnya.
“Langkah kami hanya bisa mensosialisasikan agar masyarakat berhati-hati. Karena setiap tahun kasus ini pasti muncul. Bahkan materi pendidikan untuk setiap kader ulama yang kami buat, pasti memuat pembahasan tentang aliran menyimpang ini,” tutupnya.
Discussion about this post