Nahdlatul Ulama telah menjadi organisasi yang memainkan peran dalam pergerakan kemerdekaan, juga berperan penting dalam konfigurasi politik Indonesia di setiap era pemerintahan.
Nahdlatul Ulama atau NU adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan klaim memiliki jumlah pengikut mencapai 20 juta jiwa. Kekuatan basis kultural NU yang berpusat di Jawa Timur ini menjadi daya tarik bagi kekuatan politik manapun di Indonesia untuk diperebutkan. Sejak Orde Lama hingga sekarang, NU masih memainkan peran sentral dalam menentukan konfigurasi politik tanah air.
NU telah menjadi organisasi yang memainkan peran dalam pergerakan kemerdekaan. NU juga berperan penting dalam melawan agresi Belanda merebut kembali Indonesia. Tokoh sentral NU di masa-masa awal kemerdekaan, Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai Menteri Agama di masa Orde Lama era Presiden Soekarno menjabat.
Keberpihakan NU pada masa Orde Lama terhadap rezim Soekarno memperkuat pemerintahan Orla dari rongrongan partai Islam Masyumi yang kala itu mengalami bentrokan ideologis yang kuat dengan Soekarno dan rezim Nasakom-Orde Lama. Terlebih upaya Masyumi yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara berlandaskan syariat Islam sesuai dengan piagam Jakarta.
NU awalnya tergabung dalam Masyumi, namun sepertinya persoalan perbedaaan latar belakang pandangan mazhab dan ideologis membuat NU kerap berbeda pandangan dengan Masyumi yang didalamnya diisi oleh tokoh-tokoh Islam modern (istilah kala itu untuk membedakan dengan NU yang diklaim sebagai kelompok Islam tradisional) yang mayoritasnya lahir dan berasal dari Muhammadiyah, ormas Islam kedua terbesar di Indonesia yang menjadi rival sengit NU dalam soal pandangan paham keagamaan.
Keberpihakan NU terhadap Soekarno dan rezim Orde Lama menghadapi kekuatan politik Islam yang dimotori oleh Masyumi yang kala itu terbilang besar, telah mampu melanggengkan keberadaan rezim Orde Lama sekaligus menjadi representasi kekuatan Islam di dalam kekuasaan yang mengambil semboyan Nasakom (nasionalis yang diwakili oleh PNI, agamis yang diwakili NU dan komunis yang diwakili oleh PKI).
Tanpa keberadaan NU di dalam pemerintahan, tentu Soekarno kehilangan legitimasi ideologis dari kelompok Islam. Hingga sebelum lengsernya Soekarno, NU telah berhasil mempertahankan rezim Orde Lama berkuasa di Indonesia dari Masyumi yang menjadi oposisi Soekarno.
NU Era Orde Baru dan Reformasi
Di era Orde Baru, Soeharto yang memerintah dengan backup penuh kekuatan dari militer, terkesan tidak akrab dengan kelompok Islam. Selain dari faksi militer, Soeharto kala itu cukup dekat dengan faksi Kristen. Sebenarnya Soeharto pernah mendekati kelompok Masyumi untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya di awal-awal masa pemerintahan. Namun tawaran yang diberikan oleh Soeharto kepada Natsir, tokoh Masyumi, ditolak.
Soeharto mengubah konfigurasi politik Indonesia dengan menerapkan fusi partai politik menjadi tiga partai: PPP-Golkar-PDI. Otomatis partai-partai politik yang ada sebelumnya dipaksa untuk melebur ke dalam tiga partai politik tersebut.
Di era Orde Baru, NU tidak menjadi oposisi dan juga tidak menjadi bagian kekuatan sentral di pemerintahan Soeharto sebagaimana di masa Orde Lama. Soeharto kemungkinan menganggap bahwa kekuatan Islam dianggap berbahaya dan dapat mengganggu stabilitas politik dalam negeri. Untuk itu, kelompok Islam termasuk NU dibatasi perannya dalam politik.
Di dalam tubuh PPP yang merupakan gabungan faksi-faksi Islam dalam politik, NU mengalami tekanan dan bersaing erat dengan faksi lain. Peran NU di dalam PPP seolah dikucilkan.
Akhirnya NU resmi memutuskan untuk meninggalkan politik praktis dan kembali ke khitah pendiriannya pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU pada 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Pada Muktamar 1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali ke Khitah 1926 dan secara organisasi melepaskan diri dari ikatan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan lain.
Di akhir era Orde Baru, Soeharto mulai akrab dengan kelompok Islam moderat-perkotaan yang dominan berasal dari Muhammadiyah. Salah satu bentuk upaya Soeharto mendekati kelompok Islam adalah dengan mendirikan ICMI yang menjadi wadah bagi cendikiawan Islam yang diharapkan mampu menyukseskan agenda pembangunan Soeharto. Kelompok Muslim-teknokrat mendapatkan peran dan posisi di akhir-akhir era Orde Baru dan menjadi aliansi politik Soeharto. Dengan demikian, peran NU semakin dipinggirkan.
Ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, cucu pendiri NU Hasyim Asy’ari terpilih menjadi Ketua NU hingga memimpin NU dalam periode yang cukup lama, Gus Dur dan NU mulai menampakkan wajah oposisi, meski hal tersebut dimainkan secara halus. Ada upaya untuk mengintervensi muktamar NU tahun 1994 agar Gus Dur tidak lagi terpilih memimpin NU. Namun meski ditekan, sosok Gus Dur yang kharismatik dan fenomenal kembali terpilih.
Sosok Gus Dur dikenal bukan sebagai ulama tradisional khas NU, namun dianggap sebagai sosok cendekiawan dan intelektual yang dekat dengan kelompok pro-demokrasi, aktivis, jurnalis, akademisi dan kaum terpelajar. Gus Dur yang membawa wacana pembaruan dan modernisasi di dalam tubuh NU, kerap menulis tema-tema sosial, politik dan kebudayaan di media massa. Ia kerap berdialog dengan tokoh-tokoh lintas kelompok di berbagai forum.
Jika kelompok Islam Modern tergabung dalam ICMI yang secara tidak langsung merupakan bagian dari kelompok yang mendukung pemerintah, Gus Dur bersama para aktivis demokrasi mendirikan Forum Demokrasi. Forum Demokrasi didirikan pada tahun 1991 sebagai respons terhadap situasi politik Orde Baru yang otoriter di bawah Presiden Soeharto, khususnya untuk melawan pengaruh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang didukung Soeharto dan dianggap Gus Dur mempromosikan sektarianisme serta memperkuat kekuasaan Soeharto.
Forum Demokrasi dibentuk bersama sejumlah intelektual lintas agama dan latar belakang sosial, seperti Bondan Gunawan, Arief Rahman, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, dan Adnan Buyung Nasution. Organisasi ini terdiri dari 45 intelektual yang berfokus pada penyebaran gagasan demokrasi, kebebasan berpendapat, dan perlindungan terhadap individu atau kelompok yang menjadi korban kesewenang-wenangan pemerintah.
Forum ini tidak memiliki keanggotaan formal dengan batas tegas, melainkan berbasis pada semangat kebersamaan untuk memperjuangkan proses demokratisasi yang dinamis.
Forum Demokrasi berperan sebagai platform untuk menyebarkan gagasan demokratisasi kepada masyarakat luas, termasuk melalui diskusi, penerbitan, dan media massa. Gus Dur juga memanfaatkan basis NU untuk memperkuat gerakan ini, meskipun langkahnya ini menuai tentangan dari beberapa kiai tradisional karena dianggap terlalu progresif.
Hal ni pula yang kemudian membuat Gus Dur semakin dekat dengan lintas kelompok yang kala itu mulai menyuarakan demokrasi di Indonesia. Gus Dur sendiri turut terlibat dalam gerakan reformasi yang dimotori oleh kelompok aktivis dan mahasiswa untuk melengserkan Soeharto. Bersama Megawati dan Amien Rais, Gus Dur dianggap sebagai tokoh yang berperan dalam reformasi.
Discussion about this post