Menyebut istilah sosialis untuk sistem politik-ekonomi di negara-negara Skandinavia, meskipun memiliki dasar kesejahteraan yang kuat dan penekanan pada kesepakatan bersama, adalah istilah yang keliru.
Istilah “sosialisme” diasosiasikan dengan rezim-rezim bekas blok Komunis yang sangat mendominasi negara, tidak hanya dalam kepemilikan alat-alat produksi utama, tetapi juga dalam kehidupan politik dengan model sistem satu partai. Basis ideologisnya untuk kekuasaan atas nama kelas pekerja.
Menyusul runtuhnya Uni Soviet, rezim sosialis baru dalam beberapa tahun terakhir berusaha menjauhkan diri dari model satu partai di negara-negara “dunia ketiga”. Negara-negara tersebut berfokus pada mempertahankan fungsi ekonomi pasar, sambil menekankan redistribusi kekayaan, dimana negara lebih dominan dalam proses ini.
Rezim-rezim di Amerika Latin yang dipimpin oleh partai-partai yang berkuasa di Venezuela, Bolivia, dan baru-baru ini di Cile, dapat disebut sebagau “sosialis demokratik”. Mereka berusaha mencapai tujuan sosialis berupa redistribusi dan restrukturisasi lembaga-lembaga demokrasi dan liberal formal dalam sistem yang sangat tidak setara dan didorong oleh elit.
Negara kesejahteraan model Skandinavia
Di negara-negara Skandinavia, sistemnya lebih mirip dengan “demokrasi sosial” yang tipikal: ketergantungan pada lembaga demokrasi perwakilan dan partisipatif di mana pemisahan kekuasaan dipastikan; skema kesejahteraan sosial yang komprehensif dengan penekanan antara lain pada layanan sosial yang disediakan untuk publik dan investasi dalam perawatan anak, pendidikan dan penelitian, yang didanai oleh pajak progresif; kehadiran lembaga pasar tenaga kerja yang kuat dengan serikat pekerja aktif dan asosiasi pengusaha yang memungkinkan untuk kesepakatan bersama yang signifikan, negosiasi upah dan koordinasi, selain peran aktif warga negara dalam tata kelola dan kebijakan.
Semua negara ini juga mengikuti model pembangunan kapitalis, memungkinkan kewirausahaan dan pendanaan kebijakan kesejahteraan melalui pajak upah dalam jumlah besar berkaitan dengan pajak perusahaan. (Norwegia merupakan pengecualian dengan tarif pajak penghasilan perusahaan yang tinggi yang dikenakan pada kegiatan ekstraktif — negara tersebut merupakan produsen utama minyak dan gas).
Kesamaan di negara-negara Skandinavia — Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia, dan Islandia — dalam banyak hal ini dapat diukur. Misalnya, di antara negara-negara di Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) (menampilkan sebagian besar negara berpenghasilan tinggi di dunia), Islandia (90,7% tenaga kerja), Denmark (67%), Swedia (65,2%), Finlandia (58,8%) dan Norwegia (50,4%) memiliki proporsi angkatan kerja tertinggi yang tergabung dalam serikat pekerja (data per 2019).
Pendidikan gratis di semua Negara Nordik; perawatan kesehatan gratis di Denmark dan Finlandia dan sebagian gratis di Norwegia, Swedia dan Islandia; di negara tersebut pekerja mendapatkan banyak keuntungan dan perlindungan, dari asuransi pengangguran hingga pensiun hari tua, selain perawatan anak yang efektif.
Oleh karena itu, tingkat partisipasi tenaga kerja di negara-negara tersebut termasuk yang tertinggi di dunia (bahkan di kalangan perempuan). Lima negara Nordik menempati peringkat 10 teratas di antara negara-negara OECD dalam pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan jika dihitung persentase dari PDB.
Negara-negara tersebut telah melakukan serangkaian langkah dalam deregulasi industri dan privatisasi beberapa layanan publik sejak masa kejayaan era Keynesian hingga tahun 1970-an, tetapi mereka tetap menekankan pada kesejahteraan, perpajakan, dan investasi dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia dan Eropa pada khususnya.
Hal tersebut telah membantu negara-negara ini mencapai hasil yang signifikan; tingkat perdagangan internasional yang tinggi dan partisipasi dalam globalisasi, kemajuan ekonomi, tingkat kesenjangan yang rendah, dan standar hidup yang tinggi.
Dalam laporan UNDP terbaru, Norwegia menempati peringkat kedua di antara negara-negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (0,961), Islandia berada di urutan keempat (0,959), Denmark di urutan keenam (0,948), Swedia di urutan ketujuh (0,947) dan Finlandia di urutan ke 11 (0,940).
Negara-negara Nordik menempati peringkat tertinggi dalam berbagai indeks kebebasan pers di seluruh dunia dan dalam indeks yang mengukur kesetaraan gender. Mereka ditempatkan di antara 20 negara teratas dalam PDB per kapita (PPP, $) menurut data terbaru Bank Dunia.
Faktor pendukung
Salah satu alasan utama berkembangnya model demokrasi sosial di negara-negara Nordik adalah populasi mereka yang relatif lebih kecil dan lebih homogen yang memungkinkan pemerintahan terfokus.
Model “korporatis” yang melibatkan kepentingan modal dan tenaga kerja yang dimediasi oleh pemerintah di berbagai tingkatan, telah memungkinkan negara-negara ini untuk bertransisi dari ekonomi agraris ke industri hingga ke pasca-industri (dalam beberapa kasus).
Pendekatan konsensus tripartit juga menekankan kebijakan sosial “yang memfasilitasi perluasan produksi modern, memberi jaminan pekerjaan dengan bayaran lebih banyak dan lebih baik”, seperti yang dipaparkan dalam buku Olle Tornquist dan John Harriss. Populasi imigran yang meningkat di negara-negara seperti Swedia telah membawa ketegangan baru dalam model demokrasi sosial dan jaring pengamannya.
Kesamaan lainnya diantara negara-negara Nordik adalah kehadiran politik Partai Sosial Demokrat di negara-negara tersebut. Norwegia diperintah oleh Partai Buruh Sosial Demokrat yang berkoalisi dengan Partai Pusat Agraria, Denmark diperintah oleh Sosial Demokrat yang didukung oleh Aliansi Merah-Hijau, Partai Rakyat Sosialis, dan Partai Sosial Liberal; Pemerintah Finlandia dipimpin oleh Partai Sosial Demokrat dalam koalisi dengan Partai Tengah, Liga Hijau, Aliansi Kiri dan Partai Rakyat Swedia dan Islandia diperintah oleh koalisi yang dipimpin oleh Gerakan Kiri-Hijau, yang mengambil alih posisi oposisi Aliansi Sosial Demokrat sebagai kekuatan kiri terkemuka di negara ini.
Partai-partai sosial demokrat ini mengkonsolidasikan dukungan dengan mengurangi dampak krisis ekonomi global pada tahun 1930-an. Berbeda dengan partai sosial demokrat lainnya di Eropa yang goyah melawan Nazi di Jerman misalnya, sosial demokrat Skandinavia “membentengi demokrasi, menjalin aliansi luas dengan partai agraria berdasarkan harga pertanian yang menguntungkan dan jaminan sosial universal… kepemilikan, perluasan ekonomi, lebih banyak pekerjaan dan peningkatan pendapatan pajak… Mengarah pad hak kewarganegaraan yang setara dan kompromi kelas pragmatis”, kata Tornquist.
Sementara partai-partai sosial demokrat saat ini tidak lagi menikmati kehadiran dominan dalam sistem partai politik di negara-negara tersebut, mereka masih menjadi kekuatan terorganisasi terbesar di sebagian besar negara Nordik. Posisi terdepan untuk partai-partai kiri-tengah/demokrasi sosial di negara-negara ini, karena gerakan buruh dan lingkungan yang berkembang dalam masyarakat sipil, telah membantu menghasilkan konsensus politik pada model kesejahteraan yang mengakibatkan bahkan partai-partai sayap kanan/kanan-tengah mempertahankan mereka.
Perbedaan utama antara partai-partai ini adalah pada isu-isu terkait sosial dan imigrasi dan beberapa pengamat percaya bahwa meningkatnya pengaruh Sosial Demokrat di Swedia tidak akan menjadi ancaman bagi model kesejahteraannya meskipun berasal dari akar partai sayap kanan.
Dalam banyak hal, model sosial demokrasi negara-negara Nordik menawarkan pelajaran bagi dunia berkembang untuk terlepas dari segudang permasalahan terkait pembangunan, kesejahteraan dan kesenjangan sosial.