Nazar dan Apache13 belajar bahwa bertahan dalam dunia seni bukan hanya soal panggung dan popularitas, melainkan tentang kesetiaan pada nurani, tentang keberanian untuk tetap jujur pada karya, dan tentang cita-cita yang tidak pernah lelah dipeluk, seberapa pun berat jalannya.
Mona, cinta aneuk muda payah that tamita, yang saleng sayang, yang saleng setia…”
Penggalan lirik itu mungkin masih terngiang di telinga banyak anak muda Aceh. Sebuah lagu yang sederhana, jujur, dan menyentuh langsung ke relung hati tentang cinta remaja yang seringkali bertepuk sebelah tangan. Tentang bagaimana seseorang mencintai yang lain, tapi yang dicintai justru menyukai orang ketiga.
Lagu “Mona” yang dirilis pada 2016, bukan sekadar lagu. Ia menjadi fenomena, menjadi suara generasi, dan melambungkan nama Apache13, sebuah band yang awalnya hanya bermain di tongkrongan kampus menjadi salah satu nama paling berpengaruh di industri musik Aceh.
Di balik kesuksesan itu, ada Nazar Shah Alam, vokalis sekaligus penulis lirik Apache13. Pria kelahiran Abdya, 25 September 1989 ini tak pernah menyangka bahwa lagu yang tercipta dari kisah nyata masa kuliahnya itu akan membawanya ke puncak.
Dari Abdya ke Banda Aceh: Perjalanan Penuh Rintangan
Nazar bukanlah anak yang tumbuh dengan kemewahan. Ia lahir dan besar di Abdya, sebuah kabupaten di Aceh, dengan akses pendidikan dan informasi yang terbatas. Namun, sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikannya pada dunia literasi.
“Saya bisa baca lebih cepat daripada teman-teman. Waktu SD kelas satu atau dua, saya sudah bisa baca, sementara anak-anak lain masih belajar,” kenangnya.
Majalah Bobo yang ia baca di tahun 1998 ternyata adalah edisi tahun 1996, gambaran betapa lambatnya informasi sampai ke daerahnya.
Tapi keterbatasan tak pernah menghentikannya. Meski sempat gagal lulus SMA pada 2007 karena masalah administratif sekolah, ia tak menyerah. Ia belajar sendiri, mengulang ujian, dan akhirnya lulus di tahun 2008. Dengan tekad bulat, ia merantau ke Banda Aceh untuk kuliah.
“Saya beli formulir pendaftaran di semua kampus. Dan Alhamdulillah, saya lulus di semua kampus yang saya ikuti,” ujarnya.
Awalnya, ia memilih Jurusan Komunikasi di UIN Ar-Raniry karena kecintaannya pada dunia baca-tulis. Namun, karena keterbatasan biaya, ia akhirnya memilih Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Syiah Kuala (USK). Di sinilah jalan hidupnya mulai berbelok.
Ketika Sastra Bertemu Musik
Di USK Nazar menemukan dunianya, yaitu sastra. Ia aktif di komunitas teater, menulis puisi, dan bahkan dikenal sebagai penyair sebelum akhirnya terjun ke musik.
“Sebelum dikenal sebagai penyanyi, saya lebih dulu dikenal sebagai penulis puisi dan pembaca puisi,” katanya.
Tapi bakat menyanyinya tak pernah mati. Sejak SMP, ia sudah sadar punya suara yang enak didengar. Namun, ia tak pernah serius mengejar musik sampai suatu momen bencana alam mengubah segalanya.
Saat gempa melanda Gayo, Nazar dan komunitasnya ingin membantu korban. Tapi, mereka bingung. “Kalau bikin penggalangan dana lewat tulisan, di Aceh belum laku-laku amat,” ujarnya.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk ngamen tapi masalahnya, Nazar tak bisa memainkan alat musik apapun.
“Saya bisa apa? Saya nggak bisa main gitar, nggak bisa main alat musik. Akhirnya, ya udah, saya jadi vokalisnya,” ceritanya sambil tertawa.
Itulah awal mula Apache13 terbentuk—dari sekadar iseng membantu korban bencana, hingga akhirnya menjadi band dengan identitas kuat.

Apache13, Dari Nama Asal-asalan hingga Menjadi Ikon Musik Aceh
Nama Apache sendiri terinspirasi dari rubrik “Komplotan Apache” yang sering ditulis pria 36 tahun itu di koran lokal. Saat pertama kali ditanya nama band mereka sebelum tampil di sebuah acara, ia menjawab asal “Apache aja lah!”.
“Tahun 2013 itu pertama dapat bayaran Rp 1 juta, pertama kali dapat bayaran segitu. Sebelumnya cuma dapat Rp75 ribu sampai Rp200 ribu per tampil, makanya ada angka 13 di nama Apache,” kenangnya.
Tapi perjalanan Apache13 tak semulus itu. Mereka sempat beberapa kali gagal produksi, berganti personel, bahkan hampir bubar. Hingga akhirnya, di tahun 2016, mereka merilis album pertama, Bek Panik, dengan lagu “Mona” sebagai andalan.
Dan seperti takdir, single Mona meledak. “Kami nggak menyangka lagu itu akan diterima sebesar ini,” aku Nazar.
Lagu itu menjadi soundtrack cinta remaja Aceh, dibawakan dengan gaya folk yang sederhana namun dalam. Apache13 pun menjadi simbol musik musik Aceh yang fresh dan dekat dengan anak muda.
Kekai Lam Rateb, Melodi Jiwa yang Menggema
Di balik popularitasnya sebagai vokalis Apache13 dan hits seperti Mona, ada sisi lain dari Nazar Shah Alam yang lebih sunyi dan dalam, hubungan spiritual dengan musik, pencarian ketenangan batin lewat nada, serta bagaimana lagu bisa menjadi doa panjang yang meresap ke jiwa.
Dalam sebuah wawancara eksklusif, Nazar membuka kisah penciptaan lagu Kekai Lam Rateb, karya yang ia anggap sebagai puncak pencapaiannya sebagai musisi bukan karena popularitasnya, melainkan karena kedalaman jiwanya.
“Kalau kita bilang itu, itu sebuah lagu yang mungkin secara view di YouTube atau secara pendapatan tidak begitu besar, tidak begitu meluas. Tapi untuk diri saya sendiri, saya merasa itu karya terbaik saya. Dan saya hampir nggak yakin bisa bikin yang sedalam itu lagi,” kata Nazar mengenang proses lahirnya lagu tersebut.
Bertahan di Industri Kreatif, Antara Idealisme dan Komersil
Hari ini, Nazar dan Apache13 sudah merilis lebih dari 300 lagu, lima album, dan punya studio sendiri. Tapi tantangan terbesarnya bukan hanya soal menciptakan musik yang bagus, melainkan juga bertahan di industri yang kadang tak ramah pada idealisme.
“Kadang kita harus memilih: bikin lagu yang idealis atau yang komersial? Yang idealis belum tentu dapat atensi, yang komersial belum tentu memuaskan hati,” ujarnya.
Tapi bagi Nazar, kunci bertahan adalah cinta yang tulus.
“Kita akan mampu bertahan di satu ruang ketika kita memasukinya dengan cinta yang benar,” tegasnya.
Pesan untuk Anak Muda Aceh
Kepada anak muda Aceh yang ingin berkarya, Nazar berpesan, “kejar mimpimu sampai dapat. Jangan berhenti sebelum sampai. Kalau kamu suka musik, kejar sampai kamu bisa hidup dari musik. Tapi ingat, nggak ada kesuksesan yang instan,” tuturnya.
“Jangan hidup di atas lidah orang. Terserah orang mau bilang apa, yang penting kamu jalan dengan jernih.”
Di ujung perbincangan, Nazar Shah Alam tidak sedang berbicara sebagai musisi yang dikenal ribuan pendengar. Ia berbicara sebagai seorang pemuda yang tumbuh bersama mimpi dan luka-luka jalanan, yang mengubah keheningan menjadi lagu dan rasa gagal menjadi bara semangat.
Lewat “Mona”, dunia mengenalnya. Lewat “Kekai Lam Rateb”, ia mengenal dirinya.
“Bagi saya, mungkin saya bisa bikin lagu yang disukai banyak orang. Tapi belum tentu saya bisa bikin lagu yang setenang dan sedalam itu lagi,” ucapnya lirih, mengingat lagu yang ia anggap sebagai puncak perjalanan spiritual dan musikalnya.
Dalam hidup yang terus bergerak, Nazar dan Apache13 tetap berjalan. Tidak selalu dengan riuh tepuk tangan, kadang hanya dengan bisik-bisik kecil dalam hati.
Tapi dari situ pula mereka belajar bahwa bertahan dalam dunia seni bukan hanya soal panggung dan popularitas, melainkan tentang kesetiaan pada nurani, tentang keberanian untuk tetap jujur pada karya, dan tentang cita-cita yang tidak pernah lelah dipeluk, seberapa pun berat jalannya.
Bagi siapa pun yang tengah berjuang di jalan sunyi mimpinya, kisah Nazar bukan sekadar cerita sukses, melainkan pengingat bahwa ketulusan dan kesabaran akan menemukan jalannya. Bahwa dari kampung kecil di Abdya, dari kamar sempit yang sunyi, bisa lahir lagu yang menggugah ribuan hati.
Dan selama masih ada keyakinan, selama masih ada lagu, jalan itu akan terus terbuka.
Discussion about this post