Dalam surat maklumat bertanggal 18 September 1948, Daud Beureueh menyerukan: “suasana tanah air makin hari kian bertambah genting. Perjudian, pencurian, dan perzinaan hanya akan melemahkan semangat pertahanan tanah air.”
Oleh: Zulfadli Kawom*
Kamis malam, saya berkesempatan menghadiri acara Syarikat Islam Leaders Forum (SILF) yang digelar di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Kamis malam (10/7/2025). Saya diajak oleh seorang Sejarawan dan kolektor manuskrp Aceh, Tarmizi Hamid atau yang biasa dipanggil Cek Midi.
Dari spanduk dan backdrop yang saya baca, mengusung tema “Menggali dan Ragam Persepsi: Sang Pejuang Sejati, Muhammad Daoed Beureu’eh”, forum tersebut menghadirkan sejumlah tokoh nasional dan akademisi, termasuk Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, Menko Bidang Kumham-Imipas dan Prof Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan, Guru Besar UIN Ar-Raniry.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, dalam pidatonya secara jelas mendukung usulan masyarakat Aceh agar Teungku Muhammad Daud Beureueh dicalonkan sebagai pahlawan nasional.
Yusril juga mengaku pernah bertemu dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh saat ke Aceh bersama Osman Raliby pulang kampung ke Garot, Pidie.
Isu Darul Islam/ Negara Islam Indonesia biasanya sensitif dibicarakan di tempat umum, terutama ketika dikait-kaitkan dengan Peristiwa Cumbok.
Dalam pandangan saya, kasus ini kedua belah pihak menjadi korban, paling tidak korban Proxy War, bisa jadi ada pihak ketiga yang menggosok-gosok ulama dan ulee balang agar berperang.
Sama-sama kita kirim Al-Fatihah untuk semua korban, urueng nyan ka jroeh mandum. Tak perlu diungkit-ungkit lagi siapa yang benar siapa yang salah. Sungguh sakit dan memilukan targedi karue sabee keudroe-droe ini.
Larangan Perjudian Masa Kepemimpinan Teungku Daud Beureueh
Dalam tulisan ini, saya tidak akan berbicara soal sosok Teungku Daud Beureueh, karena banyak sekali tulisan tentang sosok beliau. Namun, ada hal hal yang menarik yang ingin saya kemukakan disini, yaitu terkait larangan-larangan semasa Teungku Daud Beureueh memimpin Aceh, Langkat dan Tanah Karo.
Salah satu yang menjadi fokus saya disini adalah terkait kasus perjudian di Aceh pada masa itu. Bagaimana kebijakannya, terutama terhadap pelaku judi, mereka waktu itu disidang dan dipenjarakan.
Permainan judi menjadi perhatian khusus selain permainan adu ayam. Judi dilarang keras dalam suasana perang kemerdekaan. Di masa damai pun tetap menjadi perbuatan terlarang, namun tetap saja judi sulit diberantas sampai tuntas. Ini juga terjadi di era sekarang, karena tidak mudah menangkap dan membuktikan pemain judi online.
Ayat yang secara jelas melarang judi dalam Islam adalah Surah Al-Maidah ayat 90 dan 91. Ayat-ayat ini menyebutkan bahwa judi (maysir) termasuk perbuatan keji dan perbuatan setan, serta dapat menghalangi seseorang dari mengingat Allah dan melaksanakan salat.
Bermain judi memang termasuk perbuatan terlarang karena bertentangan dengan nilai agama. Dalam situasi normal, main judi bisa saja kena delik kriminal dalam hukum negara.
Apalagi di tengah suasana perang kemerdekaan, godaan mabuk judi akan melemahkan semangat juang, terutama pemuda. Itulah sebabnya larangan bermain judi pernah menjadi peraturan pemerintah di wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.
Pada tanggal 9 Agustus 1948, Gubernur Militer Jenderal Mayor (Tituler) Tengku Daud Beureueh mengeluarkan maklumat pelarangan keras permainan judi.
Maklumat itu mengimbau supaya permainan judi dihentikan dan bagi siapa yang kedapatan berjudi akan dikenai hukuman berat. Selain perbuatan terlarang, judi mengakibatkan banyak terjadi pencurian dan gangguan keamanan
Sebulan kemudian, selain judi, perzinaan dan pencurian juga masuk dalam daftar perbuatan terlarang di Aceh dan sekitarnya. Dalam surat maklumat bertanggal 18 September 1948, Daud Beureueh menyerukan: “suasana tanah air makin hari kian bertambah genting. Perjudian, pencurian, dan perzinaan hanya akan melemahkan semangat pertahanan tanah air.”
“Pemerintah dengan rasa tanggung jawab yang penuh terhadap ketenteraman, pertahanan, dan kebahagiaan seluruh penduduk, bermaksud memberantas perbuatan-perbuatan ini dengan mengambil tindakan-tindakan yang sesuai dengan tujuan,” demikian maklumat Daud Beureueh dimuat dalam harian Semangat Merdeka sebagaimana dikutip Pramoedya Ananta Toer, dkk, dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948).
Hukuman bagi para pejudi, penzina, dan pencuri, sesuai dengan ketetapan akan dipindahkan dari tempat asalnya ke tempat yang telah ditentukan. Disanalah mereka dituntun mengerjakan sesuatu menurut petunjuk agama dan pemerintah.
Dari keterangan perwira staf penerangan TNI Divisi X, Teuku Alibasjah Talsya, orang-orang yang dijatuhi hukuman atas perkara tersebut diasingkan ke Blang Pandak, Tangse, Kabupaten Pidie.
Terang Talsya lagi, mula-mula, penjudi diantar oleh jaksa di tempat ia dihukum, lalu diserahkan kepada polisi. Lalu, polisi yang bersangkutan membawa dan menyerahkan kepada kepala polisi Sigli untuk kemudian diserahkan lagi kepada komandan pengawal tempat pengasingan Blang Pandak.
Selanjutnya laporan mengenai orang-orang ini diteruskan kepada Gubernur Militer dengan perantaraan kepala kepolisian karesidenan. Selain pelaku judi, perangkat judi juga ikut disita dan dihancurkan.
“Segala alat-alat yang dapat dipergunakan untuk bermain judi, kartu-kartu judi, dadu putar, dadu kocok, dan lain-lain akan dibinasakan. Segala alat-alat yang tersebut di atas, yang kedapatan diperjual-belikan di pasar-pasar, toko-toko, disimpan untuk diperjual-belikan atau untuk dipakai sendiri, akan disita dan dibinasakan,” jelas Talsya dalam Sekali Republiken Tetap Republiken: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1949.
Setelah perang usai, Gubernur Sumatra Utara S.M. Amin juga menerapkan kebijakan yang sama (mengikuti kebijakan Aceh). Pada paruh pertama 1950, perjudian di daerah Sumatra Timur, khususnya Medan, sudah merajalela seperti menjadi permainan biasa yang bukan terlarang.
Untuk mengatasi perjudian itu, Gubernur S.M. Amin mengeluarkan maklumat gubernur pada 26 Januari 1954, yang berisi larangan perjudian. Kendati demikian, praktik judi masih saja merajalela di Medan sampai sekarang.
*Penulis adalah budayawan.
Discussion about this post