Keterampilan turun-temurun itu kini berkembang menjadi usaha kerajinan bambu berskala besar. Atri memproduksi berbagai jenis anyaman, mulai dari tudung saji, keranjang, tampi, caping, tempat buah, hingga aksesori rumah tangga.
BANDA ACEH – Di sebuah rumah produksi sederhana di Gampong Lambaro Seubun, Kec. Lhoknga, Aceh Besar, tangan Attriani atau Atri (43) tampak cekatan menata bilah-bilah bambu yang baru selesai diraut.
Setiap helai bambu itu disusun perlahan, saling mengunci membentuk anyaman yang rapi. Kemahiran itu bukan hal baru bagi Atri. Sejak kecil, ia sudah terbiasa duduk di samping ibunya, Ainul Mardhiah, seorang perajin bambu di kampung itu.
“Dulu cuma lihat ibu menganyam. Lama-lama ikut bantu, dari situlah saya belajar,” kenangnya.
Keterampilan turun-temurun itu kini berkembang menjadi usaha kerajinan bambu berskala besar. Atri memproduksi berbagai jenis anyaman, mulai dari tudung saji, keranjang, tampi, caping, tempat buah, hingga aksesori rumah tangga. Semua produk dikerjakan secara manual oleh para perajin yang ia bina.

Tembus Ekspor ke Thailand dan Malaysia
Usaha Atri mulai menembus pasar ekspor sejak 2023. Setiap tiga bulan sekali, ia mengirim sekitar 8.000 produk ke Thailand dan Malaysia. Produk-produk seperti tampi dan caping menjadi favorit karena dianggap kuat, rapi, dan bernilai estetika tinggi.
“Permintaan stabil. Mereka suka karena desainnya tradisional tapi tetap fungsional,” ujarnya.
Ekspor rutin itu membuat aktivitas produksi semakin padat. Hampir setiap hari, Atri menerima pesanan dari luar negeri maupun dari pasar lokal yang terus berkembang.
Libatkan Ratusan Perajin Lokal
Besarnya permintaan membuat Atri melibatkan lebih banyak warga sekitar. Dia mengatakan sekitar 600 perajin terlibat dalam proses produksi. Sebagian besar tenaga kerja adalah ibu rumah tangga yang bekerja dari rumah.
Model kerja ini memberi ruang bagi mereka untuk tetap menjalankan peran domestik tanpa kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan tambahan.
“Ini usaha bersama. Banyak warga yang terbantu,” kata Atri.
Selain ekspor, pasar lokal juga menyerap banyak produk Atri. Ia pernah menerima pesanan hingga 200 keranjang dari toko ritel di Aceh. Produk-produknya juga dipasarkan melalui beberapa outlet tetap, seperti di Museum Tsunami Aceh, Lambaro Seubun, Kecamatan Lhoknga Aceh Besar dan Sentral Toko Dekranasda Aceh Besar.
Ia juga rutin mengikuti pameran UMKM yang digelar dinas terkait. Melalui pameran itu, produk bambu dari Lhoknga semakin dikenal sebagai kerajinan ramah lingkungan dan memiliki nilai estetika tinggi.
Mengajar di Lapas, Membuka Peluang Baru
Di luar kesibukan produksi, Atri tetap meluangkan waktu untuk berbagi keterampilan. Pada 1–6 Oktober lalu, ia menjadi instruktur pelatihan kerajinan bambu di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh. Selama enam hari, warga binaan dilatih mengolah bambu hingga menghasilkan produk bernilai jual.
“Tujuannya supaya saat keluar nanti mereka punya keterampilan baru yang bisa digunakan,” jelasnya.
Pelatihan ini menjadi salah satu bentuk kontribusi Atri dalam memberdayakan masyarakat dan memperluas manfaat dari kerajinan tradisional.
Diganjar Penghargaan GeKrafs
Upaya Atri melestarikan tradisi dan menggerakkan ekonomi lokal mendapat apresiasi dari Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (GeKrafs). Organisasi itu berkunjung langsung ke rumah produksinya dan memberikan penghargaan kategori Lifestyle Eco Friendly. Penghargaan diserahkan oleh Ketua DPW GeKrafs Aceh, Sunnyl Ikbal.
“Penghargaan itu jadi penyemangat bagi kami untuk terus mempertahankan kualitas,” kata Atri.
Bagi Atri, kerajinan bambu bukan sekadar usaha keluarga, tetapi bagian dari upaya menjaga warisan budaya sekaligus membuka peluang ekonomi bagi ratusan warga.
“Bambu itu sederhana, tapi kalau diolah dengan serius bisa jadi bernilai tinggi,” ujarnya. (*)













Discussion about this post