Semua buatan tangan ibu-ibu dari UMKM Ecoprint Sabang, komunitas perajin di bawah binaan Ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia (IPEMI) adalah sebuah produk ekonomi kreatif Aceh unggulan Sabang.
SABANG – Ibu-ibu tampak sibuk menempelkan daun-daunan dan bunga-bungaan di atas bentangan kain. Di teras rumah produksi sederhana itu, warna-warni alam berpadu dalam harmoni yang indah.
Daun jati, bunga kenanga, hingga batang secang tertata rapi di atas kain sebelum dikukus. Inilah proses inti dari ecoprint memindahkan pigmen alami daun ke serat kain tanpa bahan kimia.
Etalase di sudut ruangan menampilkan hasil yang memikat kain bermotif dedaunan, tas tangan elegan, hingga selendang bernuansa alam. Semua buatan tangan ibu-ibu dari UMKM Ecoprint Sabang, komunitas perajin di bawah binaan Ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia (IPEMI) adalah sebuah produk ekonomi kreatif Aceh unggulan Sabang.
“Sekarang sudah ada 20 ibu yang bergabung, masing-masing punya merek sendiri, tapi semuanya tergabung di Ecoprint Sabang,” tutur sang pendiri, Erna Fefilinda, yang akrab disapa Bunda Linda, saat ditemui di rumah produksi, Rabu (5/11/2025).
Komunitas ini lahir pada masa pandemi Covid-19, ketika aktivitas di luar rumah dibatasi. “Kami mulai tahun 2021, waktu itu semua serba diam di rumah. Dari situ kami belajar membuat sesuatu yang bisa dilakukan tanpa keluar rumah,” kenang Linda.
Awalnya, ia belajar secara otodidak. Namun karena “haus ilmu”, Linda melanjutkan pembelajarannya secara daring. Kini, setelah empat tahun berjalan, para perajin di Sabang telah menghasilkan karya yang diminati wisatawan lokal maupun mancanegara.
“Kalau dulu orang hanya tahu bapia dan dodol Sabang, sekarang sudah ada ecoprint khas Sabang,” ujarnya bangga.
Ecoprint sendiri berasal dari Australia dan pertama kali diperkenalkan oleh India Flint. Kini, teknik ini telah berkembang di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Motifnya dibuat dari daun, bunga, dan batang tumbuhan yang menghasilkan pigmen alami. Kain kemudian dikukus selama dua jam, lalu didiamkan tiga hari agar warna menempel sempurna tanpa bahan kimia sedikit pun.
“Ini bukan batik biasa, tapi batik go green. Semuanya alami dan ramah lingkungan,” kata Linda sambil memperlihatkan kain berwarna kuning yang dibuat dari campuran kunyit. Ada pula warna merah muda dari kayu secang dan hijau dari teh hijau.
Limbah daun sisa produksi pun tidak terbuang. “Kami rebus lagi untuk pewarna, atau dijadikan pupuk organik. Jadi semuanya bermanfaat,” ujarnya.
Kini, produksi Ecoprint Sabang meningkat tajam dari hanya lima lembar di awal usaha menjadi 25 lembar kain per hari.
Peningkatan ini didukung Bank Indonesia (BI) yang menyediakan peralatan produksi seperti kukusan besar, dandang pewarna, dan ruang penyimpanan daun segar.
Produk-produk mereka kini bisa ditemukan di Matai Resort dan Restoran Putro Ijo, dua lokasi favorit wisatawan di Sabang. Selain itu, setiap perajin juga menjual karyanya secara daring dengan merek masing-masing.
Hasil tangan para ibu-ibu Sabang tak hanya jadi kebanggaan lokal, tapi juga incaran wisatawan mancanegara seperti Malaysia. Produk ecoprint mereka kerap diborong turis karena kualitasnya yang baik dengan harga bersahabat.
“Kalau di Jawa bisa sampai sejuta, di sini cuma tiga ratus sampai lima ratus ribu. Tapi kualitasnya sama,” ujar Linda.
Ia menegaskan, selain bernilai ekonomi, karya ini juga membawa pesan kelestarian alam. “Kami tidak ingin hanya membuat kain indah, tapi juga menjaga lingkungan. Karena setiap helai kain ini membawa jejak daun yang hidup dari tanah Sabang,” ucapnya.
Bagi Erna, Ecoprint Sabang kini bukan sekadar karya seni, tapi juga simbol kesadaran ekologis yang tumbuh dari tangan-tangan perempuan. Dari daun yang jatuh, lahirlah karya yang hidup mengikat warna dan cerita di setiap helainya. (*)












Discussion about this post