Kisah ini berdasarkan catatan singkat mengenai pengalaman dua orang Perancis di Kerajaan Teunom (Aceh Barat) Pada Akhir Abad XIX yang berupaya membuka tambang emas di wilayah itu.
Dalam abad ke-19 orang-orang Barat terus menjalankan eksplorasi mereka terhadap berbagai daerah Asia untuk mengeksploitasi kekayaan dari bangsa-bangsa yang disebut kulit berwarna. Dalam usaha ini mereka menghadapi berbagai reaksi masyarakat lokal yang didatanginya.
Pada awal tahun 1877, ketika sedang berkecamuknya peperangan antara Kesultanan Aceh dengan Kerajaan Belanda, datanglah seorang Perancis L. Wallon ke negeri Teunom dan Woyla, yang letaknya di pantai Barat Aceh. Wallon, melakukTeuku Imum Mida, Ule Balang Cut, Teunoman penelitian ilmiah dan bermaksud berbisnis biji emas dan membuka tambang emas di kawasan Hulu Teunom dan Woyla.
Yang menjadi raja di negeri-negeri Teunom dan jajahan taklukannya Panga waktu itu adalah Teuku Imum Muda, sedangkan raja di negeri Woyla adalah Teuku di Blang. Dengan raja Woyla ini ia telah gagal mencapai persetujuan dalam usaha melakukan tambang emas ini, oleh karena raja Woyla meminta seperempat dari hasil, sedang Wallon hanya bersedia memberinya seperlima.
Tiga tahun kemudian, Maret 1880, Wallon kembali lagi ke Teunom, kali ini dengan rekan sebangsanya bernama Guillaume.
Perjalanannya dari Padang (Sumatera Barat) menuju Teunom dengan menaiki perahu kepunyaan nahkoda Nyak Din, memakan waktu lebih kurang dua bulan lamanya, oleh karena mereka menyingahi tempat-tempat dan pulau-pulau kecil untuk melakukan penelitian.
Peristiwa Berdarah 11 Maret 1880
Permintaan Wallon untuk pergi ke hulu sungai tidak diizinkan oleh Teuku Imum, sebab di sana menurut dia terdapat orang-orang jahat. Raja keberatan Wallon pergi tanpa disertainya, sebab dia takut Wallon akan dipukul oleh musuh-musuh Belanda, dan akhirnya dia pulalah yang mesti mengurus segala sesuatunya.
Kemudian kedua orang Perancis itu ikut serta dengan Teuku Imum Muda melalui jalan darat ke Kuala Woyla, sedangkan barang-barang mereka dengan pertolongan raja diangkat melalui laut dengan perahu.
Teuku Imum Muda menyerahkan tanggung jawab keselamatan kedua orang Perancis ini kepada Raja Woyla, Teuku di Blang tapi ia tidak bersedia menerimanya. Sekali lagi dinyatakan bahwa tempat yang dituju tidak cukup aman, dan kedua orang Perancis itupun ikut kembali ke Teunom bersama Teuku Imum Muda.
Sehari sesudah sampai di Teunom, kedua orang Perancis itu meminta izin pergi ke hulu Teunom, tetapi raja menyarankan supaya mereka jangan pergi ke sana apabila tidak bersamanya.
Mereka tidak menghiraukan nasehat ini dan menyatakan supaya raja tidak usah khawatir karena mereka sebagai orang putih tahu benar akan usaha yang hendak dijalankan. Mereka hanya meminta pertolongan raja itu untuk mencarikan seorang penunjuk jalan, seorang tukang masak dan seorang tukang kayuh. Setelah memenuhi permintaan mereka, Teuku Imum berangkat ke Panga dan kedua orang Perancis itu menuju hulu Teunom.
Demikianlah butir-butir yang kita dapati dalam surat Raja Teunom yang ditujukan kepada Asisten Residen Aceh Barat di Meulaboh, bertanggal 10 Maret 1808.
Setelah dua hari menaiki perahu menuju ke hulu sungai Teunom, sampailah kedua orang Perancis itu pada 11 Maret 1880 pukul empat petang di Tuwi Perya.
Tiba-tiba dari semak belukar muncullah dua orang Aceh, Panglima Lam Ara dan Po Imum Alue Leuhob, bersama kira-kira 40 orang pengikutnya. Panglima Lam Ara berteriak kepada Teuku Din mengapa datang kesitu membawa kafir. Teuku Din menjawab bahwa mereka diminta oleh Teuku Imum Muda, Sayed Hasan dan Teuku Padang. Kedua tuan ini bukanlah Belanda, tetapi Perancis yang bermaksud mengadakan penyelidikan mencari emas.
Panglima Lam Ara menjawab ia tak peduli akan perintah pemimpin-pemimpin tadi, karena orang-orang yang berdiam di tepi pantai semuanya telah menjadi kafir. Panglima Lam Ara dan Po Imum Alue Leuhob segera mendekati perahu itu dan segera menamatkan riwayat kedua orang Perancis itu dengan pedangnya.
Karena serangan itu begitu tiba-tiba, mereka tak sempat membela diri, orang-orang Aceh itu juga hendak menghabiskan kelima orang orang Aceh yang berada di dalam perahu itu, tetapi semuanya sempat meloncat ke dalam air dan berusaha melarikan diri. Salah seorangnya berasal dari Bogor bernama Aripan, sempat tertangkap.
Ia meminta ampun supaya jangan dipancung karena ia orang Islam. Mereka tidak begitu saja mau mempercayainya sebelum membuktikannya. Maka dibukakanlah celana Aripan dan setelah diketahui bahwa ia telah disunat, maka iapun dilepaskan.
Mayat kedua orang putih itu dicampakkan ke dalam sungai dan mungkin telah menjadi mangsa buaya, karena ketika Teuku Imum mencari mayat-mayat itu tidak ditemukan lagi, meskipun dengan menggunakan empat buah perahu.
Usaha-Usaha Raja Teunom
Setelah Raja Teunom mendapat kabar bahwa kedua orang Perancis itu terbunuh, ia mengerahkan penyelidikan dan tiga hari selepas itu ia mendapat kabar bahwa berita itu benar.
Utusannya kembali dengan Aripan bersama Teuku Din dan si Hitam dan merekalah yang menceritakan semua itu.
Dengan segera ia mengirimkan 50 orang ke tempat musibah itu terjadi dengan arahan supaya dijalankan segala usaha agar yang melakukan pembunuhan supaya ditangkap hidup atau mati dan memerintahkan agar yang bersalah itu jika berada dimanapun dalam daerahnya, dikejar dan ditangkap.
Iapun meminta kepada Asisten Residen Belanda di Meulaboh untuk segera memberitahukan kepadanya apakah barang-barang kepunyaan orang-orang Perancis itu segera dikirimkan ke Meulaboh dan jika dikehendaki demikian ia akan melakukannya dengan segera.
Setelah pihak Belanda yakin benar bahwa Teuku Imum rupanya tidak terlibat dalam usaha membunuh kedua orang Perancis itu, maka Gubernur Van Der Heyden menyatakan dalam sepucuk surat dari atas geladak kapal “zeemeeuw” 9 April 1880, bahwa ia bersedia menyerahkan uang jaminan 2.000 ringgit yang seharusnya dibayar Teuku Imum kepada Belanda, kedalam tangan Teuku Imum sendiri untuk biaya meneruskan usaha mencari dan menangkap Panglima Lam Ara dan Po Imum Alue Leuhob.
Penutup
Mengambil pengalaman dari peristiwa tersebut, Gubernur Belanda di Aceh meminta kepada Gubenur Jenderal Hindia Belanda di Betawi agar untuk masa yang akan datang, kunjungan ke pedalaman seperti yang dilakukan oleh kedua orang Perancis itu, demi keselamatan, haruslah dengan izin Belanda, dan penguasa setempat.
Rupanya Belanda tidak menyukai Wallon dan rekannya yang tidak meminta izin terlebih dahulu. Pada 18 Februari 1887, Gubernur Belanda di Aceh mengeluarkan izin kepada Mathieu Baron Von Hedenstrom, umur 28 tahun, yang lahir di Odessa (Rusia) dan berdomisili di Paris.
Ia bermaksud meneruskan penyelidikan yang telah dilakukan oleh Wallon dan Guillaume di Aceh Barat. Dalam surat itu disebutkan bahwa izin itu hanya berlaku semata-mata bagi keperluan penyelidikan ilmiah dan jikalau hendak mengunjungi tempat-tempat di luar Meulaboh, ia tidak boleh melakukan kunjungan, dilarang oleh pegawai perizinan Belanda yang ditugaskan di sana karena alasan keselamatan.
Gubenur Belanda di Aceh menyatakan bahwa sebab kejahatan dan pembunuhan itu adalah nafsu merampok, terlebih-lebih dari rakyat Aceh yang kasar dan tidak beradab.
Adakah pernyataan gubernur itu dapat diterima setelah terbukti Panglima Lam Ara dan rekan-rekannya telah mengembalikan harta kedua orang Perancis termasuk ringgit dan uang emas mereka? Pihak penjajah memahami tindakan-tindakan orang lain berdasarkan pandangan mereka sendiri
Dalam suasana perang melawan Belanda itu, Panglima Lam Ara membunuh orang Eropa yang dianggap kafir, karena dianggap hendak merusak agama dan bangsanya, akan berbuat hal lain selain karena alasan yang ia sebutkan.
Zulfadli Kawom
Discussion about this post