TINJAUAN.ID
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
  • Home
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
No Result
View All Result
TINJAUAN.ID
No Result
View All Result
Home Sejarah

Kedai Kopi Pertama di Aceh: Antara Pengaruh Ottoman dan Budaya Perantauan Tionghoa

TINJAUAN ID by TINJAUAN ID
July 19, 2025
Reading Time: 4 mins read
0
Kedai Kopi Pertama di Aceh: Antara Pengaruh Ottoman dan Budaya Perantauan Tionghoa

Warung Kopi Cut Zein atau Kupi Beurawe. Buka sejak 1947. Foto: Instagram tom_foodetective.

Tradisi warung kopi di Aceh, antara tradisi Ottoman dan pengaruh tradisi  perantauan Tionghoa, akulturasi budaya yang membentuk budaya kopi di Aceh.

Keude kupi, atau kedai kopi adalah sebuah tempat yang sangat mudah ditemukan di Aceh, tak percaya? ketik di google map, ‘warung kopi terdekat’.

Kedai kopi, selanjutnya disebut ‘Keude Kupi’ menjadi center point bagi masyarakat Aceh untuk melakukan berbagai hal yang bisa di komunikasikan, mulai dari soal seni, politik, bisnis, teknik bertani hingga sekedar bakombur istilah orang Tanjung Balai atau cangpanah, kata orang Aceh. Kehadiran keudee kupi di Tanah Rencong, tentunya memiliki sejarah sendiri yang panjang.

Di Aceh keudee kupi tersebar di seluruh sudut wilayahnya. Pada awalnya banyak ditemukan di pantai barat, namun kini di pantai timur mudah pula ditemukan.

Meski demikian, masih sulit ditelusuri asal-usulnya. Tidak banyak bukti tertulis dan arkeologis yang memberi petunjuk soal kehadiran warung kopi di sana sehingga kita hanya bisa menduga-duga masuknya warung kopi ke provinsi itu (Mayoto, Mahdi, 2012, sejarah warung kopi Aceh).

Kehadiran keude kupi di Aceh sangat terkait dengan sejarah perkembangan tempat tersebut. Ketika kesultanan Aceh berkembang, kerap melakukan komunikasi yang intens dengan Kesultanan Ottoman yang sekarang telah menjadi negara Turki.

Bahkan, saya melihat Aceh sebenarnya menjadi protektorat Ottoman. Menurut guru besar UIN Ar Raniri, Prof M Hasbi Amruddin yang banyak mengkaji sejarah hubungan Aceh dengan Ottoman, dikutip dari Kompas, kalau Aceh ingin sesuatu, Ottoman akan selalu bersedia membantu Aceh.

Pada umumnya bantuan Ottoman berupa alat-alat perang. Komunikasi yang berjalan tersebut sangat intensif sehingga banyak hal lain, selain teknik perang dari Turki, yang berpengaruh pada kehidupan Kesultanan Aceh.

Selanjutnya budayawan Aceh LK. Ara menuturkan beberapa bukti yang cukup kuat mengenai kehadiran Ottoman di Aceh. Menurut Ara penelusuran sejumlah bangunan di beberapa tempat dapat mengindikasikan bahwa beberapa bangunan yang ada di Aceh bergaya Ottoman. Kemudian muncul dugaan bahwa pada masa lalu pelatih-pelatih kemiliteran Ottoman banyak membantu Aceh ketika berperang melawan Portugis.

Oleh karena itu kehadiran Ottoman diperkirakan mempunyai pengaruh yang kuat bagi kehidupan masyarakat Aceh. Salah satunya terkait masuknya kopi, gaya hidup minum kopi, dan juga kehadiran warung kopi di Aceh.

Warung kopi di Istanbul abad ke-19.

Kebiasaan minum kopi sudah ada pada masyarakat di Imperium Ottoman. Menurut Hasbi, warung kopi yang di Aceh itu berasal dari Turki. Pernyataan tersebut diperkuat atas dasar pengalaman beliau saat tinggal di Turki.

Warung kopi yang ada di Turki berada tidak jauh dari masjid, sehingga seusai shalat di masjid mereka mendatangi warung kopi untuk mengobrol. Fenomena ini terjadi persis sama seperti yang dilakukan oleh masyarakat Aceh pada umumnya.

Di Aceh mudah ditemukan orang-orang yang seusai shalat di masjid mendatangi warung kopi. Dengan segelas kopi, masyarakat Aceh berbincang atau berdiskusi selama berjam-jam (Mayoto, Mahdi, 2012, sejarah warung kopi Aceh).

Selanjutnya merujuk pada sumber yang sama, memperlihatkan bahwa ada kesamaan antara tempat minum kopi di Turki dan warung kopi di Aceh. Di Aceh masih ditemukan warung kopi dengan meja pendek. Tinggi meja hampir sama dengan dudukan kursi.

Sebuah foto warung kopi di Istanbul pada abad ke-19 juga memperlihatkan hal yang sama. Pembuatan minuman kopi dilakukan dengan cara kopi langsung dimasak dengan air, setelah itu disaring. Metode penyajian ini juga sama dengan penyajian kopi ala Turki.

Ketika warung kopi berkembang di Ottoman, pada saat yang sama sufisme juga berkembang di Ottoman. Kopi tersebut dikonsumsi oleh kaum sufi sebelum mereka mengadakan ritual. Para sufi tersebut minum kopi agar kuat menahan kantuk.

Pada saat yang sama, paham sufisme juga sangat pesat berkembang di Aceh. Beberapa tokoh, seperti Hamzah Fansuri dan Syamsudin Al Sumatrani, juga merupakan tokoh sufi. Sehingga sangat dimungkinkan bahwa kebiasaan di Ottoman itu masuk ketika paham sufisme juga masuk ke Aceh.

Kopi Aceh dan Pengaruh Tionghoa 

Akan tetapi, semua keterkaitan tersebut masih perlu diuji. Hal ini dikarenakan masih dibutuhkannya mengenai penelitian yang mendetail tentang asal-usul warung kopi di Aceh. Karena perlu diperhatikan beberapa fakta lain bahwa tidak sedikit pengaruh kebiasaan orang Tionghoa, yang juga hadir di Aceh sejak beberapa abad lalu, dalam hal kebiasaan minum kopi.

Orang Tionghoa juga sudah hadir di tanah Aceh sejak awal Aceh berdiri. Pengaruh kebiasaan orang Tionghoa dalam hal minum kopi setidaknya tampak dalam makanan yang disediakan di warung kopi.

Makanan-makanan kecil tersebut tidak ditemukan di Ottoman. Pengaruh itu sangat kuat karena orang China yang datang ke Asia Tenggara juga memiliki kebiasaan duduk dan mengobrol berlama-lama di warung. Sehingga dengan demikian sangat dimungkinkan ada pengaruh Tionghoa dalam tradisi warung kopi di Aceh.

Metode kopi yang disaring juga dapat ditemukan pada warung-warung kopi Tionghoa lainnya di Indonesia. Metode roasting atau sangrai kopi yang ada di warung-warung kopi Tionghoa juga mirip dengan warung kopi yang ada di Aceh.

Kemungkinan besar warung-warung kopi di Aceh pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20 di Indonesia, Malaysia dan Singapura, termasuk Aceh, adalah pengaruh gaya warung kopi Tionghoa yang berasal dari imigran Tionghoa asal Hainan.

Warung kopi Ake, Bangka Belitung, berdiri sejak 1921. Foto: Instagram maharaniraia.

Kenyataan akan hal tersebut terlihat dari kepemilikan beberapa warung kopi lama yang berada di Aceh dikelola orang Tionghoa. Menurut pemilik Warung Kopi Ulee Kareng, Haji Nawawi yang dikutip dari Kompas, sebelum mendirikan warung kopi, ayahnya bekerja di warung kopi milik seorang warga Tionghoa di Banda Aceh.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa warung kopi Aceh juga sangat dimungkinkan keterkaitannya dengan etnis Tionghoa. Karena diketahui bahwa warung kopi Ulee Kareng tersebut merupakan salah satu warung kopi Aceh tertua yang ada di daerah Aceh sendiri.

Lantas, pertanyaannya kembali ke perihal kedai kopi tertua di Aceh yang tercatat kedai kopi apa saja?

Untuk menarik kesimpulan, saya mencoba browsing warung kopi tertua di Indonesia dulu, terutama Jakarta dan Pulau Sumatra.

Dari tanda tersebut saya menyimpulkan beberapa warung kopi tertua di Indonesia yang tercatat termasuk di Aceh. Kesimpulan saya ini hnya bersifat sementara, sebelum ada data penelitian terbaru.

Warkop-warkop tertua di Indonesia:

1. Warkop Tinggi Tek Hun Hoe, Jakarta, sejak 1878

2. Warkop Apek , Siantar, sejak 1925

3. Warkop Akke, Belitung, sejak 1925

4. Warkop Massa Kok Tong, Medan, sejak 1925

5. Kedai Es Kopi Tak Kie, Jakarta, sejak 1927

6. Warkop Purnama, Medan, sejak 1930

7. Warkop Sedap, Siantar , sejak 1933

8. Warkop Phoenam, Makassar, sejak 1946

9. Warkop Cut Zein, Banda Aceh, sejak 1947

10. Warkop Tam Ong, Medan, sejak 1968

11. Warkop Solong, Banda Aceh, sejak 1974

Warung Kopi Cut Zein atau Kupi Beurawe. Buka sejak 1947. Foto: Instagram tom_foodetective.

Kedai Kopi Tertua di Aceh

Seperti nama warungnya, pendiri warung ini pada 74 tahun silam bernama Muhammad Zein Sulaiman atau kerap dipanggil Cut Zein.

Warung kopi ini berada di daerah Jl. T. Iskandar, Beurawe, Banda Aceh. Jadi ada juga yang menyebut nama warung ini dengan sebutan ‘Kubra’ atau akronim dari “Kupi Beurawe”.

Walaupun zaman sudah modern, dimana warkop sekarang sudah disebut coffe shop yang punya fasilitas lengkap. Mulai dari AC, TV LED buat nonton bareng, Wi-Fi, dan lain-lain. Tetapi Kedai Kopi Cut Zein ini beda sendiri, masih mepertahankan gaya vintage. Disini tidak ada wifi, bahkan cara masak airnya masih pakai tungku kayu bakar.

Kopi yang dijual juga masih kopi yang dijual sejak dulu. Seperti kopi pancong (pakai gelas kecil) dan kopi sanger (kopi susu khas Aceh).

Kedai kopi ini mulai buka sehabis shalat shubuh dan tutup saat sore sekitar pukul 18.00 jelang mahrib. Kalau kalian berkesempatan nongkrong di kedai kopi ini, jangan heran kalau kalian melihat banyak banyak kakek-kakek dan pengunjung usia tua ngopi di sini, terutama setelah shalat subuh sampai pukul 8 pagi.

Penulis : Zulfadli Kawom, Budayawan.

Tags: AcehbudayaOttomanTionghoawarung kopi
ShareTweetSend

Related Posts

Ali Moertopo dan Peran Militer dalam Politik Indonesia (I)
Sejarah

Ali Moertopo dan Peran Militer dalam Politik Indonesia (I)

July 17, 2025
Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Langsa
Sejarah

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial di Kota Langsa: Simbol Sejarah Ekonomi Masa Lalu

July 15, 2025
Sejarah Perkebunan Karet di Aceh Timur Masa Kolonial Tahun 1907-1939
Sejarah

Sejarah Perkebunan Karet di Aceh Timur Masa Kolonial Tahun 1907-1939

July 12, 2025
Regional

Teuku Rassya sampaikan pentingnya budaya dan kolaborasi di Kampus UIN Ar-Raniry 

July 6, 2025
Regional

Tgk.Miswar Ibrahim Njong pimpin Rabithah Thaliban Aceh (RTA) periode 2023-2027

July 6, 2025
Dunia

Erdoğan, Sultan Of Türkiye, dan dinamika kemenangannya

July 6, 2025
Next Post
Jurusan TBIN UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Gelar Kuliah Dosen Tamu Bahas Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Terkini

Jurusan TBIN UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Gelar Kuliah Dosen Tamu Bahas Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Terkini

Mahasiswa TBIN UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Terbitkan Novel Berjudul “Kala Senja Menyapa”

Mahasiswa TBIN UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Terbitkan Novel Berjudul "Kala Senja Menyapa"

Discussion about this post

Recommended Stories

AHY Kritisi Perppu Ciptaker: Hukum dibentuk untuk melayani kepentingan rakyat, bukan elite

January 2, 2023

Jokowi minta semua pihak tunggu soal reshuffle

January 24, 2023
Riza Chalid Ditetapkan Tersangka Kasus Korupsi Pertamina 285 Triliun, Siapa Dia?

Riza Chalid Ditetapkan Tersangka Kasus Korupsi Pertamina 285 Triliun, Siapa Dia?

July 11, 2025

Popular Stories

  • Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara.

    Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara (Suara dari Blang Padang untuk Keadilan Syariat)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Riza Chalid Ditetapkan Tersangka Kasus Korupsi Pertamina 285 Triliun, Siapa Dia?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kedai Kopi Pertama di Aceh: Antara Pengaruh Ottoman dan Budaya Perantauan Tionghoa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alumni Golkar Institute Dukung Penuh Diskresi Ketum Golkar untuk Bustami Hamzah: Musda Aceh adalah Keniscayaan 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Perkebunan Karet di Aceh Timur Masa Kolonial Tahun 1907-1939

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • All Groups
  • Default User Group
  • Forgot Password
  • Home
  • Kontak
  • Login
  • My Profile
  • Redaksi
  • Registration
  • Search Users
  • Sitemap
  • Submit New Blog Post
  • Tentang Kami
  • TINJAUAN.ID
  • User Blogs
  • Pedoman Media Siber
Email: tinjauan.id@gmail.com

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Dunia
  • Nasional
  • Regional
  • Politik
  • Opini
  • Contact Us

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?